1. Cinta Pertama
Cinta akan selalu membawamu ke dunia yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya...
Hargailah cinta,
Cintailah cinta,
Dan kau akan mengerti...
***
Silla meninggalkan sebuah toko buku kecil dengan senyum lebarnya, setelah puas karena telah mendapatkan semua buku incarannya. Ia kemudian berjalan menuju halte di dekat persimpangan jalan.
Halte terlihat lumayan ramai pada jam-jam sibuk seperti ini. Gadis bersurai panjang itu tidak peduli. Setelah meletakkan belanjaannya yang lumayan banyak, Silla mendudukkan dirinya di kursi yang kosong. Gadis itu mengambil sebuah buku, membuka pembungkusnya, lantas membacanya. Pikiran Silla telah terlarut ke dalam cerita, sampai-sampai tidak menyadari ada seseorang yang sedang berdiri di hadapannya dan menatapnya intens.
"Aku cemburu dengan bukumu itu."
Silla menghentikan aktivitas membacanya, kemudian tersenyum manis. Sesosok pria tampan kini berdiri di hadapannya dengan jin biru dan kaos putih sederhana sangat pas melekat di badannya yang memang seperti model itu. Rambut cepak yang tertata rapi menambah kesan elegan namun santai. Serta senyum yang memperlihatkan deretan gigi sempurna,menegaskan ketampanannya. Tak khayal orang-orang yang berada di sekitar halte menoleh untuk sekadar menatap pria itu.
"Kau berlebihan," jawab Silla sembari mengembangkan senyum manisnya.
Pria tampan itu terdengar mendengkus. "Terkadang aku berpikir bahwa kau lebih mencintai bukumu daripada aku.
Silla tertawa kecil melihat ekspresi pria gagah di hadapannya itu. Gadis itu lantas menyimpan bukunya, menyatukan kembali dengan belanjaannya. Silla menejajarkan diri dengan pria itu lantas mengamit tangannya manja. "Sudahlah. Ayo kita jalan. Aku sudah sangat merindukanmu, Rome."
Pria itu terkekh melihat tingkah manja Silla. Ia pun mengambil alih tas belanja Silla kemudian mencium puncak kepala gadis itu. "Aku juga merindukanmu. Rasanya sudah lama sekali."
Wajah Silla memerah mendapat perlakuan sepeti itu. Namanya Roman, pria tampan dan gagah yang berhasil membuat Silla bertekuk lutut. Silla masih belum bisa percaya bahwa hubungan mustahil mereka dapat bertahan hingga lima tahun. Menjadi kekasih Roman bukan hal yang mudah dan Silla sudah menyadarinya sejak pertemuan pertama mereka.
Pertemuan pertama mereka terjadi begitu saja dan terkesan sangat biasa. Silla yang pada waktu itu masih berusia 18 tahun, seorang mahasiswa jurusan sastra di salah satu universitas terkemuka di Indonesia, tidak sengaja bertemu di toko buku dengan Roman yang saat itu masih menempuh pendidikan militernya. Manusia memang tidak pernah tahu takdirnya. Pertemuan secara tidak sengaja itu, membawa keduanya terlarut dalam cinta pada pandangan pertama.
Tidak ada kata mudah dalam hubungan mereka. Hubungan mereka terhalang jarak. Hubungan jarak jauh harus mereka tempuh karena keadaan. Silla dan Roman tidak bisa meninggalkan pendidikannya masing-masing. Roman menetap di asrama sekolah militer sedangkan Silla harus konsentrasi dengan studinya. Namun, semua itu tak jadi soal bagi mereka. Selama masih ada cinta di antara keduanya, menjalin hubungan seperti tidaklah sesulit yang mereka bayangkan.
Masalah baru muncul ketika seharusnya mereka sudah bisa berbahagia. Lulus dari pendidikan dan bekerja di tempat idaman tidak menjamin kebahagiaan hubungan mereka. Silla yang bekerja sebagai editor di sebuah media nasional, terlalu sibuk hingga tidak bisa mengatur waktunya. Sama halnya dengan Silla, Roman yang merupakan seorang tentara aktif harus rela mengorbankan banyak waktunya untuk tugas. Meski Roman mendapat jabatan yang lumayan nyaman, ia tetap tidak bisa berkelit ketika tugas tiba-tiba datang kepadanya.
"Pekerjaanmu itu terlalu menyita waktu. Seharusnya kau lebih sering memiliki waktu luang buat kita," kata Roman pada suatu waktu. Pria bertubuh kekar itu tidak bisa menahannya lagi. Beberapa kali rencana quality time merek harus gagal karena tugas masing-masing. Mana ada orang yang tahan?
"Kau sendiri bagaimana?" Silla tak mau kalah. "Tugas-tugasmu juga terlalu banyak menyita waktu. Bahkan di akhir minggu pun kau harus piket."
"Kau tahu jika itu adalah tugas negara, kan?" ucap Roman tak kalah emosi.
"Kau juga tahu jika yang kulakukan sekarang adalah pekerjaan impianku seumur hidup, kan? Jangan egois!" Silla menatap Roman tajam dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu sudah menahannya selama ini. Terkadang kekasihnya itu memang terlalu egois dengan menimpakan semua kesalahan kepadanya.
"Sudahlah. Terserah!"
Silla tersenyum ketika mengingat pertengkaran mereka waktu itu. Roman yang sedang fokus menyetir pun, heran melihat kekasihnya seperti itu.
"Kenapa? Ada yang lucu?" tanya Roman tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
Silla menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku hanya tidak percaya saja akhirnya kita bisa meluangkan waktu berdua seperti ini mengingat padatnya jadwal pekerjaan kita."
Roman tersenyum mendengar jawaban Silla. "Aku juga sangat senang dapat menghabiskan waktu bersamamu," ucap Roman lembut. "Dan aku tidak mau siapapun menganggu kencan kita. Temasuk bosmu yang menjengkelkan itu."
"Hei, dia tidak menjengkelkan," protes Silla dengan wajah kesal.
"Tapi dia sering mengganggu kencan kita dengan terus meneleponmu. Aku curiga jika dia punya perasaan lebih kepadamu." Roman tidak peduli dengan kekesalan Silla. Ia hanya seorang pria yang tidak ingin acara kencannya diganggu orang lain. "Kau harus mematikan ponselmu!"
Roman memang menjadi agak posesif setelah tahu jika sebagian besar teman kerja Silla adalah pria. Silla tersenyum melihat kecemburuan Roman itu, kemudian mematikan ponselnya.
"Sudah. Kau puas sekarang?"
Roman tidak menjawabnya. Dia hanya tersenyum penuh kepuasan lantas bersenandung sepanjang perjalanan.
***
Roman menggenggam tangan Silla posesif. Sepanjang jalan, tautan itu tak pernah putus hingga menjadi perhatian banyak orang. Meski begitu, Roman dan Silla tak ambil pusing. Bagi mereka, bisa berjalan dengan bergandengan tangan seperti ini adalah hal langka. Tentu saja mereka akan memanfaatkan waktu dengan baik.
Hari yang indah itu diakhiri dengan makan malam nan romantis di sebuah restoran kecil langganan mereka. Walaupun hanya sebuah restoran kecil, suasananya sangat nyaman. Dekorasi klasik yang didominasi oleh kayu-kayu dan ukiran-ukiran membuatnya terkesan sangat elegan. Suara musik yang mengalun lembut membuat suasana semakin romantis, terlebih bagi sepasang kekasih yang sedang kasmaran.
"Kau cantik," puji Roman lembut.
Silla tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Pipinya merona dengan jantung yang tiba-tiba berdebar menggila. "Terima kasih." Silla berusaha mengatasi dirinya. Ia sungguh tidak mau terlihat seperti w************n yang mudah tersipu karena dipuji seperti itu.
"Ada yang ingin kukatakan." Raut wajah Roman berubah. Terlihat jelas keraguan di sana.
"Apa?"
Roman menghela napas panjang. "Mama ingin bertemu."
Tubuh Rara menegang. Tanpa sadar, ia meletakkan alat makannya hingga menimbulkan sura keras. "Mama?" ucap Silla gugup. Tenggorokannya seperti tercekat dan wajahnya memucat.
"Mama mengatakannya tadi. Dia ingin menemui wanita yang kucintai."
Silla memang belum pernah sekalipun bertemu dengan orang tua Roman. Papanya adalah seorang perwira tinggi TNI AD yang sedang bertugas di luar kota. Sedangkan mamanya adalah putri dari seorang purnawirawan jendral dan juga seorang wanita karir yang sangat sukses di bidang properti.
Papa dan mama Roman menikah karena sebuah perjodohan dan hal itulah yang selalu membuat Silla takut. Roman adalah putra tunggal dari keluarga Gunawan, keluarga terpandang yang punya kedudukan dan kuasa. Sedangkan dirinya hanyalah seorang anak yatim piatu yang tanpa kedudukan dan kuasa. Silla sangat takut kehilangan Roman jika memikirkan hal itu.
"Sayang, kau baik-baik saja?" tanya Roman lembut sembari meremas tangan Silla.
"Eh, aku baik-baik saja," kilah Silla dengan mengulas senyum yang agak dipaksakan untuk menutupi ketakutannya.
Roman menghela napas lega melihat senyuman Silla. "Jadi, besok siang aku akan menjemputmu. Pakailah pakaian yang rapi. Aku ingin calon istriku terlihat sempurna di hadapan mama besok."
Mendengar kata calon istri, membuat tubuh Silla kembali rileks. Keyakinan dirinya kembali lagi bahwa tidak ada yang harus dikhawatirkannya karena Roman akan selalu ada di sisinya.
"Jangan takut, Sayang." Roman mencoba meyakinkan Silla. "Kau harus tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Aku berjanji akan selalu bersamamu walau apapun yang akan terjadi."
Silla tersenyum mendengar janji Roman. Dia merasa seperti wanita paling beruntung di dunia ini karena dapat memiliki Roman yang akan selalu di sampingnya.