PART. 9 MOMEN TAK TERDUGA

1215 Kata
Selesai salat magrib. Nana dan kedua adiknya makan nasi padang yang dibelikan Pak Sodik. Setelah itu mereka salat isya. Nino pulang dari musala selesai salat isya, dengan membawa dua kotak roti bakar. "Kata Pak Satpam ini pesanan bos, Kak." Nino menyerahkan bungkusan berisi dua kotak roti bakar itu kepada Nana. "Berapa?" "Sudah dibayar kata Pak Satpam." "Oh." Nana melangkah menuju pintu ruang pribadi Prana. "Bos!" "Masuk!" Nana membuka pintu, Prana keluar dari kamar. Rambutnya masih basah, memakai kaos oblong warna biru, dan celana pendek warna biru tua. "Ini, kata Pak satpam roti bakar pesanan Bos." Prana menerima bungkusan berisi roti bakar itu. "Buatkan aku teh, pakai gula sedikit saja. Jangan pekat seperti tadi. Diare sudah berhenti. Kalau kamu juga mau teh buat untukmu sendiri dan kedua adik kamu." "Baik, Bos." "Satu kotak ini kasih adik mu. Yang satu kotak kita makan berdua." "Kami baru saja makan, masih kenyang." "Letakkan saja di meja luar, mungkin nanti adikmu ingin memakannya." "Iya." "Antar dulu roti bakar untuk adikmu." "Baik, Bos.". Nana mengambil roti bakar yang diserahkan Prana, lalu ia bawa keluar. "Kalau kalian mau makan saja. Ini dibelikan bos untuk kita." Nana meletakkan kotak berisi roti bakar itu di atas meja. "Kakak membuatkan teh untuk Bos." "Iya, Kak. Sampaikan terima kasih kami kepada bos," ujar Nino. "Iya." Nana masuk lagi ke dalam ruangan Prana. "Kata adik saya terima kasih roti bakarnya, Bos." "Hmm ...." Prana tengah mengunyah roti bakar. Nana membuatkan teh, lalu meletakkan di atas meja. "Bawakan ke kamar saja, Na." Prana bangkit dari duduk, dan melangkah masuk ke kamar. Nana membawakan teh dan roti bakar ke dalam kamar. Prana duduk di sofa. Nana meletakkan roti bakar dan teh di atas meja. "Duduk." Prana menepuk tempat di sofa yang sama. "Tidak, Bos. Nanti ada setan' bahaya." Kepala Nana menggeleng. "Yang aku tahu, setan menggoda yang belum nikah. Kita sudah nikah." "Tapi perjanjiannya kita tidak boleh ngapa-ngapain." "Aku minta kamu duduk memangnya kamu pikir sku mau ngapain anak bau kencur!" Mata Prana melotot. "Aku hanya butuh teman ngobrol. Lagipula pintu kamar terbuka, pintu ruangan ini juga terbuka. Ada dua adik kamu di luar. "Sebentar." Nana keluar dari kamar Prana, lalu kembali dengan membawa kursi plastik dari dapur. "Saya duduk di sini saja." "Huh, terserah kamu. Aku pikir kamu tidak takut, ternyata kamu penakut." "Bos tidak sadar, badan Bos seperti gorila. Meski diare membuat Bos jadi Panda, tetap saja saya takut." "Apa!?" "Bos mau ngobrol apa sama saya." "Jujur saja. Aku kesepian. Kalau semua karyawan sudah pulang. Aku sendirian di pabrik sebesar ini. Kadang aku di pos satpam, ngobrol sampau jam 01.00. Kadang duduk di warung depan, mendengarkan orang-orang mengobrol. Jadi kalau kamu bilang aku tidak pernah keluar, kamu salah." Nana menatap wajah Prana. Mimik wajah Prana sesuai dengan yang Prana ucapkan. "Kenapa Bos tidak minta Bu Lita pindah ke sini?" "Dia tidak mau. Banyak yang harus berubah kalau dia pindah. Lingkungan tempat tinggal yang berubah. Lingkup pertemanan yang berubah. Dia juga tak mau meninggalkan pekerjaannya di sana." "Hati-hati kalau curhat, Bos. Jangan curhat tentang rumah tangga ke perempuan lain." "Kenapa?" "Kata orang, curhat pada lawan jenis adalah awal dari perselingkuhan." Nana mengingatkan. "Aku tidak mungkin selingkuh sama kamu." "Kenapa tidak mungkin! Apa karena badan saya kecil, wajah saya tidak menarik?" "Buat apa selingkuh dengan istri sendiri, Nana!" "Istri sendiri?" Nana menatap Prana. "Kamu lupa kita sudah nikah. Kamu ... hmppp!" Nana menutup mulut Prana dengan telapak tangannya. "Jangan keras-keras nanti kedengaran adik saya." Satu lutut Nana berada di sofa tepat di samping paha Prana. Satu kakinya berdiri. Satu tangannya di sandaran sofa, satu membekap mulut Prana. Prana membuka bekapan telapak tangan Nana. Telapak tangan Nana terjatuh tepat di atas pangkuan Prana dan menekan gundukan yang ada di sana. Prana hampir menjerit, tapi masih bisa menahan suaranya. "Aduh, maaf, Bos!" Nana menepuk-nepuk tempat yang tadi tertekan telapak tangannya. "Na!" Prana mencengkeram tangan Nana agar berhenti menyentuh miliknya. Tubuh Nana tertarik ke depan. Wajah Nana berada di atas wajah Prana. "Kak Nana, ada telepon dari Pak Sodik!" Suara panggilan Nino menyadarkan mereka berdua. "Ya!" Prana melepaskan tangan Nana yang ia pegang. Gegas Nana menjauhi Prana. Nana ke luar dari ruangan Prana, diambil ponsel dari tangan adiknya. "Assalamualaikum, Pak." "Wa'alaikum salam. Bagaimana keadaan Bos, Na?" "Alhamdulillah, sudah tidak diare, Pak." "Mau makan dia?" "Beli roti bakar, tidak mau makan nasi." "Tidak apa, yang penting terisi perutnya." "Iya, Pak." "Terima kasih, Na. Bersedia jaga Bos." "Sama-sama, Pak." "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Nana menarik nafas lega. Nana menatap pintu ruangan Prana yang terbuka, karena saat keluar tadi tidak ia tutup. Kedua adiknya duduk di lantai depan sofa, ada buku pelajaran mereka di atas meja. Kotak roti bakar sudah terbuka, tandanya sudah dimakan oleh adiknya. "Kalian ingin minum teh hangat?" "Tidak usah, Kak. Ini saja." Nino mengacungkan air mineral gelas di atas meja. "Na!" "Dipanggil Bos, Kak." "Kakak ke dalam." "Iya." Nana masuk ke dalam ruangan Prana. "Ada apa, Bos?" Meski tadi hampir terjadi adegan syur, tapi Nana berusaha bersikap biasa saja di depan Prana. "Di kulkas ada buah apa, Na?" "Saya lihat dulu." Prana mengikuti Nana ke dapur. Nana membuka kulkas. "Tidak ada apa-apa." "Besok beli buah, Na." "Iya, Bos." "Kamu mengantuk?" Prana menatap wajah Nana. "Iya." "Biasanya kerja sampai jam dua belas sanggup. Masa tidak kerja sudah ngantuk?" "Kalau kerja banyak orang dan bergerak, Bos." "Ya sudah, kamu ikut aku saja." "Kemana?" "Biasa, bagi permen buat yang kerja." Prana membuka lemari penyimpanan bahan makanan. Nana mengambil toples besar. Beberapa pak permen kopi di masukkan ke dalam toples. Mereka akan berkeliling membagikan permen kepada yang kerja malam. Nana memeluk toples. Prana menutup pintu ruangannya. "Kalian di sini saja. Kakak menemani Bos keliling pabrik." "Iya, Kak." "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Nana mengikuti langkah Prana. Hampir setiap malam mereka begini. Yang bekerja malam tidak terlalu banyak. Meski yang dibagi hanya permen, tapi itu sudah cukup membuat karyawan senang. Senang karena bisa berinteraksi langsung dengan bos mereka. Apalagi Prana hangat orangnya. Karyawan sudah memahami karakter Prana. Orangnya ramah, tapi bisa marah kalau tak becus bekerja, atau mendebat apa yang Prana katakan. Nana dan Prana naik ke bagian mesin di lantai dua. Mereka mendengar suara orang bertengkar dan suara tangis di balik tumpukan kulit rotan yang siap diproduksi. Prana berdehem dengan suara nyaring. Langsung mendadak sepi. "Takut!" Tanpa sadar Nana memegang lengan Prana, sementara tangan satunya masih memeluk toples. "Itu tadi hantu, atau manusia, Bos?" Nana berbisik. Mereka cepat turun, karena di lantai atas tidak ada karyawan yang bekerja. "Hantu!" "Bos!" Nana bukan lagi sekadar memegang lengan Prana. Kini lengan Prana ia peluk tanpa menyingkirkan toples dari tangan satunya. "Kamu sama aku yang jelas kelihatan batang hidungnya berani sekali. Sama hantu yang tidak tampak takut. Aneh!" Nana melepaskan lengan Prana karena mereka tiba di bawah. "Karena Bos punya batang hidung, kalau Bos macam-macam bisa saya tinju batang hidung Bos. Kalau hantu bagaimana?" "Kecilkan suaramu, nanti hantunya naksir kamu, lalu mengikuti kamu. Kalau kamu dia bawa, aku kehilangan tukang masak." "Bos jangan sembarang bicara." Untungnya mereka tiba di bagian mesin Sabrina yang terang benderang. Prana mengobrol dengan kepala bagian. Nana membagikan permen pada karyawan di sana. "Nana semakin dekat dengan Bos. Kalau dijadikan istri muda nau tidak, Na?" Bayah, salah satu karyawan berbisik pada Nana. "Kak Bayah ada-ada saja." Nana tertawa pelan, meski perasaannya ketar ketir takut ada gosip lanjutan yang akan membahayakan stabilitas rumah tangga Prana dan Lita. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN