Bi Ijah, salah satu pelayan yang bekerja di kediaman Arsa terus mengetuk pintu kamar Arsa, dan tak lupa untuk memanggil sang majikan.
Bi Ijah sudah berdiri di depan pintu kamar Arsa sejak 5 menit yang lalu, terus mengetuk dan memanggil Arsa, tapi tak kunjung ada jawaban dari majikan mudanya tersebut.
Bi Ijah mulai panik, ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Arsa, karena tidak biasanya Arsa masih belum keluar dari kamar. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat 15 menit, itu artinya seharusnya Arsa sudah bangun, sarapan, bahkan berangkat ke rumah sakit sejak 5 menit yang lalu.
"Bi Ijah."
Bi Ijah lantas menoleh ketika panggilan bernada teguran tersebut melewati gendang telinganya. Senyum di wajah Bi Ijah merekah dengan sempurna, lega ketika melihat kehadiran Inez.
Inez adalah salah satu teman dekat Arsa lebih tepatnya sahabat baik Arsa. Orang yang paling dekat dengan Arsa di antara sahabat-sahabat Arsa yang lainnya. Bahkan Bi Ijah menganggap kalau Arsa dan Inez adalah sepasang kekasih.
Wajar saja kalau Bi Ijah mempunyai pikiran seperti itu, itu karena Arsa dan Inez selalu terlihat mesra. Keduanya juga saling perhatian satu sama lainnya. Pokoknya, keduanya sudah seperti pasangan kekasih yang dimabuk asmara.
"Selamat pagi, Non," sapanya ramah.
"Selamat pagi juga, Bi." Inez membalas sapaan Bi Ijah dengan sama ramahnya, tak lupa untuk memamerkan senyum manisnya. Senyum yang selalu membuat Inez terlihat lebih cantik.
"Arsa sakit ya, Bi? Susah banget di hubungin?" Sejak pukul 6 pagi tadi, Inez sudah berkali-kali menghubungi Arsa, tapi dari sekian banyaknya panggilan yang ia lakukan, tak ada satupun yang Arsa angkat. Begitu pun dengan pesan yang ia kirimkan, tak ada satupun yang mendapat balasan dari Arsa. Jangankan balasan, Arsa saja tidak membaca pesannya.
Inez Belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya, jika Arsa tidak mengangkat atau bahkan membaca sekaligus tidak membalas pesannya, maka Inez yakin kalau Arsa sedang sakit.
Setelah menikmati sarapan bersama kedua orang tuanya dan juga sang adik, Inez memutuskan untuk mampir sebentar ke kediaman Arsa guna memastikan kalau pria tersebut baik-baik saja atau tidak. Dan di sinilah Inez saat ini, di kediaman Arsa yang berada dekat dengan rumah kedua orang tuanya.
Rumah Inez dan Arsa berada dalam satu komplek perumahan yang sama, bahkan rumah keduanya sangat dekat, karena itulah tidak membutuhkan waktu lama bagi Inez untuk sampai di kediaman Arsa.
"Den Arsa belum keluar dari kamar, Non." Bi Ijah menjawab dengan rasa panik yang tergambar jelas di raut wajahnya.
Jawaban yang Bi Ijah berikan membuat Inez terkejut. "Tak biasanya jam segini Arsa belum keluar kamar." Inez membatin dan dugaan Inez tentang Arsa yang sedang sakit sepertinya memang benar.
"Dari tadi pagi sama sekali belum keluar dari kamar, Bi?"
Bi Ijah mengangguk. "Iya Non, dari tadi pagi belum keluar dari kamar."
"Pintu kamarnya di kunci?"
"Bibi enggak tahu Non, karena Bibi tidak berani membukanya."
Inez mengangguk paham. Ia lantas mendekati pintu kamar Arsa, meraih heandle pintu dan menggerakannya ke bawah. Syukurlah, ternyata pintu kamar Arsa sama sekali tidak terkunci. Jadi Inez bisa langsung masuk tanpa harus berteriak memanggil Arsa untuk membukakan pintu kamar.
Sama seperti Inez, Bi Ijah menghela nafas lega ketika tahu kalau pintu kamar Arsa tidak terkunci, membuat Inez bisa memasuki kamar tersebut.
Bi Ijah lantas pamit undur diri, sedangkan Inez segera memasuki kamar Arsa. Setelah berada di dalam kamar Arsa, Inez tak lupa untuk menutup pintu kamarnya.
Inez menggeleng tat kala melihat Arsa yang masih bergelung di bawah selimut tebal yang hampir menutupi seluruh tubuhnya. Inez tidak bisa melihat wajah Arsa karena posisi tidur Arsa membelakangi pintu kamar, menghadap ke arah jendela kamar yang masih tertutup rapat.
Inez melepas heals yang membingkai kaki jenjangnya, lalu meletakan tasnya di meja, kemudian melangkah mendekati tempat tidur Arsa yang luas.
"Arsa," panggil lembut Inez. Inez duduk di hadapan Arsa, membelai lembut surai hitam legam Arsa yang sudah memanjang. Kedua mata Inez menyipit dan ia baru sadar kalau Arsa menggigil di barengi dengan wajahnya yang terlihat pucat pasi.
Tanpa sadar Inez mengumpat, umpatan tersebut membuat Arsa terusik. Perlahan tapi pasti, kelopak mata Arsa yang sebelumnya senantiasa terpejam mulai terbuka.
Arsa mengerjap, memastikan kalau apa yang ia lihat adalah nyata, bukan ilusi atau ia sedang berada di alam mimpi, karena itulah Arsa langsung mencubit pipinya sendiri dan ia merasakan sakit, itu artinya ini nyata bukan mimpi.
Wanita yang saat ini menatapnya dengan raut wajah bingung serta panik tersebut memang Inez, teman dekatnya atau bisa di katakan sahabatnya.
"Sha," gumam Arsa pada akhirnya.
"Iya ini aku, kamu sejak kapan sakit?"
"Di-dingin Sha," lirih Arsa terbata. Arsa memang lebih suka memanggil Inez dengan sebutan Sha yang di ambil dari nama tengah Inez, Maisha dan Arsa hanya mengambil tiga kata di bagian akhirnya saja, yaitu Sha.
Inez menempelkan telapak tangan kanannya di kening Arsa, membuatnya bisa merasakan suhu tubuh Arsa yang sangat panas. "Mau ke Dokter atau panggil Dokter suruh ke sini?"
"Panggil Dokter aja Sha, aku enggak kuat kalau harus ke rumah sakit," jawab lesu Arsa.
"Ok sebentar, aku panggilkan Dokter untuk memeriksa kondisi kamu ya." Inez baru saja akan menuruni tempat tidur, tapi pergerakannya terhenti karena Arsa menarik lembut pergelangan tangan kanannya. Inez lantas berbalik menghadap Arsa, menatap bingung pria tersebut. "Kenapa?" tanyanya dengan intonasi lemah lembut.
"Jangan panggil Lia tapi panggil Dion saja," lirih Arsa memelas.
"Kenapa enggak mau di periksa sama Lia?"
Arsa menggeleng. "Pokoknya jangan panggil Lia, panggil Dion saja. Lia itu sangat menyebalkan dan cerewet, dia pasti akan melakukan ceramah panjang kali lebar," ujar Arsa dengan raut wajah masam.
Inez terkekeh, tahu betul kalau apa yang Arsa katakan memang benar adanya. Jika Lia tahu kalau Arsa sakit, pasti saat melakukan pemeriksaan pada Arsa, Lia tidak akan berhenti mengomel, lebih tepatnya memarahi Arsa karena Arsa jatuh sakit.
Lia juga pasti tidak akan berhenti untuk meledek Arsa, dan hal itu pasti akan sangat menyebalkan bagi Arsa, lain lagi bagi dirinya yang tentu saja akan sangat senang ketika melihat Lia memarahi Arsa.
"Baiklah, kita akan menghubungi Dion dan bukan Lia." Inez beranjak dari duduknya, meraih ponsel yang ia simpan dalam tas.
Sesuai dengan permintaan Arsa, Inez menghubungi Dion, meminta agar Dion datang untuk memerika kondisi Arsa. Awalnya Dion menolak dan akan meminta agar Lia saja yang datang untuk memeriksa Arsa, tapi giliran Inez yang menolak usulan Dion.
Dion tahu kenapa Inez menolak usulannya karena itulah ia tidak lagi menolak untuk datang guna memeriksa kondisi Arsa, sahabatnya.
Setelah menghubungi Dion, Inez kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas dan ia kembali menghampiri Arsa.
"Ternyata seorang Dokter juga bisa sakit ya."
Ledekan Inez membuat Arsa yang sejak tadi memejamkan mata akhirnya membuka matanya, menatap Inez dengan raut wajah masam. "Tentu saja bisa, Dokter juga manusia," sahutnya ketus.
Inez hanya terkekeh, kembali duduk di samping Arsa. Inez meraih gagang telepon yang ada di nakas, lalu menekan angka 1 di mana panggilan tersebut langsung terhubung ke bagian dapur.
Begitu sambungan telepon tersambung, Inez langsung meminta koki agar membuatkan bubur untuk Arsa. Setelah menghubungi koki, Inez berdiri sambil merapihkan kembali penampilannya.
"Kamu mau ke mana, Sha?" Arsa menatap Inez dengan raut wajah bingung.
"Kerja Ar, kamu tahu kan hari ini itu hari Senin jadi aku harus ke restoran."
"Tidak bisakah hari ini kamu libur dan temani aku di rumah?" Arsa memasang raut wajah sesedih mungkin, berharap Inez luluh dan memilih menemaninya ketimbang pergi bekerja.
Arsa tidak mau sendiri, ia ingin agar Inez menemaninya.
"Baiklah, hari ini aku akan libur dan menemani kamu." Inez tidak tega kalau harus meninggalkan Arsa, karena itulah ia memilih untuk absen ke restoran juga butiknya, dan menemani Arsa.
Jawaban Inez membuat Arsa senang bukan main. Senyum cerah seketika menghiasi wajah Arsa yang pucat pasi.
Meskipun Arsa sedang sakit dan wajahnya terlihat pucat, tapi tak bisa di pungkiri kalau itu sama sekali tidak bisa mengurangi kadar ketampanan yang Arsa miliki.
"Tapi ingat, hanya hari ini." Besok Inez tidak mungkin libur, ia harus kembali bekerja seperti sedia kala, tidak enak pada para pekerjanya yang lain.
"Iya, sini." Arsa menepuk tempat kosong di sampingnya, meminta agar Inez berbaring bersamanya.
"Enggak ah, aku mau duduk aja di sofa," tolak Inez secara halus. Jika Inez duduk di sofa, ia masih bisa bekerja melalui macbook yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi.
"Ck, aku kangen banget sama kamu, mau peluk kamu. Masa kamu enggak mau aku peluk sih?" Arsa pura-pura merajuk dan ia harap sandiwaranya berhasil meluluhkan Inez sampai akhirnya Inez memilih berbaring di sampingnya.
Inez memutar matanya jengah, tapi tak ayal menuruti kemauan Arsa. Inez meminta agar Arsa bergeser ke bagian tengah, lalu ia berbaring di samping Arsa dengan posisi membelakangi tubuh Arsa. Arsa menjadikan tangan kanannya sebagai bantalan kepala Inez, tak peduli saat Inez menolaknya.
Inez hanya takut tangan Arsa pegal, karena itulah ia menolak ketika Arsa meminta agar kepalanya berbaring di atas tangan pria itu. Tapi Arsa ya tetap Arsa, keras kepala dan selalu ingin agar kemauannya di turuti.
Begitu jaraknya dan Inez sudah dekat, Arsa langsung memeluk Inez dan aroma parfume Inez yang soft tercium oleh indra penciumannya. "Selalu suka dengan parfume yang kamu pakai dan shampoo yang juga kamu pakai."
Tak bisa Inez pungkiri kalau kini wajahnya merona. Untung saja posisinya saat ini membelakangi Arsa, jadi Arsa tidak akan bisa melihat rona merah yang menghiasi wajahnya.
Inez hanya berdeham enggan menanggapi pujian Arsa. Ia memilih untuk memejamkan kedua matanya mata karena ia ingin tidur sejenak mengingat semalam ia bergadang untuk menyelesaikan laporan keuangan bulanan yang masuk.
Sama seperti Inez, Arsa pun kembali memejamkan matanya. Tak berselang lama kemudian, keduanya sama-sama terlelap dengan posisi Arsa erat memeluk Inez.