16. Siapa Rio?

1611 Kata
"200 joule!" Titah seorang dokter yang sedang bertugas malam ini. Kebetulan salah satu pasiennya yang sudah koma selama satu bulan, tiba-tiba mengalami sudden cardiac arrest atau istilah yang lebih familiar adalah henti jantung. Sebagai tenaga medis yang bertanggung jawab, tentu saja dokter muda itu akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa pasiennya. Walaupun hidup dan mati tidak ada di tangannya, setidaknya dokter itu sudah berusaha semampu yang dia bisa sesuai apa yang sudah dia pelajari selama beberapa tahun ini untuk mengejar gelar profesinya. Suasana di dalam maupun di luar ruang ICU, sama-sama ricuh. Jelas saja, di dalam ruangan diributkan oleh tenaga medis yang sedang berusaha. Sementara di luar, keluarga pasien yang sedang histeris karena takut kalau terjadi apa-apa pada anak bungsunya di dalam ruang rawat sana. Suara pukulan yang mengenai dinding, terdengar cukup kencang. Alvin menolehkan wajahnya ke arah lelaki paruh baya yang baru saja mengayunkan tinju ke dinding rumah sakit. Melihat itu, jelas saja Alvin kaget. Lelaki itu tahu, kalau Mr. Stuart pun juga merasa frustrasi menghadapi masalah ini. Alvin berjalan mendekati lelaki yang dia panggil Papa. Lelaki itu menarik bahu Mr. Stuart lalu dia bawa papanya ke dalam pelukan. Meski Alvin tidak berkata apa-apa, namun perlakuannya yang seperti ini, bisa membuat Mr. Stuart kembali sadar. Tak berapa lama, terdengar suara isak tangis yang begitu pelan. Alvin tahu, kalau suara itu berasal dari Mr. Stuart. "Ify pasti selamat 'kan, Vin?" setelah hampir satu menit Mr. Stuart memeluk Alvin, baru sekarang dia berani mendongakkan kepalanya buat menatap wajah putra sulungnya yang tidak terbaca. Masih sama, tidak ada jawaban dari Alvin. Di saat seperti ini, anggukan akan menjadi jurus terhebat untuk menenangkan Mr. Stuart. Dan benar saja, dugaan Alvin tidak salah. Mr. Stuart terlihat lebih tenang dan dadanya tidak naik turun seperti tadi karena napasnya yang tidak beraturan. Entah anggukan yang diberikan Alvin tadi akan menjadi kenyataan atau tidak, namun yang pasti Alvin hanya tidak ingin Mr. Stuart tumbang. Tak berapa lama, seorang gadis berpipi chubby nan berwajah bulat, datang sambil menunjukkan dua botol air mineral kepada Alvin. Siapa lagi gadis itu, kalau bukan Via. Barusan Via menunjukkan dua botol itu kepada lelaki berwajah dingin bak freezer berjalan. Via hanya melihat Alvin mengedipkan kedua matanya sebagai pertanda jawaban. Via pun ikut mengangguk mengiyakan lalu dia duduk di kursi yang disediakan. Jujur saja, di wajah Via kini tidak menunjukkan rasa cemas atas apa yang dilalui Ify di dalam sana. Tetapi itu hanya di wajah saja. Berbeda dengan hati Via yang sebenarnya hancur dan menangis sampai merintih memanggil nama sahabatnya-Ify, agar mau kembali ke kehidupannya semula. Via ingin, Ify selamat dan sembuh lalu hidup seperti tidak pernah mengalami kejadian satu bulan ke belakang. Mr. Stuart melepaskan pelukannya dari Alvin, dia mengusap sisa-sisa air mata di pipinya. Sementara Alvin memilih mengambil dua botol air mineral yang tadi ditunjukkan oleh Via. Tanpa kata, Alvin ganti memberikan air mineral tadi kepada sang papa. "Via...!" "Iya, Om?" Via sontak menoleh ke arah Mr. Stuart ketika papa dari sahabatnya itu memanggilnya pelan. "Terima kasih ya, kamu sudah sangat perhatian kepada keluarga Om. Sampai kapan pun, Om tidak akan pernah lupa atas semua kebaikan yang kamu berikan kepada kami." terdengar begitu tulus apa yang barusan dikatakan oleh Mr. Stuart. Via jadi sedikit kikuk usai mendengar apa yang keluar dari bibir Mr. Stuart. Kepalanya mengangguk seraya memaksakan senyumnya kepada Mr. Stuart meski sebenarnya untuk tersenyum saja rasanya sulit karena masih belum tahu bagaimana kondisi Ify di dalam. "Sama-sama, Om. Aku juga mau bilang makasih, karena Om sudah baik banget sama aku selama ini." sahutnya dengan nada pelan. Kata-kata Via barusan menjadi penutup atas obrolan mereka berdua. Kini, semuanya diam. Tidak ada yang membuka suara sepatah kata pun. Apalagi Alvin, jangan harap dia mau mengobrol. Menjawab pertanyaan papanya saja, hanya memakai bahasa isyarat. Tak selang lama, pintu ruang ICU terbuka. Seorang dokter keluar seraya mengalungkan stetoskop ke lehernya. Dokter muda itu sudah hafal bahwa ketiga orang yang sedang menghadangnya itu adalah keluarga pasien yang barusan dia tangani. "Bagaimana kondisi putri saya, dok?" Mr. Stuart tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Via mengigit bibir bawahnya, dia berusaha menguatkan hatinya agar sanggup kalau-kalau dokter itu membawa kabar buruk. Enggak Vi! Lo nggak boleh mikir gitu! Ify baik-baik aja kok di dalam. Secepat mungkin Via menepis pikiran negatifnya. Semuanya cemas menunggu jawaban dari dokter yang masih berusia tiga puluh empat tahun itu. Begitu pula dengan Alvin, walau dia tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun. "Syukurlah, Ify bisa melewati masa kritisnya. Detak jantungnya sudah kembali dan normal." jawabnya disertai sedikit senyuman agar anggota keluarga pun bisa tersenyum lega mendengarnya. Mr. Stuart dan Via seketika mengucap syukur kepada Sang Maha Kuasa atas kemurahan-Nya yang masih memberi Ify kesempatan untuk melanjutkan hidupnya. Begitu pula dengan Alvin, walau dia hanya bisa mengucap syukur dalam hati saja. "Dokter Teo!" salah seorang suster yang tadi ikut membantu di dalam, tiba-tiba memanggil dokter bernama Teo yang berdiri di depan Mr. Stuart dan lainnya. Teo menolehkan wajahnya, dan entah kode apa yang diberikan suster berbadan mungil itu sehingga membuat Teo kembali masuk ke ruang ICU dan meminta Mr. Stuart serta yang lainnya menunggu di luar. Tentu saja, hal ini membuat ketiga orang yang menunggu Ify itu jadi bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang terjadi? "Vin, Ify nggak akan kenapa-napa 'kan?" Mr. Stuart kembali dilanda rasa cemas karena adanya kejadian ini. Via mendekat, dia memberanikan diri untuk mengusap bahu Mr. Stuart layaknya seorang anak gadis kepada papanya sendiri. "Om tenang aja ya, aku yakin kalau Ify bisa bertahan kok. Kita semua tahu sendiri, dia 'kan gadis yang kuat." ujar Via pelan masih dengan gerakan tangan yang sama. Belum sampai lima menit, suster yang tadi memanggil Teo pun kembali membuka pintu ruang rawat dan tersenyum lebar ke arah Alvin, Mr. Stuart serta Via secara bergantian. "Nona Ify sudah siuman." dengan nada bahagia, suster tadi memberi tahu kepada pihak keluarga bahwa Ify siuman. Sontak, hal ini membuat ketiga orang tadi berebut untuk masuk ke ruang ICU karena ingin menemui serta melihat kondisi Ify. Mr. Stuart mengucap syukur banyak-banyak atas kebaikan Tuhan yang sudah membangunkan putri bungsunya. "Ify! Papa ada di sini, sayang." Mr. Stuart langsung memeluk tubuh anak gadisnya. Ify masih diam. Kedua bola matanya bergerak ke sana kemari, melihat ketiga orang yang dia rindukan. Papanya, kakaknya dan sahabatnya. Semuanya ada di saat dia baru membuka mata setelah tidur terlalu lama. "Aku kenapa, Pa?" inilah pertanyaan pertama Ify setelah beberapa menit siuman. Mr. Stuart melepaskan pelukannya, dia mengusap wajah cantik Ify lalu dia cium kening dan kedua pipi Ify secara bergantian. Hal ini jelas membuat Ify semakin kebingungan. "Kamu nggak ken-," "Lo koma." Semua mata tertuju ke arah Alvin sekarang. Begitu pula dengan Mr. Stuart yang tampak tidak setuju akan kejujuran yang Alvin berikan. Padahal menurut Mr. Stuart, masalah koma itu bisa dibahas nanti lagi. "Gue koma?" Ify ganti menatap Via untuk meminta penjelasan, karena Ify tahu bahwa Alvin tidak akan memberi penjelasan sepatah kata pun. Kepala Via mengangguk, dia mengiyakan pertanyaan sahabatnya barusan. "Iya, lo koma sebulan setelah lo histeris di taman karena dikasih kembang sama Tika waktu pelajaran Bu Yona." Via menjelaskan secara singkat dan padat. Ingatan Ify langsung flashback ke kejadian waktu itu. Dia ingat sekarang, kalau dia pernah mengalami histeris di taman. Tapi Ify tidak menyangka kalau dampaknya bisa sampai membuatnya koma selama satu bulan begini. "Kondisi Ify sudah jauh lebih baik. Hari ini juga, Ify bisa dipindahkan ke ruang rawat." Teo menyela, sebelum nanti ada yang bersuara lagi. Mendengar ini, membuat semuanya kembali mengucap syukur. Hanya Ify yang diam melihat Mr. Stuart dan Via terus mengucap terima kasih kepada Tuhan. Dalam hati, Ify sebenarnya senang karena kejadian ini dia bisa melihat papanya. Ify begitu merindukan Mr. Stuart yang sangat ingin dia peluk. Kalau tidak ada kejadian seperti ini, Ify tidak tahu kapan Mr. Stuart akan pulang menengoknya karena beberapa bulan terakhir ini Mr. Stuart sedang disibukkan oleh pekerjaannya. Dari semua orang yang ada di sana, tidak ada yang berani memulai obrolan. Sementara Teo dan beberapa suster yang ikut membantu menangani Ify pun sudah undur diri untuk mencari kamar kosong buat Ify. Kebetulan, Mr. Stuart meminta kamar VVIP agar putrinya merasa nyaman. "Pa!" Ify memanggil Mr. Stuart pelan, membuat semua orang jadi penasaran. "Ya? Kenapa? Kamu mau minta apa? Bilang ke Papa sini." Mr. Stuart duduk di atas brankar tempat Ify berbaring seraya mengusap ubun-ubun putrinya. "Ini aku beneran siuman 'kan? Aku enggak lagi mimpi 'kan?" tanyanya penuh rasa penasaran di raut wajahnya yang tidak dapat ditebak. Ketiga orang yang ada di sana jadi ikutan heran atas pertanyaan Ify. Mereka tidak mengerti ke mana arahnya. "Iya, kamu benar-benar siuman. Papa nggak lagi tidur, berarti Papa nggak lagi mimpi kamu siuman, sayang." jawabnya lirih disertai senyuman menenangkan di wajah Mr. Stuart. "Memangnya kenapa, Fy?" Mr. Stuart jadi balik bertanya, karena dia juga tidak bisa menutupi rasa penasaran di dalam benaknya. Bola mata Ify menatap serius, dia seperti sedang mengingat-ingat apa yang dia alami selama koma kemarin. "Aku kira, selama ini aku nggak koma karena mimpiku terasa sangat nyata." dengan tatapan kosong, Ify menjawab. Kening Via mengerut, Alvin juga mengedikkan bahunya ketika Via seolah meminta penjelasan darinya atas apa yang dimaksud Ify barusan. "Memangnya apa yang kamu impikan?" "Banyak. Banyak banget pokoknya yang aku mimpiin, Pa. Sampai-sampai aku nggak bisa bedain antara mimpi dan kenyataan." Walau Alvin cemas akan kondisi mental adiknya, namun dia tetap diam untuk bersiap mendengar apa yang akan Ify katakan selanjutnya. "Saking takutnya, aku sampai takut kalau ternyata kali ini pun aku hanya sedang bermimpi dan akan bangun beberapa bulan kemudian." Seketika, Mr. Stuart langsung memeluk putrinya lagi. Dia usap-usap punggung Ify, berharap kalau hal ini bisa membuat anak gadisnya jauh lebih tenang. Terus, siapa Rio? Siapa dia, kalau ini gue baru bangun dari siuman? Tanya hati kecil Ify yang penuh keseriusan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN