Goyangan ranjang itu terjadi sangat lama. Bahkan permintaan Riani untuk berhenti saja tak dihiraukan oleh Tian. Pria itu seolah buta oleh nafsu, ia terus menggenjot miliknya dalam pada Riani. Walaupun Riani sudah memohon karena k*********a ngilu dan terasa sangat perih.
Yang membuat Riani kesal setengah mati, setelah puas dengan kewanitaannya, Tian memilih untuk keluar kamar dan membersihkan diri di kamarnya. Sedangkan Riani meringkuk di atas ranjang menahan rasa panas pada vaginanya. Ia sudah seperti p*****r yang dibuang setelah puas melayai nafsu pembelinya.
Lubang miliknya terasa sangat panas. Mungkin juga ada luka disana. Karena Tian menghentaknya sangat kuat dan cepat.
Mencoba bertahan dengan sakitnya, Riani mulai bergerak walaupun sakit di selangkangannya menjadi-jadi. Iya tak menangis sama sekali. Sama sekali tak menangis. Ia justru merutuki kelakuan gila Tian.
Tian sialan.!
Umpatnya sambil menyentuh bibir k*********a yang memerah.
Suara pintu yang dibuka kembali mengejutkan Riani. Di sana tengah berdiri Tian dengan pakaian santainya. Celana pendek dan balutan baju kaos berwarna hitam ketat yang membentuk tubuh atletisnya. Apalagi rambut basah Tian.
Oh, sungguh. Jika saat ini miliknya tak sakit, ia pastikan akan meminta dimasuki oleh Tian.
'Dasar gila kau Riani...'
Tian berjalan mendekati ranjang, membuat Riani harus waspada dengan pergerakan itu.
"Mau apa lagi?" tanya Riani sinis.
"Cih! Kau seperti gadis munafik. Kau tak ingat, bagaimana gilanya kau saat kejantananku menusuk milikmu? Kau bahkan mendesah dan berteriak nikmat." ucap Tian dengan santainya.
"Brengsek..." umpat Riani penuh emosi. Ia merasa jijik melihat Tian dan menerima kenyataan ia menikmati apa yang Tian lakukan padanya tadi.
"Jangan mengumpat. Kau sendiri yang mau, bukan aku." Ejek Tian dengan wajah khasnya.
Bukannya berhenti mengumpat, Riani justru semakin menggencarkan umpatannya. Sebenarnya tujuan Riani mengumpat bukan karena ia mau, tapi karena ia ingin menyembunyikam rasa malunya dari perkataan Tian barusan.
Jika diingat-ingat, memang ia yang mau. Ia yang ingin Tian menggoyangnya sampai puas. Entahlah, kenapa bisa seperti itu.
Jika di pikir-pikir, wajah Tian sungguh membuatnya berdebar. Wajah tampan, tubuh atletis dan bawahannya yang, gghmmm.... Amazing. Membuat Riani menggila.
"Tian..."
Tian melirik tajam pada Riani yang dengan lancang memanggilnya. "Apa?" ucapnya Ketus dan terlihat geram.
Glek!
Kenapa kau begitu tampan?"
Tentu saja pertanyaan itu hanya ada di benak Riani tanpa perlu repot-repot wanita itu menyampaikan yang akan membuat Tian terbang tinggi.
"Tidak jadi...hehehe.." cengirnya.
‘Masih sanggup tertawa kau Riani? Dasar gila..’ umpatnya pada dirinya sendiri.
"Ck! Dasar gila.."
Tian langsung keluar dari kamar tersebut meninggalkan Riani yang memang langsung merasa lega. Karema ia kesulitan mempertahankan laju jantungnya.
Beberapa saat Tian keluar, pintu kembali dibuka.
"Anda ditunggu Boss Tian di meja makan."
Itu anak buahnya Tian. Sungguh, Riani merinding jika melihat anak buah pria itu. Semua bertubuh kekar dan menakutkan.
Riani mengangguk pelan. Sesaat setelah pintu tertutup, Riani berjalan menuju kamar mandi. Baru satu langkah kakinya bergerak, ia sudah meringis kesakitan. Ia merasakan perih di pangkal pahanya.
"Ya Tuhaan. Ini begitu sakit. Kenapa p***s pria tampan itu begitu besar..." rutuk Riani kesakitan. Ia berjalan sepelan mungkin ke kamar mandi.
*****
"Apa perlu selama itu di kamar mandi?"
Suara seseorang mengagetkan Riani. Ia tak tahu jika Tian tengah duduk di atas ranjang. Sejak kapan pria itu masuk? Kenapa ia tak mendengar suara pintu kamar yang terbuka?.
"Sejak kapan kau datang?" tanya Riani kesal. Pria yang duduk di ranjang saat ini sudah seperti setan. Datang secra tiba-tiba.
"Tak ada yang melarangku. Ini rumahku." jawab pria itu dingin.
"Tapi kau bisa membuatku mati berdiri. Seperti hantu saja."
Rahang Tian mengeras. Namun dimata Riani itu sangat lucu. Mungkin karena pria itu terlihat imut.
"Jangan pernah lancang mengataiku." ancam Tian.
"Kenapa jika aku lancang?"
'Mati kau Rianiiii... Nekat banget sih lawan singa..' batinnya merutuki mulutnya yang tak bisa mentoleransi situasi.
Tian berjalan pelan mendekati Riani. Menipiskan jarak antara mereka.
"K...kau mau apa?" tanya Riani gugup.
Jangan dulu. Vaginaku masih sakit.
Rengek Riani dalam hatinya.
Saat Tian sudah berada tepat di depannya, suasana seketika mendadak sepi. Tak ada yang memulai percakapam terlebih dahulu. Apalagi Tian, pria itu hanya diam menatap tepat di mata Riani.
Cukup lama mereka saling tatap, sampai akhirnya Tian buka suara terlebih dahulu, "Jangan main-main denganku." ucap Tian dingin. Bahkan hembusan nafas Tian terasa di wajah Riani. Wangi Mint yang menguar membuat Riani mendadak gila.
Saat Tian ingin membalikkan tubuh, entah kegilaan apa yang merasuki, Riani langsung menarik tengkuk pria itu dan menyatukan masing-masing bibir mereka. Melumatnya seperti lumatan saat semalam mereka berhubungan badan.
Tian tak melawan. Ia hanya diam dan menunggu sampai kapan Riani mampu melumat.
Seolah tersadar, Riani langsung melepaskan ciuman itu dengan gugup.
"M...maaf... Aku...aku...Tian..."
"Ck! Semua wanita sama saja." decihnya lalu berjalan menuju keluar.
"Tidak. Semua wanita punya caranya sendiri Tian. Dan aku, akan membuatmu menganggapku berbeda." gumam Riani pelan. Seolah meneguhkan hatinya kalau ia bisa meluluhkan hati seorang Tian.
******
Sarapan sudah selesai dilakukan. Entah kenapa ia merasa nyaman di rumah ini. Walaupun sepi, tapi hatinya tenang jika disini.
Ia harus bicara dengan Tian. Memberinya pekerjaan di sini akan lebih baik. Hehehe
Riani berjalan menuju lantai dua, ke sebuah ruangan yang ia tahu tadi dari salah satu ART Tian, kalau itu ruangan kerja Tian.
Menarik satu nafas panjang dan menghembuskannya pelan, Riani memberanikan diri mengetuk.
Tak ada jawaban dari dalam, namun pintu tiba-tiba terbuka. Memunculkan wajah Sbastian, orang kepercayaan Tian.
"Tuan sedang sibuk!" jawabnya dingin, membuat Riani merinding.
Kenapa anak buah dan boss sama-sama dingin begini...
Eghheemm..
"Sebenarnya aku..."
"Bisa kau datang lagi nanti? Aku sedang ada urusan. Atau kau ingin uang? Cih!"
Jleb!
"Uang? Uang apa?"
"Jangam berpura-pura bodoh. Setiap wanita yang sudah kutiduri pasti menginginkan uang."
Riani tertohok mendengar perkataan Tian.
"Aku bukan p*****r Tian. Anak buahmu yang membawaku kesini dan kau memperkosaku."
BRAAKK!!
Suara gebrakan meja mengejutkan Riani. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Tian. "Bastian, kau keluar dulu.!!" perintah Tian dingin.
Bastian mengangguk lalu pamit dari ruangam tersebut.
"Sekarang, kau kuberi kesempatan bicara. Mau apa kau?"
"Ck! Apa ini kelakuan semua pria? Sudah meniduri seorang perempuan, lalu menganggap perempuan itu paling gatal dan yang menggoda. Bajingan..." Geram Riani tak terkontrol.
"Heh! Kau seperti gadis lugu yang memuakkan Riani. Kalau kau ingin tahu kenapa kau ada di sini? Kau bisa tanyakam keluargamu. Mereka berhutang padaku dan sebagai jaminan, mereka menjualmu padaku."
Deg!
Gemuruh hati Riani bergetar, menciptakan rasa sakit teramat sakit dalam dirinya. Kenapa ini? Kenapa bisa seperti ini? Dijual? Digadaikan?
"Kalau kau tidak percaya, ini surat perjanjian yang orangtuamu tanda-tangani." Tian menyerahkan map pada Riani. Meminta gadis itu membacanya. "Oh iya. Jangan berharap itu asli. Karena yang aslinya sudah ku simpan dengan aman." lanjutnya lagi.
Riani membaca dengan seksama. Memang benar, disana tertulis orang tuanya meminjam uang Tian sebesar delapan ratus juta ditambah berbagaiacam bunga membuat uang itu semakin berlipat ganda.
"Lalu kenapa aku?" tanya Riani lirih.
"Karena hanya kau yang bisa menjadi jaminannya. Di sana tertulis kau menjadi tawananku sampai aku bosan. Setelah aku bosan kau kubuang dan hutang orangbtuamu kuanggap lunas."
Hancur sudah. Niat awalnya yang ingin meminta pekerjaan pada Tian, kini berubah menjadi rasa sakit yang membuat ketakutan. Rasanya sungguh sakit.
"Dan aku belum puas..."
Deg!
*****