• LIMA •

1028 Kata
 Star High School, New York. Jam beker berbentuk pikachu kecil berwarna kuning mencolok di atas nakas baru saja berdering, memekikkan telinga Isabella yang kini sibuk mengikat salah satu tali sepatunya. Isabella bukanlah penggemar karakter utama dari kartun pokemon yang terkenal itu, tapi jam beker yang Isabella pegang sekarang adalah hadiah ulang tahun dari Alisa ketika usia mereka menginjak sepuluh tahun. Netra biru Isabella menatap gamang benda kecil dengan banyak angka yang berbentuk memutar di tangannya itu, lalu meraba bagian atasnya dan dengan cepat, menekan tombol kecil di sana. Gadis bertubuh kurus itu lantas meletakkan kembali jam beker dan beranjak dari kamarnya menuju kelas. Ini adalah hari pertama Isabella. Kelas matematika. Ingin sekali Isabella berlari dari asrama dan menghindari mata pelajaran yang dibencinya itu untuk sekadar merokok di area parkir atau berjalan-jalan ke luar asrama;seperti yang selalu dilakukannya dahulu. Namun, gadis itu teringat akan tujuan awalnya, untuk mengungkapkan kebenaran di balik kematian Alisa--atau setidaknya, sedikit berusaha memperbaiki hidup demi kedua orang tuanya. Isabella masuk ke dalam ruang kelas setelah berhasil menanyakannya pada Paman Ben dan duduk di salah satu kursi yang ada di belakang ruangan. Semua mata jelas langsung menatap ke arahnya. Kecantikan Isabella yang bisa dikatakan di atas rata-rata dengan hidung mancung yang kecil, rahang tinggi yang tirus dan bola mata biru yang terang seperti langit, membuatnya menonjol di antara siswa lain yang berada di kelas itu. Menarik perhatian seluruh siswa yang ada di sekitarnya dengan tatapan takjub. Termasuk Chloe. Primadonanya sekolah. Ia menyeringai miring dan mengajak kedua temannya, Jessica North dan Cassandra Lee, untuk bangkit dari kursi mereka dan menghampiri Isabella yang duduk sendirian. Niat gadis berambut merah itu adalah untuk mengajak Isabella bergabung dengannya, alih-alih berteman dengan tulus, Chloe lebih suka jika ada gadis lain yang ingin menjadi pengikut setianya seperti Jessica dan Cassandra. Dan itulah yang diinginkan Chloe dari Isabella. Chloe menyodorkan satu tangannya kepada Isabella sehingga gadis itu mendongak. Membuat sang ratunya sekolahan itu dapat melihat dengan jelas ekspresi datar milik sang lawan bicara. "Chloe Winchester," sapanya. Chloe mengangkat sedikit dagunya ke atas, memamerkan garis hidungnya yang lurus dan tulang pipinya yang tak kalah tirus pada Isabella. "Apa kau anak baru?" Namun Isabella sama sekali tidak bersuara, ia hanya diam dan menatap tangan Chloe seperti jijik. Membuat Chloe berdeham dan buru-buru menarik tangannya dari gadis itu. "Ini Jessica dan Cassandra, mereka adalah teman-temanku. Kami hanya berteman dengan anak yang kaya dan cantik. Setelah melihat penampilanmu, kurasa kau bisa bergabung dengan kami." "Aku tidak mau," kata Isabella singkat. "Bisakah kalian meninggalkan aku sendirian?" Chloe tercenung. Ia tidak pernah ditolak sebelumnya. Matanya bahkan harus mengerjap beberapa kali hanya untuk membuatnya tersadar dan begitu menyadari situasinya, Chloe segera menatap kesal ke arah Isabella. Ia menggebrak meja sehingga seluruh siswa yang ada di kelas itu, memerhatikan mereka. "Kau sombong sekali!" Termasuk Bryan, yang baru saja terbangun dari mimpi indahnya karena keributan yang dibuat oleh Chloe. Ia mencebik dan menoleh ke sumber suara, lalu melotot seketika saat menemukan sosok Isabella di dalam kelasnya. "Kau pikir ada orang lain yang ingin berteman denganmu di sini?!" Jessica, gadis berambut pendek dengan bandana putih menghiasinya puncak kepalanya pun menarik tangan Chloe. "Sudahlah, Chloe. Anak-anak lain melihat," katanya menenangkan. Namun gadis itu belum mengeluarkan semua unek-unek di dalam dadanya. Ia menepis tangan Jessica dan menunjuk wajah Isabella dengan telunjuk kanannya. Masih dengan tatapan sinis, ia berseru, "Akan kupastikan kau akan menyesali perbuatanmu padaku!" lalu berbalik, kembali ke mejanya di jajaran terdepan. Sementara Jessica dan Cassandra mengekor seperti anjing yang setia pada sang tuan di belakang. Mereka kembali duduk dan tak berselang lama, seorang guru pun datang. Pria berusia dua puluhan akhir dengan kemeja abu-abu yang berbalut peacoat hitam dengan seluruh kancing yang tertutup. Mata cokelatnya yang gelap menyapu seisi kelas dengan pandangan serius. "Selamat pagi anak-anak," kata Zach memulai. "Aku Zach dan aku adalah guru pengganti yang akan mengajar di kelas ini sampai sebulan ke depan. Karena aku hanya menggantikan wali kelas kalian, aku hanya mengawasi kalian, sedangkan kelas akan tetap dipegang oleh guru masing-masing." Kebanyakan dari siswa perempuan di kelas itu langsung berdecak kagum dan memandangi sang guru dengan antusias. Siapa sangka bahwa guru yang akan menggantikan wali kelas mereka--karena Mr. Barley mengalami kecelakaan--adalah seorang pria gagah dan tampan. Secara tidak langsung, mereka tampak bersyukur atas musibah yang menimpa Mr. Barley. Tanpa anak-anak itu tahu, bahwa kehadiran Zach di sana semata-mata untuk menyamar dan menemukan kebenaran di balik kematian Alisa. Namun pandangan-pandangan takjub itu tak berarti apa-apa ketika ia menemukan Isabella yang justru mengalihkan pandangannya ke luar jendela kelas, memandangi lapangan olahraga yang sepi dengan tatapan sedih. Zach pun berdeham untuk menghentikan desas desus yang kian mengganggu di telinganya sekarang. Juga, untuk membuat pandangan Isabella beralih padanya. Meski pada akhirnya, gadis itu tetap tidak peduli. "Kudengar hari ini, kita akan kedatangan murid baru," ucap Zach dengan suara tenang, bak guru yang sudah profesional. "Untuk murid baru itu, bisakah kau berdiri dan memperkenalkan diri di depan teman-temanmu?" Isabella mengangkat kedua alisnya ketika menyadari bahwa seluruh mata kini tengah memandanginya, menunggu dengan tak sabar. Wajahnya yang seputih porselen itu lantas menoleh, sehingga netra birunya yang secerah langit bertemu dengan manik-manik cokelat milik Zach. Seperti biasa, gadis itu hanya menampilkan ekspresi datar di wajahnya, seolah tubuh itu bergerak tanpa nyawa, hidup tapi tidak memiliki jiwa. Isabella lalu menghela napas berat dan berdiri, membuat semua orang dapat melihatnya dengan jelas--termasuk Bryan dan Zach yang benar-benar penasaran tentangnya. "Aku ... Isabella Moore." Zach mengangkat satu alisnya heran. "Hanya itu?" karena meski sudah menunggu selama beberapa detik, Isabella tak kunjung melanjutkan perkenalan dirinya. "Bagaimana dengan sekolah lama atau latar belakang keluarga?" Isabella diam sebentar, sebelum akhirnya menjawab, "Aku tidak ingin memberi tahu hal-hal pribadi pada siapapun, termasuk tentang keluargaku." tanpa sedikitpun rasa bersalah. "Aku ingin berteman dengan orang-orang yang tidak memiliki alasan untuk berteman denganku." Beberapa siswa mulai berbisik, membicarakan sikap Isabella yang aneh. Sedangkan Zach, ia kembali mengangkat satu alisnya dan bersedekap. "Terdengar menarik. Tapi, apakah kau sungguh memiliki satu teman yang seperti itu?" "Ya, aku punya satu." Kedua mata Zach tampak membesar, takjub sekaligus tidak percaya. "Sungguh? Siapakah temanmu yang beruntung itu jika kami boleh tahu?" Isabella terdiam. Namun tatapannya beralih pada Chloe yang kini menengok ke belakang, ke arah Isabella. Sebelum akhirnya gadis berwajah dingin itu melanjutkan, "Dia adalah Alisa Harrison." 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN