PART. 12 PERMINTAAN IBU PRANA

2039 Kata
Nana pulang ke rumah. Nino libur di hari Sabtu, sementara Nina sekolah, biasanya jam seperti ini sudah pulang. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Nino dan Nina mencium punggung tangan kakaknya. "Ada yang ingin kakak bicarakan dengan kalian. Kalian berdua duduklah." Nana duduk diikuti oleh kedua adiknya. Nana menghela nafas berat. Tatapannya pada kedua adiknya. Mata Nana berkaca-kaca. Kemudian jatuh air mata di pipinya. Kedua adiknya saling pandang. "Kakak kenapa?" Nana dan Nino bangkit dari duduk mereka di sofa tua. Mereka berlutut di sisi kiri dan kanan kaki Nana. "Kakak berharap. Setelah mendengar cerita ini. Kalian tidak marah dan tetap semangat bersekolah." "Kami berjanji akan tetap semangat sekolah, dan tidak akan pernah berubah sampai kapanpun." Nino yang mengucapkan janji. "Kakak ingin kalian tahu. Apa yang Kakak lakukan demi pendidikan kalian, bukan sebuah pengorbanan. Bukan pula hutang yang harus kalian bayar. Semua kewajiban Kakak sebagai pengganti orang tua kita." Air mata Nana jatuh ke atas pangkuannya. "Kak ...." Nina ikut menangis, meski tidak tahu apa yang membuat kakaknya menangis. "Kalian pasti akan terkejut mendengar apa yang akan Kakak sampaikan. Tapi Kakak mohon jangan benci Kakak." Nana menarik nafas dalam lalu ia hembuskan perlahan. "Ada apa, Kak." "Sebentar." Nana membuka tasnya. Lalu mengeluarkan buku nikah siri yang diberikan oleh penghulu, saat mereka menikah sebulan lalu. "Satu bulan lalu. Bu Lita, istri Bos Prana, meminta kepada Kakak. Agar Kakak bersedia menjadi istri muda Bos Prana, dengan jaminan biaya pendidikan kalian sebagai bayaran." Nana menatap wajah kedua adiknya. Mulut kedua adiknya terbuka, tatapan mereka tertuju ke arahnya. "Hal itu dilakukan Bu Lita, karena mereka sudah menikah tujuh tahun tapi belum memiliki keturunan. Bu Lita juga ingin ada yang menjaga dan mengurus Bos Prana di sini. Kakak menerima tawaran itu. Satu bulan lalu kami menikah siri, Kakak sah menjadi istri Bos Prana secara agama." Nana meletakkan buku nikahnya di atas meja. "Kak." Air mata berjatuhan di pipi kedua adiknya. "Kalian masih ingat kejadian sebulan lalu saat Kakak menginap di hotel? Saat itulah kami menikah. Ini buku nikahnya. Memang bukan buku nikah yang dikeluarkan oleh KUA, karena kami hanya menikah siri saja. Yang tahu pernikahan ini, hanya Bu Lita, ibunya Bos Prana, Pak Bekti, dan Pak Sodik. Ditambah kalian sekarang." Suasana hening, hanya terdengar suara tangis Nina. "Ibu Bos Prana yang meminta Kakak memberitahu kalian. Hari ini beliau datang dan menginap di hotel. Beliau meminta Kakak menjemput kalian dan membawa kalian bersama Kakak menginap di hotel yang sama. Kakak berharap, kalian tidak kecewa dengan apa yang sudah Kakak putuskan, yaitu bersedia menjadi istri muda Bos." "Sedikitpun kami tidak kecewa, Kak. Karena bukan Kakak yang menginginkannya, tapi istri bos yang meminta Kakak untuk menikah dengan bos. Apalagi mendapat restu dari orang tua bos langsung." Nino yang bicara karena Nina masih belum bisa bicara. "Terima kasih kalian mau mengerti. Sekarang siapkan pakaian kalian yang akan dibawa ke hotel. Kita akan menginap satu malam. Besok sore kita kembali pulang." "Baik, Kak." "Bawa pakaian untuk berenang. Karena kamar kita di samping kolam renang." "Baik, Kak." "Anggaplah ini sebagai hadiah kelulusan kalian." "Terima kasih, Kak." "Ayo siap-siap." Nama dan kedua adiknya mempersiapkan apa saja yang ingin dibawa. Setelah selesai. "Kita naik apa ke sana, Kak?" "Pesan taksi online saja." "Kakak punya aplikasinya?" "Sebenarnya tidak punya. Tapi tadi dipaksa bos suruh mendownload. Apa kalian tahu caranya bagaimana?" "Biar aku coba, Kak." Nana menyerahkan ponselnya kepada Nino. Nino memesan mobil untuk ke hotel. "Berapa?" Tanya Nana. Nino menyebutkan jumlah uang yang harus dibayar. "Ada uangnya, Kak?" "Ada. Tadi diberi Bos. Kita tunggu di depan." "Mobilnya masih jauh, Kak." Nino menunjuk posisi mobil di layar ponsel Nana. "Masih jauh." "Kita tunggu di dalam saja, Kak." "Iya. Kompor, cucian, lampu, sudah beres?" "Sudah, Kak." "Kalian sudah makan siang?" "Sudah. Ini nasi dan lauknya aku bawa. Sayang ditinggal." "Iya, tidak apa." "Nanti di hotel aku tidur dengan siapa, Kak?" "Kata ibu Bos Prana. Kalian satu kamar satu orang." "Hah sendirian, takut! Aku tidur sama kakak ya." "Kakak sudah nikah, ya harus tidur dengan suaminya. Kita bisa tidur berdua kalau kamu takut. Kamu tidur di kasur, aku dilantai tidak apa." Nino membujuk adiknya yang ketakutan. "Benar ya?" "Iya." Mobil yang dipesan datang. Mereka segera berangkat. Mobil meluncur menuju hotel. Nana menelepon Prana, memberitahu kalau ia sudah berangkat ke hotel. Prana mengatakan menunggu di lobi. Tiba di depan lobi hotel, Nana dan adiknya keluar dari mobil. Mereka masuk ke lobi. Nana melihat Prana berjalan mendekati mereka. "Ayo ikuti aku." Mereka bertiga mengikuti langkah Prana. Mereka masuk ke dalam lift. Lift bergerak turun. Pintu lift terbuka mereka keluar. Mereka mengikuti Prana menuju kamar tempat mereka menginap. "Ini dua kamar bersebelahan. Terserah saja Nino mau kamar yang mana, dan Nina mau kamar yang mana. Di sebelah itu kamar ibu, sebelah sana kamar kita." "Mereka satu kamar berdua saja. Nina takut sendirian," ujar Nana. "Oh begitu. Tak apa. Kalian masuk saja. Kalau ingin berenang, berenang saja." Prana membuka pintu kamar. "Masuklah." "Ini pertama kalinya mereka menginap di hotel. Bos harus memberitahu beberapa hal pada mereka," ucap Nana. Kedua adik Nana masuk ke dalam kamar. Nana ikut masuk ke dalam kamar juga. Prana memberikan penjelasan. Bagaimana mengatur suhu AC. Bagaimana mengatur suhu air. Bagaimana menggunakan closet duduk, bagaimana cara mengunci dan membuka pintu kamar. "Biar mudah, keluar masuk lewat pintu yang ini saja." Prana menunjuk pintu tempat mereka masuk tadi. Pintu itu menuju kolam renang. Di kolam renang ramai sekali orang berenang. "Ada yang ingin ditanyakan?" Tanya Prana. "Tidak. Terima kasih." Nino yang menjawab pertanyaan Prana. "Baiklah. Kami tinggal ya. Kalau ada apa-apa telepon saja Nana." "Iya." "Ayo kita ke kamar." Prana melangkah diikuti Nana. "Kakak tinggal ya." "Iya, Kak." Nana menatap ke kolam renang. "Ramai sekali Bos." "Weekend memang ramai. Kamu mau berenang?" "Tidak, malu." "Kenapa malu?" "Saya tidak bisa berenang. Takut tenggelam." "Nanti aku temani kalau kamu mau berenang." "Tidak ah." Prana membuka pintu, mereka berdua masuk. "Aku mengantar ini dulu ke kamar adik-adik." Prana mengambil goodie bag dari atas meja. Nana tidak sempat bertanya apa isinya, Prana sudah melangkah lebar meninggalkannya. Nana meletakkan tas pakaian di lantai dan tas selempang di atas meja. Kamar ini berada di bawah, kamar saat menikah dulu di atas. Nana masuk ke kamar mandi. Kamar mandi dan kamar hanya disekat oleh dinding kaca. 'Ini kalau mandi bagaimana?' Nana bingung bagaimana cara menutup tirai. Prana masuk ke kamar. Nana ke luar kamar mandi. "Ini bagaimana menutupnya?" "Tidak usah ditutup, biar saja begitu." "Apa!?" Nana ke luar dari kamar mandi. "Nina tidur dengan ibu." "Hah!" "Kata ibu sepi sendirian di kamar. Jadi ibu mengajak Nina ke kamarnya." "Mubazir satu kamarnya." "Aku sudah telepon Pak Sodik. Biar Pak Sodik tidur di sana dengan istrinya. Pak Sodik membawa cucunya juga." "Oh ...." Prana duduk di sofa, Nana duduk di tepi ranjang. "Bu Lita tahu kita di sini?" "Aku tidak memberitahu dia. Entah kalau ibu." "Dalam goodie bag yang diantar ke kamar adik saya tadi apa?" "Minuman dan Snack." "Aku takut Nina berantakan makan Snack di kamar ibu." "Namanya masih anak-anak, itu biasa. Aku lihat adik-adik kamu orangnya rapi, bersih, peka, dan cekatan." "Meski kami bukan orang kaya, bukan berarti hidup kami sembarangan. Kami tetap harus bersih dan rapi. Segala sesuatu harus teratur." "Aku mau berenang. Aku ajak Nino. Kamu mau ikut?" "Saya melihat saja." Prana melapas pakaian, menyisakan celana dalam saja. Mata Nana melotot melihatnya. Prana mengambil celana pendek dari dalam tasnya, lalu dipakai celana pendek itu. "Aku ajak Nino." Prana melangkah ke luar. Nana masih terpukau melihat Prana tanpa mengenakan baju hanya memakai celana pendek. "Na, kamu tidak ingin berenang?" Suara ibu mertuanya di ambang pintu mengejutkan Nana. "Tidak, Bu. Saya tidak bisa berenang." Nana ke luar kamar. "Kalau begitu kita duduk di tepi kolam saja, melihat mereka berenang." "Iya, Bu." "Kunci pintunya, Na." "Iya, Bu." Nana mengunci pintu, lalu mengikuti ibu mertuanya menuju kolam renang. Di kolam banyak sekali orang. Anak-anak maupun orang dewasa. Tapi dari sekian banyak orang di sana. Nana bisa mengenali Prana dengan baik. Karena badan Prana paling besar. Nina ikut masuk ke kolam renang. Nana menoleh ke arah ibu Prana. Ibu Prana sibuk mengabadikan dengan ponselnya. Nana sedikit heran, bagaimana bisa Prana dan ibunya bisa cepat dekat dengan adik-adiknya. "Ibu senang di sini. Di Jakarta, Ibu sendirian. Ibu akan sering datang ke sini, Na. Menghabiskan waktu seperti ini bersama kalian." "Iya, Bu." "Ibu mohon padamu, jangan menunda hamil ya. Prana anak tunggal Ibu, kalau bukan dari Prana, dari siapa lagi ibu berharap cucu." "Iya, Bu." Kepala Nana mengangguk, mulutnya berkata ya. Rasa berdosa ia rasa, karena hal itu. Ia memang tidak menunda kehamilan, tapi juga tidak akan memberi ibu Prana cucu, karena ada perjanjian yang harus ia taati dengan Lita. Tiba-tiba Prana datang membawakan dua piring nasi goreng dan dua gelas jus jeruk. Di kolam renang bisa memesan makanan di cafe yang ada di tepi kolam. "Nino dan Nina makan di sana." Prana menunjuk Nino dan Nina yang duduk di tepi kolam. "Terima kasih, Bos." "Ck, bedakan panggilan kamu ke Prana di pabrik dengan di luar pabrik." "Maaf, Bu. Saya harus memanggil apa?" "Panggil Bang, Mas, atau apa saja yang pantas panggilan istri pada suaminya." "Iya, Bu." "Aku tinggal ya." "Iya." Nana dan ibu Prana menjawab bersamaan. Nana menatap Prana yang melangkah menjauh. "Makan, Na." "Iya, Bu." Nana dan Bu Hana makan nasi goreng yang dibawakan Prana. Permintaan Bu Hana membuat Nana tak bisa menikmati makanan dan minumannya. * Nana ke luar dari kamar mandi dengan mengenakan baby doll celana panjang dan atasan lengan panjang. Prana menggunakan piyama celana panjang dan atasan juga tangan panjang. Prana berbaring di atas sofa, tatapannya ke layar televisi. "Prana!" Suara ketukan di pintu dan panggilan ibu Prana membuat mereka berdua terkejut. "Ya!" Nana membukakan pintu untuk ibu mertuanya. "Mana Prana?" "Ya, Bu." Prana menatap ibunya yang membawa dua gelas di atas nampan hotel. "Kalian harus minum ini, sebagai usaha agar cucu ibu cepat jadi." Prana dan Nana saling tatap. "Ini apa, Bu?" Prana mengambil satu gelas dan mencium aromanya. "Jamu. Cepat minum dan habiskan! Nana, kamu juga." "Iya, Bu." "Cepat minum!" Mereka berdua terpaksa meminum cairan yang aroma jamunya sangat tajam. "Kamu tidak punya lingerie, Nana?" Bu Hana menatap menantunya. "Ling apa, Bu?" "Nana mana tahu lingerie, Bu." "Kamu juga kenapa tidak membelikan istrimu!" Prana hanya diam dimarahi sang ibu. Minuman sudah dihabiskan meski dengan rasa terpaksa. Bu Hana tersenyum puas melihat gelas yang ia bawa sudah kosong. "Selamat tidur." Bu Hana berlalu dari hadapan Prana dan Nana. Prana menutup pintu. Nana mengambil minum. Rasa tidak enak di tenggorokan akibat minum ramuan tadi. Prana juga menenggak air mineral langsung dari botolnya. Prana mengambil remote AC. Diatur suhu terendah. Mereka berdua bergerak gelisah. Prana melepas piyama atas. "Kenapa gerah sekali." Nana menggerutu. "Ini pasti karena minuman tadi, Nana." "Itu minuman apa? Rasanya saya ingin mandi." "Aku juga." Mereka berdua masuk ke kamar mandi. "Aku rasa ibu membubuhkan obat perangsang dalam minuman tadi." Prana bergumam seraya menyalakan shower. "Obat perangsang untuk apa?" "Aku rasa ibu tahu, kita belum pernah tidur berdua, jadi ...." "Badan saya kenapa terasa aneh begini?" "Maafkan aku kalau nanti tindakanku jadi tidak terkontrol. Aku ...." Nafas Prana tersengal. Tubuh mereka berdua menempel di bawah shower. Wajah Nana mendongak, wajah Prana menunduk. "Na!" Prana memeluk pinggang Nana. Bibirnya sudah menenggelamkan bibir Nana. Mata Nana terpejam. Ia tak bisa berpikir lagi. Tubuhnya menuntut sesuatu yang tidak ia mengerti dan tak mampu ia kendalikan. "Maafkan aku." Nana mendengar Prana berulang kali mengatakan kalimat itu. Nana tidak tahu, itu ditujukan padanya, atau untuk Lita, karena Prana sudah membuat tubuhnya menyatu dengan tubuh Nana. Momen pertama yang tak biasa. Mereka melakukannya di kamar mandi di bawah guyuran air shower. Pikiran mereka masih ingin mempertahankan janji pada Lita, tapi tuntutan tubuh perlu untuk pelepasan dengan segera. Janji tak bisa dipertahankan. Kesucian Nana terenggut, tapi yang mereka lakukan bukan dosa. Karena mereka sudah sah suami istri di hadapan Tuhan. Hanya saja ada rasa berdosa, karena mengingkari janji pada Lita. Tapi Nana tak ingin marah pada Ibu Prana. Apa yang ibu Prana katakan benar, hanya pada Prana beliau bisa berharap cucu. Nana membuka mata. Tubuhnya sudah terbaring di atas tempat tidur. Dalam dekapan hangat sang panda. Di bawah selimut tebal. Air mata meleleh di sudut mata Nana. Tak ada penyesalan, karena yang mengambil miliknya adalah pria yang sudah menjadi suaminya. Tapi ada rasa berdosa pada Lita yang tak bisa ia abaikan begitu saja. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN