Duapuluhsatu

2097 Kata
Tidak peduli berapa banyak perkelahian yang mungkin kamu alami Jika kamu benar-benar mencintai seseorang Itu tidak akan menjadi masalah pada akhirnya. [] ♥♥♥♥♥ Achi duduk dihalaman belakang rumah ketika Arham mencarinya sore itu. Sedang menikmati hangatnya angin yang berhembus. Matanya memandang ke arah langit, matahari masih enggan tenggelam. Ada banyak layangan berterbangan di langitnya. Achi rindu, rindu bermain bersama dua orang malaikat penjaganya. Sebenarnya tadi ketika selesai membantu ibu membuka warung, Arham ingin langsung menyelesaikan masalahnya dengan Achi, tapi apa daya, bapak memintanya untuk membantu memanen sawit di ladang. Biasanya Fadlan yang mendapat tugas ini, namun karena sebentar lagi Fadlan akan menghadapi Ujian Nasional, ia sibuk untuk try out di sana-sini. “Kamu disini toh,” kata Arham ketika menemukan istrinya sedang duduk di rumput halaman belakang rumah orangtuanya. Achi tidak ingin menoleh, hatinya masih perih. Ketidak perdulian suaminya sudah cukup membuat ke egoisannya memuncak. Biar dia sendiri mengobati luka hatinya. Arham duduk disamping Achi. Bingung bagaimana cara berhadapan dengan orang yang sedang marah. Selama ini belum ada yang begitu marah padanya. Waktu zaman ia berpacaran pun ia juga secuek ini. Mungkin itu juga yang menyebabkan pacarnya berhamburan lari mencari orang yang lebih baik.  Tapi ini istrinya, ia tidak ingin wanita ini pergi darinya. Wanita yang kemarin genap dua bulan bersamanya ini sangat memahaminya. Sejak dua minggu lalu selalu menjadi partnernya beribadah, selalu paham saat-saat dimana ia ingin sendiri, ingin dimanja, dan ingin mencurahkan isi hati. Ia dapat merasakan sayang tulus yang diberikan wanita ini untuknya, tapi ini lah dia dengan segala kekurangannya.  Sejauh apa wanita ini sanggup untuk menahan letihnya ketika menghadapi karakter dirinya yang kurang perhatian? Yang masih belum dapat menceritakan semua yang menjadi beban dirinya? Akankah ia sudah merasa bosan sehingga balik tidak memperdulikannya seperti ini? Arham meraih tangan Achi yang tengah mendekap lutut, menggenggam jemarinya. “Chi, jujur saja, Abi masih belum tahu kita punya masalah apa. Tolong Achi jangan mendiamkan Abi seperti ini.” Achi menarik tangannya perlahan, matanya masih menatap langit. Rasanya dia ingin berteriak. Ingin pulang ke pangkuan mama.  Beginikah sulitnya menikah? Sampai kapan ia belajar untuk menyesuaikan diri dengan suaminya? Apakah seumur hidup pernikahannya akan seperti ini? Haruskah dia kembali mengalah, menekan semua egonya? Sampai kapan Arham akan bersikap seperti ini padanya? Kapan Arham akan mulai belajar menjadi sesosok manusia yang penuh perhatian untuknya? “Mbak, ini layangannya,” Fadlan menghampiri kakak iparnya yang duduk di samping suaminya itu. “Makasih Lan. Alan nggak ikut main?” “Tadinya sih pengen ikut Mbak, tapi mau les bahasa Inggris. Lagian Mas Aam kan udah pulang, Mbak main sama Mas Aam aja yah.” “Ngapain pakai les bahasa Inggris di luar segala, Lan? Les sama Mbak aja sini, sayang ilmunya Mbak nggak di pake,” tawar Achi. “Mbak nikah sama Mas Aam nggak dari kemarin sih. Udah keburu ndaftar Mbak. Ntar malam aja Mbak ajari Alan ya, ada yang mau ditanya juga nih Mbak. Banyak yang masih belum paham.” Fadlan mengerling jenaka. “Ya udah Lan, sana buruan pigi. Nanti kamu telat,” tegur Arham. “Iya loh Mas. Nih layangannya Mbak,” Fadlan menyerahkan sebuah layangan ke tangan Achi. “Sana Mas temeni Mbak Achi main layangan. Dari tadi kok ditinggal dirumah aja,” repet Fadlan pada Masnya itu. “Kamu ini Lan, masih kecil tapi sibuk banget ngurusin kerjaan orang.” Arham meninju pelan bahu adiknya itu. Yang ditinju malah tertawa. Fadlan segera pamit untuk pergi ke tempat lesnya. Achi memandangi layangan yang diberikan Fadlan, “Alan ini, ngasih layangan kok belum dipasangi benang, memangnya Mbaknya disuruh megangin layangan aja ya?” Arham tersentak, ide bagus!  “Sini biar Abi pegang. Kamu minta benang sama ibu di warung ya. Abi tunggu di depan rumah, kita main layangan,”  Arham mengambil layangan yang ada ditangan Achi tanpa persetujuan Achi. Mau tak mau Achi mengikuti perintahnya itu. Arham sudah menunggu di motornya ketika Achi keluar dari warung ibunya. Enggan banyak bertanya, ia pun langsung duduk di boncengan Arham. ♥♥♥♥♥ Arham memarkirkan motornya di lapangan yang dulu sering dipakai dirinya dan tim sepak bolanya berlatih. Kecil-kecil begitu ternyata ia pernah menjadi pemain sepak bola andalan sekolah.  Iya, memang Arham tidak begitu tinggi. Cukup pendek untuk ukuran lelaki berumur dua puluh dua tahun. Achi saja lebih tinggi lima centi dari dia. Tapi kalau Allah sudah berkehendak, tinggi badan pun tak jadi masalah. Ia duduk di tepi lapangan, mulai memasang benang pada sisi-sisi layangannya. Achi memandanginya, bingung mau berbuat apa. Ia juga merasa sedikit bersalah karena telah mendiamkan Arham, tapi ia ingin memberi pelajaran kepada kekasihnya itu. “Nih, udah jadi...” Arham bangkit dari duduknya, mengangkat layangan yang sudah terpasang benang. “Sekarang kita lihat arah angin. Kamu pegang ujungnya ya Chi, ntar kalau Abi bilang lepas, baru kamu lepas.” Arham menarik benang yang ada di tangannya, menginstruksikan Achi untuk melepas pegangannya. Layangan mereka terbang. “Waaahhhhh.....” Achi takjub. Arham berjalan mendekat ke arahnya.  “Keren ya. Alan memang paling pintar kalau disuruh milih layangan.” “Memangnya nggak sembarangan?” “Kan banyak jenisnya. Coraknya juga beda-beda. Kamu mau tes?” Achi mengangguk, meraih kayu yang tergulung benang dari tangan Arham. Arham duduk di tepi lapangan, memperhatikan kekasihnya yang kegirangan ketika memainkan layangan, seperti anak kecil. Jilbabnya yang semakin hari semakin memanjang berkibar ketika angin meniupnya. Letih bermain, Achi menancapkan kayu gulungan benang itu ke tanah. Ia menoleh ke belakang, melihat Arham terbaring di rumput lapangan. Matanya tertutup. Achi berjalan mendekatinya, berdiri di samping tubuh yang tengah terbaring itu. Abi, kau laki-laki yang telah mencuri hampir seluruh bagian hatiku. Bisa-bisanya kau tak paham kalau aku sedang terluka, Bi. Cukup tampan, wajahmu lebih muda dari usiamu. Mungkin masih cocok kalau kau mengenakan pakaian SMP. Tapi tidak, anak SMP sekarang kan pendek-pendek. Mungkin SMA lebih pantas. Kadang ketika jalan bersamamu, aku takut disangka jalan dengan adikku, Bi. Mata mu yang sipit namun tajam ketika memandang. Hidungmu, hampir sama sepertiku, sedikit kurang mancung, gimana nanti anak-anak kita ya? Pasti semua pesek. Tapi tak masalah lah, toh orang pesek itu kan cenderung jujur, lihat saja pinokio, ketika berbohong hidungnya jadi mancung, hehehe. Bibirmu yang penuh itu, beberapa temanku sempat komentar waktu resepsi kita kemarin. Kata mereka bibirmu seksi, iya kah? Aku tak memperhatikan itu.  Hmm, t**i lalat yang ada di kanan atas bibirmu itu benar-benar menegaskan bahwa kau cukup cerewet dan pengatur. Rambutmu yang sudah seperti Andres Iniesta dari Barcelona botaknya, tapi aku suka.  Ah! Kumismu sudah mulai tumbuh, kau pasti lupa mencukurnya lagi. Nanti akan ku ingatkan. Dagumu yang sedikit runcing itu, aku suka sekali. Apa lagi ketika mengelus beberapa helai janggut yang tumbuh disana, gemas. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padamu, Bi? Kau memang cuek dan kurang perhatian. Tapi kau juga penurut, mendengarkan dengan khidmat ketika aku merepet panjang karena kau terlambat makan. Lalu dengan pasrah membuka mulut waktu ku sulangkan nasi. Sesekali merajuk dan balik merepet karena aku dengan sengaja menaruh sambal yang banyak saat menyulangkan nasi ke dalam mulutmu. Aku jatuh cinta padamu sayang... Mata itu terbuka, “Hayo!! Ngapain ngeliat-liat?” Achi langsung membalikkan badan, jantungnya berdetak kencang. Duh! Dua bulan menikah tapi tetap saja jantungan seperti ini... Arham menarik tangan Achi untuk duduk di sampingnya. Achi menurut, Arham merebahkan kepalanya di paha Achi. “Jilbab kamu makin panjang sayang?” Achi mengangguk. “Sejak kapan mulai kamu panjangkan?” Kali ini Achi merengut. “Beginilah derita punya suami nggak perhatian.” Singkat, padat, tepat, dan pedas. Arham tertawa, “Ihh, nggak enak kali Abi dengernya. Jangan gitu lah sayang. Kayaknya sejak pulang dari posko ya?” “Ah, perasaan Abi aja itu,” “Berarti salah, sejak kapan sayang? Kasih tahu dong,” bujuknya. “Sejak kita nikah. Pasti nggak pernah di perhatiin kan. Abi gitu loh, dapat award lah kalo Abi bisa peka,” Achi memanyunkan bibirnya.  Ini juga karena ulahmu yang saat di posko dulu menggodaku dengan mengatakan bahwa aku terlihat lebih manis dengan jilbab panjang. Belum lagi ekspresi kegiranganmu yang seperti anak kecil itu ketika aku menuruti keinginanmu untuk pertama kali memakai jilbab yang lebih panjang. “Ya maaf dong sayang.” Arham terkekeh pelan.  “Sayang...” panggil Arham. “Hmm...” Achi tidak perduli dengan permohonan maaf Arham. “Kangen Dedek lah...” Achi menatap Arham kaget. Dengan cepat ia memalingkan wajahnya yang terasa panas itu. “Si Dedek ini lah, tiap Abinya ngomong kayak gitu langsung buang muka. Difikirnya gampang apa ngomong gitu. Sakit hati nih Abi jadinya.” Arham menggoda. Achi mencubit hidung Arham, gemas. Arham bersorak, “Akhirnya mawarku kembali menampakkan senyumnya ya Allah...” “Hush Abi! Malu diliatin anak-anak tuh,”  Achi melihat sekitar, anak-anak yang sedang bermain disana memandang ke arah mereka, kemudian bersiul menggoda. “Hehehe....” Arham mengelus jidatnya.  “Sayang, kenapa sih hari ini Abi didiemin? Abi salah apa?” Achi enggan menjawab. “Sayang, kamu tahukan, Abi ini nggak peka. Kadang-kadang pekak juga. Jadi kamu kasih tahu dong. Abi minta maaf kalau Abi buat salah ke kamu, tapi didiemin itu nggak enak banget loh sayang, ceyiyus deh...” Arham mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V. Achi mendesah. Tangannya mengelus kepala Arham.  Sudahlah, untuk apa lagi di teruskan.. “Nggak apa-apa kok Bi. Adiknya aja yang terlalu sensitif. Abi nggak salah apa-apa.” Arham bangkit, mencoba duduk. “Nggak ada apa-apa kok Abi didiemin gitu?” “Abi sayang, perempuan itu makhluk yang paling sensitif. Perasaannya itu ringkih banget, kayak gelas kaca. Sekali tersenggol, langsung deh pecah. Semenjak menikah, Achi kadang ngerasa kalau Achi makin sensitif. Jadi, Achi minta maaf ya karena udah buat Abi bingung,” Arham memandang istrinya itu.  “Kamu tahu Chi, Abi ini ibarat sebuah ruang kosong, dan kamu pelengkap kekosongannya. Kamu seperti perabotan yang ada di dalamnya. Kita saling membutuhkan, Abi butuh kamu untuk ngisi kekosongan dalam ruang hidup Abi, dan kamu membutuhkan Abi sebagai tempat berlindung. Mungkin kamu bisa mencari tempat berlindung lain, tapi Abi nggak bisa kalau bukan kamu yang ngisi. Kamu udah tersimpan rapi didalam ruang-ruang kosong Abi. Abi nggak mau kehilangan kamu.  Abi sadar diri kalau Abi ini bukan laki-laki yang romantis, yang penuh perhatian, yang setiap hari bisa ngungkapin kata-kata cinta, ngasih surprise yang buat kamu berbunga-bunga. Tapi inilah Abi dengan semua kekurangan yang ada di diri Abi. Abi butuh kamu, Chi.” Achi terdiam, matanya terasa panas. “Abi pernah bilang ke kamu kalau nanti Abi pasti banyak merepotkan kamu, dan ternyata benar. Rumah tangga itu ibarat sebuah kapal yang sedang berlayar. Tujuannya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Abi sebagai kepala keluarga menjadi nakhodanya, dan kamu jadi anak buah kapalnya. Terkadang memang kita harus berselisih pendapat untuk menentukan jalan yang mana yang akan ditempuh untuk menuju tujuan kita. Tapi kita harus tetap solid, biar sampai dengan selamat ke tujuan. Belum lagi ketika badai dan ombak menerjang, kalau kita nggak kompak, kapal kita pasti karam di tengah jalan kan sayang? Ombak dan badai yang seperti ini pasti akan datang lagi untuk menghantam kapal kita. Kita masih harus banyak belajar lagi. Abi butuh kamu untuk tetap berjuang. Kamu siapkan?” Achi mengangguk pelan, air matanya sudah tumpah membasahi rok birunya. “Abi minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik untuk kamu. Tapi yakinlah Chi,  Abi mencintaimu, insyaAllah karena-Nya.” “Sebenarnya Abi suami yang baik, cuma terkadang suka cuek banget. Achi pengen Abi itu lebih peka, lebih sensitif waktu ngelihat ada yang berubah dari sikap Achi. Kadang Achi capek banget ngelihat Abi yang cuek itu. Ya memang Chi tahu, Achi juga jauh dari kata sempurna. Masih manja, masih suka merajuk, masih egois. Achi takut Abi bosen dengan semua sifat Achi.” “Maafin Abi sayang. Itulah kekurangan Abi. Insya Allah Abi nggak akan bosan dengan semua sikap kamu. Lagian ntar bisa dibicarakan kalau ada yang kurang cocok, jadi bisa dicari solusinya. Sampai sejauh mana capeknya kamu dan sampai sejauh mana kesabaran Abi menghadapi semua sikap kamu, kita lihat aja. Jadi kita sama-sama punya tugas dan tanggungan masing-masing.” Arham mengelus kepala Achi.  “Senyum dong sayang, jangan nangis lagi,” Achi mengangguk, senyumnya merekah. Ia merasakan hatinya jauh lebih plong sekarang. Kemudian memandang ke arah Arham, “Cium dong, disini...” pinta Arham manja sambil menunjuk jidatnya. “Abi, malu ah diliatin banyak orang tuh.” “Pura-pura nggak tahu aja. Buruan ih....” “Ah!!!! Layangannya putus Bi....” teriak Achi mengalihkan permintaan Arham. Arham menggaruk kepalanya.  “Biarin aja deh...” “Yah, nggak main lagi dong kita...” “Hmm, biar aja layangannya terbang. Karena dia terbang dengan membawa semua kemarahan yang ada dihati kamu. Sekarang kita pulang ya,” Achi menganggukkan kepalanya,  Duh suamiku, kau makin dewasa... ♥♥♥♥♥

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN