Samudra benar-benar panik karena putrinya hilang. Padahal dia sengaja menghubungi Sus Rini untuk mengobrol dengan Zahwa karena dia harus pamit sebelum berangkat ke Sumatra Utara untuk peresmian klinik kecantikan.
“Pak, putar balik. Kita ke Central Park sekarang juga!” titah Samudra pada Pak Tano, sopir pribadinya.
“Baik, Pak.”
Padahal bandara sudah ada di depannya, tapi Samudra lebih memilih putar balik untuk mencari putrinya daripada meneruskan penerbangan. Toh, dia juga tidak bisa tenang melakukan perjalanan ke Sumatra Utara.
Setelah 40 menit dalam perjalanan, Samudra akhirnya bisa menginjakkan kakinya di mall. Segera dia keluar dan berlari menemui Sus Rini yang tampak pucat.
“Di mana Zahwa?”
“Belum ketemu, Tuan,” jawab Sus Rini dengan nada lirih.
Seketika Samudra mengepal tangannya menahan gejolak amarah yang melahap dirinya. Warna kulit telinga yang putih menjadi merah, bahkan kedua matanya juga sama.
“Saya tidak akan membuat perhitungan denganmu sekarang. Tapi tunggulah setelah ini!” kecam Samudra menatap tajam Sus Rini yang seketika gemetaran. Bagaimana tidak, pria tampan berkulit putih itu sama sekali tidak pernah menunjukkan kemarahannya di depan orang, tapi hari ini benteng kesabaran yang dibangun olehnya terkikis hingga menampilkan wujud devil yang membuat siapapun kaget dan ketakutan padanya.
Samudra mengedarkan pandangannya. Di tempat seluas ini, jelas dia kesulitan menemukan putrinya, alhasil dia pergi ke kantor keamanan untuk membuat laporan kehilangan anak.
“Boleh kami melihat foto anak, Bapak?” tanya Petugas keamanan setelah mendapat laporan kehilangan anak.
Samudra langsung mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan wajah putrinya yang menghiasi wallpaper ponselnya.
“Tadi ada dua orang perempuan yang membuat laporan untuk anak ini. Karena tidak akan orang yang menjemputnya, akhirnya putri Bapak dibawa mereka,” papar Petugas keamanan. Masih mengingat dengan jelas wajah Zahwa.
“Apa ada petunjuk untuk saya bisa menemui putri saya, Pak?” tanya Samudra. Ada kelegaan karena anaknya ada yang menolong, tapi satu sisi lagi dia bingung harus menemukan Zahwa di mana.
“Tunggu sebentar!” Petugas keamanan masuk ke dalam kantornya untuk mengambil kartu nama dalam laci, lalu dia kembali menemui Samudra dan menyerahkan padanya.
“Itu kartu nama wanita tadi. Katanya kalau ada orang yang menjemput Awa, disuruh hubungi beliau.”
“Terima kasih, Pak.”
Lagi-lagi batu besar yang tadi menghimpit d**a Samudra sampai dia kesulitan bernapas perlahan tersingkirkan. Buru-buru dia memasukkan 12 digit nomor atas nama Naomi Maylafasha, kemudian menghubunginya.
Satu panggilan tidak terjawab. Samudra tidak menyerah dan terus menghubunginya sampai belasan panggilan, tetap tidak ada jawaban.
“Ck! Kenapa perempuan ini sulit sekali dihubungi?” gerutu Samudra mulai kesal. Dia kembali mengamati kartu nama yang ada di tangannya. Begitu menemukan alamat rumah yang tercantum, segera dia pergi.
Meskipun Samudra akan bertolak pada alamat rumah Naomi, dia tetap tidak berhenti menghubunginya. Masih berharap diangkat meskipun sudah sampai di halaman rumah dua lantai itu, dia masih belum mendapat jawaban dari Naomi. Alhasil, Samudra pun turun untuk bertamu, sekaligus menjemput putrinya.
Samudra memencet bel beberapa kali sambil menunggu pintu dibuka. Tak lama kemudian pintu yang tadi tertutup, kini terbuka. Terlihat seorang wanita paruh baya muncul di balik pintu.
“Cari Sakhi ya?” tanya Bu Rosa. Melihat dari penampilan Samudra dengan kemeja yang digulung sampai siku sudah membuat Bu Rosa mengira bahwa kedatangan Samudra untuk mencari Sakhi.
“Bukan, saya datang ke sini untuk mencari bu Naomi,” jawab Samudra berterus terang. Seketika wajah Bu Rosa redup.
“Dia sudah tidak tinggal di sini lagi. Ngapain kamu cari dia ke mari?” Bu Rosa malah memberi respon dengan ketus sampai membuat Sakhi kaget. Bahkan Sakhi juga demikian sampai dia buru-buru keluar dan melihat lawan bicara ibunya.
“Ada apa ya, Pak?” tanya Sakhi penasaran.
“Saya datang ke mari untuk menemui bu Naomi. Karena bu Naomi membawa putri saya,” jawab Samudra dengan jujur.
“Anak?” Mereka terkejut.
“Iya.”
Bu Rosa menarik lengan putranya lalu berbisik, “Jangan-jangan ini selingkuhan istrimu.”
“Apa?” pekik Sakhi tersentak, gegas dicubit lengannya oleh Bu Rosa, memberi isyarat kedipan mata untuk tidak meneruskan.
“Naomi tidak ada di sini. Silahkan Bapak pulang!” sarkas Sakhi langsung menutup pintu, sontak membuat Samudra kaget dan heran.
“Bu, bagaimana bisa Nao selingkuh?” tanya Sakhi menatap manik mata ibunya.
“Mana Ibu tau. Sekarang coba kamu pikirkan! Kenapa setelah 3 tahun kalian menikah tapi belum dikaruniakan anak? Sekarang ada laki-laki datang menanyakan anaknya. Apa mungkin sebenarnya Naomi main api, hamil, terus anaknya dititipkan pada ayahnya, sekarang Naomi menculik anaknya dan selingkuhannya malah kalang kabut mencarinya?” papar Bu Rosa dengan lugas.
Seketika Sakhi bergeming. Kepalanya langsung dipenuhi dengan analisa yang dipaparkan ibunya. Dia pun kembali keluar untuk menemui Samudra tapi malah hilang.
“Ke mana orang itu pergi?” tanya Sakhi celingukan.
“Kenapa kamu mencari laki-laki itu?”
“Sakhi ingin bertanya usia anak itu.”
“Lebih baik kamu hubungi Naomi langsung! Tanyakan padanya kenapa dia bisa punya anak dari laki-laki lain, bukannya dari kamu yang sudah jelas suami sahnya?” cerocos Bu Rosa, menyimpan kebencian yang besar.
Sakhi pun manut, dia segera menghubungi Naomi tapi sama sekali tidak dapat terhubung. “Sialan, Sakhi diblok, Bu.”
“Dasar perempuan jalang. Dia pasti sudah tau kita akan menghakiminya, makanya dia sengaja memblokir nomormu.”
Ibu dan anak itu masih saja menduga-duga anak yang dicari Samudra. Sementara itu, Naomi sendiri malah asik bermain dengan Zahwa yang baru saja selesai mandi, saling bercanda dan tertawa bersama, seolah-olah beban yang dipikul oleh Naomi hilang dihempas angin.
“Ini gak boleh dilewati. Kita harus foto bersama,” ujar Naomi. Dia bangun mencari ponselnya di dalam tas, tapi tidak ada. Dia mencari ke seluruh kamar pun juga tidak menemukannya.
Naomi berdiam sejenak seraya mengingat-ingat di mana dia meletakan ponselnya. Teringat suatu tempat, dia pun segera pergi ke garasi dan membuka pintu mobil Ayu. Dia mencari ponselnya secara menyeluruh hingga dia berhasil menemukan ponselnya terjatuh dibawah jok mobil.
“Loh, siapa yang menelponku?” Naomi kaget melihat banyak panggilan tak terjawab, bahkan pesan masuk dari nomor yang sama. Dia pun langsung menghubunginya kembali.
“Astaga, kenapa baru dihubungi sekarang? Apa Ibu sengaja ingin menculik putri saya?”
Naomi terperanjat mendengar omelan pria di seberang sana. Bahkan dia belum memberi salam ataupun menyapanya.
Naomi yang sedang berada dalam mood kacau karena masalah rumahtangganya, ditambah dengan datang bulan, dia pun jadi terpancing dan meladeni Samudra.
“Bapak, jangan asal memfitnah saya ya! Bersyukur, anak Bapak saya tolong, kalau gak ada saya, bisa-bisa anak bapak tinggal nama.”
“Jangan kurang ajar menyumpahi putri saya meninggal ya!” ketus Samudra. Dia sendiri marah karena Naomi tidak menjawab panggilannya, padahal dia sudah sangat mencemaskan keadaan Zahwa, bahkan rela membatalkan jadwal penerbangannya.
“Sekarang katakan Ibu tinggal di mana, biar saya langsung ke sana!” imbuhnya lagi.
“Tidak akan pernah saya katakan.”
“Ibu Naomi!”
“Anda sudah bersikap kasar pada saya. Silahkan nikmati kekesalan Anda,” pungkas Naomi langsung menutup telponnya dan ponselnya kembali berdering, memunculkan nomor yang sama, gegas Naomi menekan tombol tolak.
“Biarin aja. Orang sombong memang harus dikasih pelajaran,” gumam Naomi.