PART. 4 JAWABAN NANA

1013 Kata
Nana tak bisa tidur malam itu. Meski sudah memutuskan untuk menerima tawaran Lita, tapi bimbang tetap dirasakan. Ada dilema yang menyesakkan dadanya, antara keinginan sesungguhnya di dalam hati, dan tuntutan hidup yang harus ia hadapi. 'Yakinlah, ini yang terbaik, Na. Demi masa depan adik-adikmu. Sebagai kakak, kamu harus berkorban demi mereka. Mereka tanggung jawabmu, setelah kedua orang tua kalian tidak ada. Yakinlah, pengorbanan kamu tidak akan sia-sia. Pasti ada hikmah dibalik semua ini. Ya Tuhan. Pak Prana belum tahu tentang ini. Bagaimana tanggapan beliau kalau nanti tahu, aku yang dipersiapkan oleh Bu Lita untuk menjadi istri muda beliau. Bagaimana hubungan kami selanjutnya, akankah tetap sama, masih hangat seperti biasanya, ataukah akan jadi kaku, karena ada status baru di antara kamu, meski status ini menjadi rahasia dan hanya sekedar sandiwara. Ya Allah, apapun yang terjadi, kuatkan aku. Lancarkan semua urusan, mudahkan adik-adikku dalam menuntut ilmu, aamiin.' Dalam kegundahan hati, Nana berusaha untuk tidur. Nasib adiknya harus ia perjuangkan. Nasibnya sendiri, ia pasrahkan pada Tuhan. * Selesai salat subuh. Kedua adiknya menyiapkan sarapan dan bekal untuk mereka sekolah. Masing-masing adiknya Nana beri lima ribu untuk jajan. Meski membawa bekal, tapi Nana tetap memberi adiknya uang jajan. Namanya belum dewasa, mungkin saja adiknya ingin membeli sesuatu seperti teman-temannya. Kebutuhan sekolah adik-adiknya selalu Nana perhatikan. Dari tas, sepatu, pakaian seragam, dan alat tulis. Nana tidak ingin hidup mereka yang sederhana menjadi alasan untuk memakai pakaian sembarang saja. Seragam harus bersih, rapi, disetrika. Sepatu dan tas harus dicuci setiap Minggu. Meski harganya tidak mahal, tapi setidaknya layak pakai. Nana mengajari disiplin dalam hal apapun pada kedua adiknya. "Kak Nana sakit? Wajah Kakak pucat." Nino menatap wajah kakaknya. "Tidak. Kalian cepatlah bersiap. Jangan sampai ada yang tertinggal. Naik sepeda jangan ngebut, hati-hati di jalan." "Iya, Kak." Setelah adik-adiknya berangkat, Nana menjemur cucian dulu, lalu berangkat ke pabrik. Nana rela jalan kaki ke pabrik, karena sepeda dipakai kedua adiknya ke sekolah. Nana berjalan santai saja, karena jarak rumah dan pabrik hanya sepuluh menit kalau jalan kaki. Jam murahan di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 07.35. Masih ada waktu tiga puluh lima menit lagi. Sehingga Nana berjalan dengan santai saja. Selain itu, Nana merasa sedikit pusing, karena kurang tidur. "Na!" Nana menghentikan langkah. Mobil Prana berhenti di depannya. Wajah Lita, istri Prana tampak olehnya. "Masuk, Na!" "Tidak usah, Bu. Sudah dekat." Nana menolak ajakan Lita masuk ke dalam mobil. "Ayo. Kita sama-sama mau ke pabrik." "Maaf, Bu. Saya mabuk naik mobil ber AC, silakan Bapak dan Ibu duluan saja." Nana menyampaikan alasannya menolak ajakan Lita. "Oh, begitu. Kami duluan ya." "Iya, Bu." Nana menatap mobil yang menjauh dengan perasaan resah. Keputusan sudah diambil, tapi hal itu tak membuat perasaanya tenang. Ada rasa bersalah, karena pernikahan yang akan ia jalani, untuk membohongi seorang ibu yang sangat ingin menimang cucu dari putra tunggalnya. Nana menghela nafas, lalu melanjutkan langkah. "Assalamualaikum, Paman, selamat pagi." Nana menyapa Handi, satpam pabrik yang masih bertugas pagi hari itu. "Wa'alaikum salam, Na. Kamu sakit? Wajahmu pucat, lesu." "Tidak, Paman. Malam tadi begadang nonton kontes dangdut. Final!" Nana tertawa pekan, ia tidak sepenuhnya bohong. Karena tidak bisa tidur jadi ia menyalakan televisi. "Aku masuk, Paman." "Iya, Na." Nana menuju pintu kantor pabrik. "Assalamualaikum. Selamat pagi." "Wa'alaikum salam. Selamat pagi." "Pagi ini ingin sarapan apa, Bu?" Nana bertanya pada Lita. "Tidak usah, aku sudah sarapan. Ikut aku ke dalam, Na." "Iya, Bu." Nana mengikuti langkah Lita memasuki ruang tempat tinggal Prana di pabrik. "Duduk, Na." Lita menunjuk sofa yang terbuat dari rotan. "Iya, Bu." Posisi mereka sama seperti beberapa hari lalu. "Sudah punya jawaban?" Tatapan Lita lurus pada Nana. Kepala Nana mengangguk. "Sudah." "Apa?" "Saya terima." "Terima kasih, Nana. Itu keputusan yang tepat. Sekarang kamu panggil Mas Prana." "Baik, Bu " Nana bangkit dari duduk, lalu membuka pintu. "Bos, dipanggil Ibu." Nana memanggil Prana, ada perasaan gugup di dalam hatinya. Prana berdiri dari duduk, lalu masuk ke dalam ruangan tempat tinggalnya. "Ada apa?" Prana menatap istrinya. "Duduk, Mas." Lita menunjuk sofa di sampingnya. Prana duduk di sana. "Seperti yang pernah kita bicarakan beberapa hari yang lalu tentang istri muda Mas. Nana yang akan membantu kita." "Apa!? Maksud kamu aku harus menikah dengan Nana begitu!?" Prana menunjuk Nana. "Iya. Hanya pernikahan sandiwara di hadapan ibu. Aku akan pulang ke Jakarta menemui ibu. Aku akan buat surat perjanjian antara kita dan Nana. Jadi, kalian nanti akan menikah di hadapan Ibu." "Astaga!" "Mas mengatakan kalau aku saja yang mengatur semuanya. Jadi biarkan aku melakukan apa yang harus aku lakukan." Prana menatap Nana. Nana menundukkan kepala. "Kenapa kamu bersedia melakukan ini, Nana?" "Saya butuh biaya untuk pendidikan kedua adik saya, Bos." Nana menjawab lirih. "Kita harus berterima kasih padanya. Karena Nana bersedia membantu kita," ucap Lita. "Terserah kamu, Lita. Aku masih ada pekerjaan." Prana berdiri dan melangkah ke luar dari ruangan tempat tinggalnya. Lita kemudian bicara lagi pada Nana, tentang siapa yang akan menjadi wali nikah, dan banyak hal lagi yang ditanyakan Lita pada Nana. * Di kamar hotel, sudah siap penghulu, dan wali nikah. Ada dua orang saksi juga, yaitu Pak Bekti dan Pak Sodik. Lita percaya pada kesetiaan dua pria tua itu. Lita yakin mereka tidak akan membocorkan rahasia ini. Hadir juga Bu Hana, ibu dari Prana. Wanita lima puluh lima tahun itu terlihat masih muda dan cantik sekali. Bu Hana beberapa kali datang ke pabrik sejak Nana bekerja. Sehingga Nana cukup mengenalnya. Tak ada protes dari wanita itu, saat tahu calon menantunya adalah Nana, gadis kampung, karyawan pabrik putranya. Bagi Bu Hana, yang penting Prana bersedia menikah lagi untuk memberinya cucu, karena Lita tetap ngotot tidak ingin hamil. Akad nikah berjalan cepat dan lancar. Bu Hana terlihat sangat bahagia. Karena memiliki cucu dari putra kandungnya bukan lagi hanya mimpi belaka. Setelah akad nikah. Semua yang mengikuti acara akad nikah sudah pulang. Di dalam kamar tinggal Nana, Prana, Bu Hana, dan Lita. "Kita harus memberi kesempatan pada pengantin baru untuk malam pertama." Bu Hana bangkit dari duduk dan mengingatkan Lita. Lita menatap Prana dan Nana. Prana tidak menanggapi ucapan ibunya, sedang Nana hanya menundukkan kepala. Nana tahu, Prana tidak akan menyentuhnya, tapi tetap saja ada rasa khawatir kalau mereka ditinggalkan hanya berdua. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN