Ketahuan

1556 Kata
“Kamu serius menempatkan Dea di sisi suamimu?” Ayu kaget baru tahu setelah dua bulan Naomi menempatkan Dea di sisi suaminya, sebagai sekretaris. “Iya.” Naomi mengangguk mantap tanpa ada keresahan sedikitpun. Malah Ayu yang terlihat resah dari raut wajahnya. “Ya ampun, Nao, kamu sudah menempatkan orang yang salah.” “Jangan su’udzon! Itu sama sekali tidak baik. Lagipula kasihan Dea baru saja bercerai dari suami, gak ada kerjaan, malah harus mengurus anaknya lagi.” “Tapi gak juga sekretaris, Nao. Kamu bisa memberi dia pekerjaan lain.” Naomi menghentikan langkahnya, dia menoleh, menatap Ayu cukup lekat. “Ada apa denganmu, Ayu? Kamu gak seperti ini loh selama ini.” Naomi merasa ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya, tidak seperti dulu yang suka sekali menunjukkan sisi kemanusiaan dan kerap mendukung apa yang menjadi keputusannya. “Nao, aku kenal Dea lebih dari kamu. Mungkin kamu gak akan percaya dengan apa yang aku katakan, karena kamu terlalu baik dan gak pernah berpikiran negatif sama orang. Tapi untuk kali ini, aku harap kamu pasang insting kamu!” Ayu berbicara dengan sungguh-sungguh sampai membuat Naomi penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Ayu sebenarnya. Namun, dering ponsel dari dalam tas memecahkan keheningan, segera dia menjawab panggilan dari suaminya. “Ada apa kamu telepon?” “Aku ingin mengajakmu dinner, Mas, malam ini.” “Malam ini? Sepertinya gak bisa, Dek. Mas banyak kerjaan.” “Mas, luangkan waktu untuk malam ini bisa? Aku mohon! Malam ini adalah malam yang paling peting untuk kita.” Hening, tidak ada jawaban dari Sakhi untuk sejenak. “Baiklah. Aku akan pulang cepat.” “Terima kasih, Mas.” Naomi tersenyum semringah. Kebahagiaan menyelimuti dirinya, lekas dia menutup telepon dan menatap sahabatnya. “Aku harus pulang. Nanti malam aku akan dinner sama mas Sakhi, sekalian rayakan anniversary kami yang ke-3.” Naomi antusias sekali saat berbicara dengan sahabatnya. Lantas Ayu membalas dengan senyum dan anggukan kepala. Ada yang janggal di hatinya, tapi dia tidak bisa merusak kebahagiaan Naomi begitu saja. “Sesekali dia cek ya, hp suaminya!” “Ayu, maksudmu apa?” Senyuman di bibir Naomi mendadak pudar, berganti dengan raut wajah serius. “Gak apa-apa. Lupakan saja!’ Meskipun diminta untuk melupakan, tapi ucapan Ayu masih membekas di dalam pikiran. Terus terngiang meskipun dia berusaha menepisnya dan barulah hilang ketika dia sampai di rumah, melihat suaminya sudah tiba lebih dulu daripada dirinya. “Mas, sudah pulang? Maaf ya, aku terlambat, habis beli gaun untuk dinner kita malam ini.” Sakhi mengangguk pelan, tapi suara ketus dari dalam yang perlahan terlihat wajahnya sontak membuat hati Naomi teriris. “Suami capek pulang kerja, istri tidak ada di rumah, malah keluyuran, hambur-hambur uang … istri macam apa sih kamu ini?” “Maaf, Bu, Nao tadi ke mall beli baju untuk dinner malam ini. Nao juga sudah izin sama Mas Sakhi.” Naomi tidak tinggal diam, dia menjelaskan alasan dia pulang terlambat ke rumah karena memang dia keluar siang untuk membeli baju. Tidak keluyuran, hanya mengobrol sebentar dengan Ayu, setelah itu langsung kembali ke rumah. “Malah nyaut lagi. Memangnya perempuan mandul sepertimu suka sekali berdebat.” Naomi meneguk keras salivanya. Dia bingung cara berinteraksi dengan mertuanya. Diam dianggap bisu, jika menjawab malah dianggap berdebat dengannya. Malah sekarang kata mandul lagi-lagi menusuk hatinya. Naomi hanya bisa membisu, menundukkan wajahnya seraya memilin jarinya. Sabar adalah hal yang paling tepat untuk menghadapi ibu mertuanya yang tidak sehangat dulu saat awal-awal pernikahan. Iya, amarah Bu Maya meledak saat Sakhi memutuskan untuk pisah rumah—dianggap tidak sayang pada ibunya dan termakan hasutan istri. “Bu, sudahlah ya! Sebaiknya Ibu masuk ke dalam!” Sakhi mengusap pundak sang istri, memberi semangat dengan kode mata. Setelah mendapati senyuman dan anggukan pelan dari Naomi, barulah Sakhi merangkul ibunya, membawa masuk ke dalam. “Huft, sabar. Gak lama kok, cuma seminggu,” gumam Naomi menghela napas panjang. Tantangan terbesar adalah ketika ibu mertuanya berkunjung ke rumah, selalu saja ada yang tidak berkenan hingga terjadi ocehan panjang lebar, yang mengakibatkan Naomi selalu tertekan. Namun, untuk hari ini Naomi tidak ingin larut atas apa yang dikatakan ibu mertuanya karena ingin fokus dengan hari bahagianya—merayakan anniversary ke-3. Dia mengayunkan langkahnya, masuk ke dalam rumah. Ibu mertuanya langsung membalas dengan tatapan sinis sehingga Naomi tidak lagi berhenti, langsung pergi ke kamarnya—menunggu suaminya menyusul. “Mas, malam ini jadi, kan?” tanya Naomi begitu suaminya membuka pintu. “Lain kali saja ya! Kasihan ibu sendirian di rumah.” “Kan ada bibi.” “Ibu tidak nyaman berdua sama bibi. Daripada kamu dapat masalah lagi, lebih baik kita tidak usah pergi.” Naomi membisu. Tidak dapat protes lagi. Segala unek-unek tertahan dalam hatinya dan dia pun memilih menyimpan gaun yang dibelinya di dalam lemari. “Aku akan balik ke kantor lagi. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu di rumahlah sama ibu! Baik-baik sama ibu! Jangan membalas ucapannya!” Sakhi berbicara panjang lebar dan Naomi pun hanya mengangguk pelan. Karena biarpun dia protes sama sekali tidak akan mendapat jawaban yang baik dari suaminya. “Mas, tunggu!” “Ada apa?” Sakhi menoleh. “Happy anniversary.” Naomi mengeluarkan sebuah kotak dari dalam papar beg, tersenyum seraya menyerahkan pada suaminya. “Jam tangan?” “Iya. Aku harap sesibuk apapun Mas, tetap ingat waktu.” “Terima kasih, Sayang.” Sakhi tersenyum mengecup kening Naomi lalu berpamitan pergi. “Dipakai, Mas!” “Nanti aku pakai di kantor.” Naomi berjalan mengikuti suaminya sampai di teras rumah. Begitu suaminya masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah, barulah dia masuk lagi ke dalam. “Istri mandul. Hobinya buang-buang uang.” Sindiran keras dari Bu Rosa cukup menohok di hati Naomi. “Itu uang pribadi Nao, Bu. Gak ada sangkut pautnya dengan uang mas Sakhi.” “Uang pribadi? Memangnya kamu kerja apa? Cuma ibu rumahtangga pun belagu, sok-sokan punya uang sendiri. Kalau bukan dari anakku siapa lagi yang akan kasih uang untukmu?” Astagfirullah, sabar, Nao. Ujian rumahtangga. Naomi selalu menyemangati dirinya untuk tidak menyerah dengan ucapan ibu mertuanya. Dianggap sebagai angin berlalu meskipun kadang masih kecantol juga di hati. “Hei, kapan kamu akan kasih Ibu cucu?” tanya Bu Rosa setelah melihat Naomi tidak ada respon. “Insya Allah secepatnya.” “Secepatnya kapan? Ini sudah 3 tahun kamu menikah dengan anak Ibu, tapi belum juga hamil. Apa kamu mandul?” Deg! Jantung Naomi berdegup kencang, nyeri sembilu menatap wajah ibu mertuanya. “Bu!” “Ingat, kalau tahun ini kamu belum juga bisa memberikan cucu untuk Ibu, kamu siap-siap dipoligami!” “Astagfirullah, Bu.” “Kalau kamu tidak suka, kamu bisa pergi meninggalkan anak Ibu.” Naomi terus beristigfar. Kedua matanya membelalak, hatinya nyeri sekali mendengar ucapan sang mertua yang begitu kejam. Hatinya terlalu sakit sampai membuat dia tidak nafsu makan, hanya bisa mengurung diri di dalam kamar—menunggu sampai suaminya pulang. Waktu terus berlalu sampai menuju jam 1 dini hari, terdengar suara pintu yang terbuka, gegas Naomi bangun, menyeka wajahnya dan tersenyum menyambut suaminya pulang. “Belum tidur?” “Terbangun tadi.” Dia berdusta. Jangankan tidur, untuk sekadar memejamkan mata saja sulit. Ucapan ibu mertuanya masih terngiang di dalam pikirannya. “Tidur lagi saja!” “Aku ingin mengobrol denganmu, bisa?” “Sebentar! Aku ke kamar mandi dulu.” Sakhi meninggalkan tas kerja dengan ponselnya di atas meja, kemudian dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Sementara itu Naomi duduk dengan tenang menanti suaminya keluar dari kamar mandi. Sekelebat kemudian ucapan Ayo melintas di pikirannya, segera dia melangkah untuk mengambil ponsel sang suaminya. Namun, ketika dia menyentuhnya malah terkunci. “Sejak kapan mas Sakhi memakai sandi di hp-nya?” Kecurigaan mulai menyelimuti Naomi. Gegas dia meletakkan ponsel suaminya kembali begitu terdengar suara pintu kamar mandi. Dia berlagak seperti biasanya, tersenyum melihat suaminya. Detik kemudian alisnya malah berkerut saat fokusnya tertuju pada rambut basah. “Mas, kamu keramas?” “Iya. Ada apa?” Naomi menggeleng. “Sini aku keringkan rambutmu!” “Tidak usah. Kamu tidurlah dulu! Ini sudah malam.” Naomi mengangguk pelan. Banyak pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Namun, dia memilih untuk menuruti suaminya, berbaring kembali di atas ranjang seraya memejamkan matanya yang sedari tadi sulit sekali untuk diajak kerjasama, dan sekarang juga begitu. Ranjang di sampingnya mulai bergerak, menandakan Sakhi sudah merebahkan tubuhnya. Naomi kembali membuka matanya, setelah terdengar suara dengkuran halus barulah dia bangun, lalu mengambil ponsel suaminya. Dia memang tidak tahu pin untuk masuk ke ponsel sang suami, tapi dia dengan perlahan-lahan menggunakan jempol Sakhi hingga layar ponsel itu terbuka. Naomi segera menjauh. Balkon dijadikan tempat dia untuk memeriksa apa yang menjadi rasa penasaran di hatinya. “Astagfirullah.” Spontan mata Naomi membelalak melihat pesan masuk dari Dea—pesan yang membuat semua orang yang membacanya memikirkan bahwa mereka ada main. [Mas, aku gak puas cuma sekali. Besok kita harus main lagi. Pulangnya pagi saja.] Hati teriris, mengantarkan Naomi untuk terus men-scroll pesan Naomi sampai ke atas. Pesan mesra dan video vulgar menghiasi layar ponsel Sakhi sampai-sampai membuat d**a Naomi perih, mendorong air mata tumpah tanpa berusaha menghentikannya. “Sayang, ngapain kamu di sini?” Naomi terperanjat, dia menoleh ke belakang. Lantas Sakhi pun ikut terkejut, buru-buru mengambil ponselnya lalu kepanikan itu semakin mendera saat melihat layar ponselnya yang menyala. “Apa kamu lakukan dengan hp-ku?” “Apa ini kado darimu untuk anniversary kita yang ke-3?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN