Selesai mencuci dan menjemur pakaian, Nana bergegas memasak makan siang. Nana memang meminta Prana mencari menu makanan di google agar tidak makan itu-itu saja. Makan siang di siapkan dalam ruangan tempat tinggal Prana. Nasi putih, sayur bening, ikan goreng, sambal tanpa rawit. Prana tak berani makan pedas.
"Makan siang siap, Bos."
"Ya."
Prana beranjak dari duduk, lalu masuk ke dalam. Ia mencuci tangan di wastafel dapur, kemudian duduk di kursi makan.
"Duduklah. Ini tidak bisa aku habiskan."
"Tidak, Bos. Tadi saya sudah titip beli sate lima ribu sama Ria."
"Sate apa lima ribu? Sate tikus?"
"Sembarangan kalau bicara!" Mata Nana melotot.
"Zaman sekarang masih ada makanan harga lima ribu."
"Makanya ke luar , jalan-jalan, jadi tahu keadaan di luar."
"Aku tanya memang ada sate lima ribu?"
"Sate SD!"
"Sate SD itu apa? SD itu jenis apa, seperti ayam, itik, kambing, atau apa?"
"Ya Allah, punya bos terlalu tinggi ya begini!"
"Apa hubungannya sate SD dengan tinggi badanku, Nana?"
"Sate SD itu maksudnya sate yang dijual di SD, sekolah dasar. Tahu sekolah dasar tidak, Bos. Anak-anak yang seragamnya putih merah. Sate ayam tiga tusuk, lontongnya satu bulatan, itu harganya lima ribu." Nana menjelaskan dengan perasaan kesal.
"Kenyang kamu makan begitu?"
"Ya kenyang. Perut saya kecil. Isinya sedikit. Segitu sudah kenyang. Saya ke luar ya. Terlalu lama di dalam berduaan dengan Bos nanti bahaya."
Tidak menunggu tanggapan Prana, Nana ke luar dari ruangan tempat tinggal Prana.
"Na, sate kamu dan Dwi!" Mbak Titi menyerahkan bungkusan pada Nana.
"Terima kasih, Mbak."
"Sama-sama."
"Aku makan dulu."
"Iya, Na."
Nana membawa bungkusan ke dalam ruangannya.
"Sate Mbak Dwi." Nana meletakkan bungkusan sate di atas meja Dwi.
"Makasih, Na."
"Sama-sama. Makan dulu, Mbak."
"Iya."
Nana mengambil piring dan sendok dari dalam lemari di bawah meja. Ia mengeluarkan botol berisi minum juga. Dikeluarkan bungkusan berisi sate dan lontong dari dalam plastik. Dipindahkan ke atas piring. Lalu dibuka karet pengikat bungkusan. Digigit ujung plastik berisi sambal, dituang sambal ke atas lontong dan sate yang sudah berbumbu kacang dan kecap.
Nana membaca doa sebelum menyuap makanannya.
"Enak meski murah," ucap Nana.
"Iya, Na."
"Nana mana?" Terdengar suara Prana bertanya pada yang ada di luar.
"Makan di dalam, Bos." Suara Mbak Titi yang menjawab pertanyaan Prana.
"Na, bawa ke sini sate SD nya, aku mau lihat!" Suara Prana terdengar sampai ke mana-mana.
"Ck, Bos ini mengganggu kenikmatan orang makan saja!" Nana menggerutu. Meski menggerutu tapi dibawa piring berisi sate yang sisa dua tusuk ke luar dari ruangannya.
"Ini, Bos. Sudah saya makan!" Nana meletakkan piring di atas meja kerja Prana. Prana mengambil satu tusuk sate, lalu memakannya. Mata Nana melotot, cepat diangkat piringnya dari atas meja.
"Ya ampun pedasnya, Na!"
Prana mengambil air minum. Ia kepedasan karena sate yang diambil banyak kena kuah sambal pedas.
"Rasain!" Nana kabur membawa piring berisi sisa sate satu tusuk dan lontong.
"Kenapa, Na?" Tanya Mbak Dwi.
"Bos asal comot makanan orang. Sateku diambil satu. Yang diambil pas yang banyak kena cabe. Karma si tukang comot hak anak yatim!" Nana masih kesal pada Prana.
Selesai makan Nana membersihkan bekas makan Prana, sebelum para karyawan punya waktu istirahat satu jam setengah. Orang kantor yang tidak pulang hanya Nana dan Dwi. Setelah salat Dzuhur mereka rebahan di bagian stok akhir bersama beberapa karyawati yang tidak pulang juga. Prana masuk ke dalam ruangan tempat tinggalnya.
Nana dan Dwi sempat saja tertidur di sela waktu istirahat mereka. Meski mata terpejam, tapi telinga Nana menyimak percakapan karyawati pabrik yang berada di dekatnya. Mereka membicarakan tentang adanya perselingkuhan di pabrik bagian belakang. Dua tahun bekerja di pabrik hal seperti itu sudah sering terjadi. Nana tak berani berkomentar, karena saat ini ia juga sedang menyukai suami orang. Meski pria itu sedang pisah rumah dengan istrinya.
'Aku sudah nikah dengan Bos. Sah tidak ya pernikahan sandiwara di mata hukum agama. Tapi akad dan mahar, serta saksinya betulan. Apa dosa kalau aku masih menyimpan rasa dan mengharapkan pria lain. Sedangkan aku sudah dinikahi Bos? Kontrak tiga tahun. Jadi aku baru bisa nikah betulan tiga tahun lagi.'
Suara lonceng tanda waktu istirahat selesai membuat lamunan Nana berakhir. Nana dan Dwi segera kembali ke kantor. Di kantor sudah ada Pak Bekti, Mbak Titi, dan Mbak Wiwi. Pak Sodik ke luar dari pintu ruang pribadi Prana.
"Bos diare gara-gara makan sate SD katanya. Kamu di dalam saja, Na. Temani Bos, Saya sudah panggil dokter Ibrahim, tapi dokter Ibrahim sedang di luar kota. Jadi tadi saya belikan obat diare di apotik saja."
"Hah! Sambel hanya secuil begitu!" Nana menunjukkan ujung kelingkingnya.
"Mungkin sambalnya tidak asli cabe. Ada campuran lada, atau apa yang bisa bikin pedas, perut panas."
"Kamu masuk saja, Na."
"Iya, Pak."
"Ria saja yang disuruh nimbang, Ti." Terdengar suara Pak Sodik bicara pada Mbak Titi.
"Iya, Pak."
"Bos!" Nana memanggil Prana.
"Di kamar!"
Nana masuk ke kamar. Prana duduk di sofa dengan kaos oblong dan handuk menutup dari bagian pinggang.
"Lemas saya, Na."
"Sudah minum obat, Bos?"
"Sudah. Itu dibawakan Pak Sodik."
"Kata Pak Sodik beliau panggil dokter, tapi dokter ke luar kota."
"Iya, saya lemas sekali."
"Makanya kalau ngambil makanan orang itu permisi, Bos. Jangan asal comot. Jadi begini kan, karma asal comot makanan anak yatim!"
"Kamu tadi nyumpahin saya!?"
"Tidak, Bos. Kalau marah nanti diarenya tambah parah."
"Diam, Na. Perut saya mules." Prana masuk ke kamar mandi. Nana menghembuskan nafas dengan kuat mendengar irama khas perut mules dari kamar mandi. Persis tembakan senjata api mesin di film menurut Nana
Nana ke dapur. Ia membuat teh pahit untuk Prana. Teh pekat tanpa gula. Nana ke luar sebentar.
"Ada minyak kayu putih tidak?"
"Ini, Na." Mbak Wiwi mengulurkan minyak kayu putih yang diambil dari kotak P3K dalam lemari di belakang tempat duduknya.
"Kasih minum teh pekat, Na," ucap Pak Bekti.
"Iya, sudah saya buatkan, Pak. Saya ke dalam dulu."
"Iya, Na."
Nana membawa minyak kayu putih masuk ke dalam ruangan pribadi Prana. Nana melongok ke dalam kamar. Prana sudah duduk di sofa lagi
Nana mengambil teh pekat yang sudah ia buat.
"Coba minum ini. Perut Bos gosok pakai ini."
Prana menurut tanpa protes apa yang dikatakan Nana. Prana meminum teh pekat sampai bergidik saking pahit. Lalu perutnya digosok dengan minyak kayu putih.
"Bagaimana rasanya, Bos. Apa ada perubahan?"
"Baru berapa detik, ya belum terasa perubahannya, Na. Saya mau rebahan, kamu tunggu di luar saja."
"Baik, Bos."
"Jangan jauh-jauh nanti tidak mendengar kalau aku panggil!"
"Iya."
Nana ke luar dari kamar Prana, lalu ke luar dari ruang tempat tinggal Prana. Tapi Nana tidak masuk ke ruangannya. Ia duduk di kursi di hadapan Mbak Titi. Membantu Mbak Titi menulis nama dan jumlah gaji di amplop.
"Bagaimana keadaan Bos, Na."
"Tadi mau rebahan katanya. Lucu juga badan besar begitu kalau lemas. Yang tadinya seperti kingkong, tiba-tiba jadi panda."
"Hist, Nana. Nanti diomeli."
"Saya sudah kebal diomeli Bos, Mbak."
*