• DELAPAN •

1048 Kata
 ATTENTION! SEKALI LAGI, GENRE INI AKAN MENGANDUNG UNSUR 18+ (Termasuk di dalamnya adegan kekerasan, suicidal, pembunuhan dan hubungan dewasa). PEMBACA DI BAWAH 18 TAHUN DIHARAP BIJAK SAAT MEMBACA. JANGAN LUPA KLIK TOMBOL BINTANG DI SUDUT KIRI BAWAH YA TEMAN-TEMAN. *** Star High School, New York. Isabella berjalan meninggalkan kafetaria dengan perasaan lega. Satu poin! Ia berujar dalam hati. Seolah kata-kata itu ditujukan untuk Alisa yang melihatnya dari atas sana;surga. Kakinya kemudian berhenti tepat di depan sebuah balkon di atap asrama. Netra birunya yang senada dengan langit berkeliling, menyapu seluruh sudut pemandangan di sekitarnya. Tempat yang bagus. Siapa sangka, gadis itu menemukan sebuah tempat yang cocok untuknya. Atap asrama. Tempat terbuka dengan beberapa kursi kelas yang sudah tak terpakai, angin yang berembus kencang dan sinar matahari yang terhalang oleh terpal bekas. Isabella mengamati sekitar dan tersenyum puas. "Dua poin," katanya bangga. Lalu, tubuhnya yang ramping berbalut seragam asrama pun berjalan menuju salah satu bangku yang ada di sudut. Ia menarik puncak kursi dan membalikkannya ke arah utara, sehingga rumah-rumah dan kebun yang mengelilingi asrama lah yang menjadi pemandangan utamanya. Isabella lalu duduk di sana dan mengeluarkan sebatang rokok yang berhasil ia sembunyikan di dalam kaus kakinya. Pun dengan korek gas yang ia simpan di bawah kaki kirinya, di dalam sepatu. Gadis itu menyalakan rokok dan mulai menyesapnya dengan santai. Sampai embusan asap yang ketiga, seseorang tiba-tiba muncul dari arah belakang dan berkata, "Kau tidak boleh merokok di sini," hingga membuat Isabella terkesiap dan buru-buru menginjak rokoknya dengan panik. Isabella berbalik dan mengernyitkan kening saat mengetahui bahwa sosok Bryan lah yang berdiri di sana, tengah berjalan menghampirinya. "jika sendirian," sambungnya sembari menyodorkan sebatang rokok lain pada Isabella. Namun gadis itu tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Bryan lurus-lurus dan mencoba membaca sikapnya yang tidak biasa. Bryan kembali menyodorkan rokok di tangannya pada Isabella. "Ayolah, ini hanya rokok biasa," katanya memberi tahu. "Kau mematikan milikmu karena berpikir bahwa aku mungkin melaporkanmu pada Paman Ben, bukan?" Lagi, Isabella hanya diam. Sementara salah satu alisnya yang tebal terangkat naik. Membuat laki-laki yang tampil dengan pakaian setengah berantakannya itu mengangkat kedua alisnya di depan Isabella. Ia membalas tatapan penuh selidik dari gadis itu dengan eskpresi kesal, berusaha meyakinkan. "Apa aku terlihat seperti seorang pecandu atau semacamnya?" Sehingga Isabella menyeringai miring dan menerima rokok pemberian Bryan. Gadis itu kemudian kembali duduk di kursinya dan Bryan mengikuti. Mereka duduk bersama, memandangi atap-atap rumah yang posisinya berada lebih rendah dari bangunan berlantai empat tersebut berdua. Bryan mengembuskan asap rokoknya ke udara, membiarkannya membaur dan hilang terbawa angin di sekelilingnya. Lalu, ia menoleh, memerhatikan Isabella yang tampak menikmati kegiatannya sendiri tanpa sedikitpun berminat untuk membuka obrolan di antara mereka. Sampai akhirnya Isabella sadar bahwa laki-laki di sebelahnya itu tengah mengamatinya tanpa henti dan membuatnya merasa risi. Ia menoleh, balas menatap Bryan dan mengangkat satu alisnya penasaran. "Kenapa melihatku terus?" dengan nada tak suka. Bryan terkekeh geli dan menjatuhkan puntung rokok yang tinggal sedikit ke pijakan kakinya yang terbuat dari dak beton dan menginjaknya dengan keras. Ia kemudian kembali melihat Isabella. "Kau cukup berani saat menghadapi Chloe tadi. Siapa sangka, kau bisa ketakutan setengah mati hanya karena tertangkap basah sedang merokok di area asrama," ucapnya sarkas. Isabella pun melakukan hal yang sama. Ia menyeringai tipis dan menoleh, sehingga manik birunya yang terang kini berhadapan langsung dengan mata Bryan. "Aku sudah berjanji pada seseorang untuk tidak dihukum lagi," timpalnya berterus terang dan dengusan pendek terdengar setelahnya, bersamaan dengan puntung rokok Isabella yang jatuh ke bawah kakinya. Ia menginjaknya dengan cukup kuat dan terkekeh mencemooh. "Meski rasanya benar-benar mustahil." "Kau tidak berpikir bahwa mencari masalah dengan Chloe juga akan membuatmu dihukum?" Kedua alis Isabella saling bertaut dalam. "Kenapa aku harus dihukum? Aku hanya mencoba menegakkan keadilan." Kemudian tubuh semampainya beranjak dari kursi kayu. Ia menepuk-nepuk rok bagian belakangnya, melepaskan debu yang berasal dari kursi lapuk itu dari seragamnya dan hendak pergi. Namun Bryan buru-buru bergerak. Ia berlari kecil dan memblokade jalan Isabella sehingga gadis berambut panjang itu sedikit terperanjat. Tangannya yang kurus berbalut gelang suede berwarna hitam kini saling bersedekap di depan d**a. "Ada apa?" "Kita berada di kelas yang sama." "Lalu?" tanya Isabella tanpa minat. "Bukankah kita bisa berteman, atau semacamnya?" Suara Bryan terdengar ragu-ragu kali ini. "Kita bisa pergi ke kelas dan makan siang bersama-sama." Isabella terkekeh pendek, terdengar mengejek. Sebelum raut wajah gadis berusia 16 tahun itu kembali dingin seperti es yang tak pernah mencair. "Kau tampak tidak seperti anak yang suka berteman dengan orang lain, begitupula dengan aku," ungkapnya dengan santai. "Aku datang ke sini bukan untuk berteman dengan siapapun, jadi, jangan pernah mencobanya." Kemudian Isabella berlalu, melewati tubuh Bryan yang mematung sempurna di tempatnya. Ia telah membuat langkah besar untuk tidak menanggapi seorang Bryan yang sangat terkenal di asrama dan lebih memilih untuk sendirian tanpa satupun teman demi mengungkap kebenaran. Begitu sampai di koridor utama, Isabella bertemu dengan seorang gadis yang wajahnya tampak tak asing. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di depan Isabella sehingga mau tidak mau, Isabella harus menunggu. "Namamu Isabella, ya?" Isabella menganggukkan kepalanya sekali, tanpa sedikitpun menunjukkan ekspresi penasaran di wajahnya yang seputih salju. "Aku Lily," katanya sembari mengulurkan tangan pada Isabella. Gadis berambut pirang itu kemudian tersenyum simpul ketika Isabella akhirnya menerima jabatan tangannya yang agak kaku. "Kita berada di kelas yang sama." "Baiklah," jawab Isabella seadanya. Lagi, gadis itu menunjukkan ketidaktertarikannya dengan jelas. "Aku ... juga teman Alisa." Mendengar nama sahabatnya disebut, Isabella memberikan reaksi yang berbeda. Raut dingin itu tampak mencair dan menghangat sedikit dengan satu anggukan paham dan senyum tipis yang tercetak di wajahnya. "Kami cukup dekat dan ... akulah yang menemukan jasad Alisa hari itu." Isabella agak tersentak, terlihat dari matanya yang tampak melebar untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya ekspresi datar itu kembali muncul di sana, seperti biasa. "Kau?" "Ya. Sejujurnya, aku sedikit mengetahui perundungan yang dilakukan oleh Chloe pada Alisa di detik-detik terakhir hidupnya," kata Lily dengan nada sedih. Kepalanya pun hanya bisa tertunduk malu dan sorot matanya memancarkan penyesalan yang dalam. "Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk Alisa karena orang itu adalah Chloe. Tapi kau berhasil menghadapinya dengan berani, Isabella." Gadis itu mengerjapkan matanya dua kali sebelum akhirnya menganggukan kepala dan berkata, "Kuanggap itu sebagai pujian." "Karena Alisa adalah temanku dan dia juga adalah temanmu. Bagaimana jika mulai sekarang kita berteman saja dan kita bisa sama-sama mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Alisa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN