Bab 3 Rencana Takdir

1007 Kata
Niken tersenyum lebar melihat Gea yang menyambut kedatangannya. Sahabatnya itu berdiri di teras seraya melambaikan tangan begitu melihat mobil yang ditumpangi Niken. Hari ini Gea dan Dathan mengadakan pesta ulang tahun Gael yang keenam, mereka tidak hanya mengundang teman-teman putranya, tapi juga kerabat dan teman dekat mereka sendiri. Mobil berhenti tepat di depan teras, Niken membuka pintu dan turun. Gea menghampiri Niken dan memeluk sahabatnya itu hangat. "Terima kasih udah mau datang," katanya. Senyum yang tak kalah lebar dengan senyum Niken menghiasi wajahnya. "Terima kasih udah nyuruh sopir kamu jemput aku," balas Niken tertawa. Lalu kedua wanita itu berangkulan menuju halaman samping yang digunakan untuk berpesta. "Di mana, Gael?" tanya Niken mengedarkan pandangannya. Gea menunjuk kerumunan anak cowok yang sedang mencoba permainan lempar bola. "Kamu mau menemui dia sekarang?" tanyanya. "Nanti aja, dia masih asyik sama teman-temannya," senyum Niken. "Onty Ken!" Tiba-tiba dua orang gadis kecil memeluk Niken dari belakang. "Heeey, Kissa ... Ghisya ... sayangnya Onty!" seru Niken antusias, berjongkok dan memeluk kedua gadis kecil yang baru berumur empat tahun itu. "Kalian cantik sekali," pujinya seraya memandangi si kembar. "Onty juga cantik," sahut Kissa. "Iya kan, Sya?" Ghisya mengangguk setuju. Niken tertawa, dia mencium pipi kedua gadis kecil itu gemas. "Terima kasih, Sayang." Kissa dan Ghisya saling berbisik, lalu terkikik bersamaan. "Onty, ikut kita, yuk!" ajak Ghisya tiba-tiba sambil menarik-narik tangan Niken. Saat itulah Dathan menghampiri mereka. "Beb, Mr. Liu datang," bisiknya pada Gea. "Aku pinjam Gea sebentar ya, Ken," sambungnya tersenyum pada sahabat istrinya. "Ya ya, silakan bawa aja, Pak," cengir Niken. Meski Dathan bukan lagi bosnya, dia tidak bisa menghilangkan kebiasaannya memanggil "pak" pada suami sahabatnya itu. Gea dan Dathan meninggalkan Niken bersama si kembar. Sepeninggal kedua orangtuanya, Ghisya menarik tangan Niken agar mengikutinya bersama Kissa. "Ayo, Onty!" ajaknya antusias. "Wah, wah, ada apa ini? Kalian mau ajak Onty ke mana?" "Ada deh!" seru Kissa melompat-lompat kegirangan. Ternyata si kembar membawa Niken ke istana balon yang memang disediakan khusus untuk pesta. "Ayo, Onty, naik," ajak Kissa. "Wah, Sayang, itu kan khusus buat anak-anak. Onty enggak bisa ikut naik dong." Kissa dan Ghisya tampak berpikir.  "Enggak apa-apa, Onty, kalau ada yang marah nanti Ghisya yang ngomong," bujuk Ghisya akhirnya. "Bukan begitu, Sayang. Onty bukan takut dimarahi, tapi kalau Onty naik nanti istana balonnya meletus gimana?" "Memangnya istana balon bisa meletus?" tanya Kissa ragu. "Balon bisa meletus enggak?" Niken balik bertanya. Kedua gadis kecil itu mengangguk. "Berarti istana balon bisa meletus dong." Seolah tidak yakin dengan kata-kata onty mereka, Kissa dan Ghisya melihat ke arah istana balon dan Niken secara bergantian. Niken memasang wajah serius untuk meyakinkan si kembar. "Oke deh," kata Kissa akhirnya. "Kita berdua aja yang masuk, Sya. Onty tunggu di sini aja ya? Jangan ke mana-mana," sambungnya. Niken mengangguk cepat, setelah kepergian si kembar, dia buru-buru menarik napas lega. "Good job, Thumbelina. Si kembar enggak bakal tahu kamu trauma sama istana balon." Sontak Niken menoleh, keningnya langsung berkerut melihat pria yang dia kenal berdiri di sampingnya, menatap si kembar yang sedang asyik melompat-lompat. "K-kamu? Ngapain kamu di sini?" tanyanya, dan langsung berdeham begitu menyadari dia sudah sangat tidak sopan. "Maaf, maksud saya, kebetulan sekali bertemu Anda di sini," ralatnya segera. "Oh, ternyata kamu masih ingat aku," gumam Jovan melirik wanita yang berdiri di sampingnya. Siapa yang bisa melupakan pria dengan bekas luka pada wajahnya? Terutama jika pria itu masih menyimpan KTP milik kita. "Ya, tentu saja saya masih ingat Anda, Anda menyimpan KTP saya," sahut Niken datar. "Oh, itu. Jangan khawatir pasti kukembalikan. Ini belum tiga hari, kan?" Niken terdiam, dalam hati bertanya-tanya kenapa pria yang mobilnya ia tabrak ada di pesta ulang tahun Gael? Dan bagaimana dia tahu Niken punya ketakutan dengan istana balon? Apa pria itu menguntitnya? "Namaku Jovan, bisa dibilang aku masih kerabat dengan Dathan." Astaga, tentu saja! Pantas Niken merasa familiar dengan bekas luka di wajah pria itu, dia ingat Gea pernah bercerita tentang Jovan padanya. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari itu ketika pertama kali bertemu Jovan? "Jadi Anda Jovan Walter? Laki-laki dewasa dengan otak remaja di kepalanya?" "Ah, Gea bilang begitu ya?" desah jovan seakan menyesali hal tersebut. "Asal kamu tahu itu empat tahun yang lalu," gumamnya. "Hm ... kata seorang laki-laki yang menguntit wanita yang tanpa sengaja telah menabrak mobilnya." "Menguntit? Menguntit kamu maksudnya?" ujar Jovan tergelak. "Jangan GR, Thumbelina, aku bukan penguntit, apalagi menguntit kamu." "Kalau Anda bukan penguntit, bagaimana Anda tahu saya takut menaiki istana balon? Dan nama saya Niken, bukan Thumbelina!" "Aku tahu. Niken Andira, 28 tahun, seorang SPG di toko kosmetik, penyuka makanan pedas, mempunyai mimpi traveling keliling dunia, tapi terlalu malas untuk memulai sehingga lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku di kamar kos-kosannya jika memiliki waktu luang. Apa perlu aku tambahkan kondisi hubunganmu dengan kakak tirimu dan suaminya?" Wajah Niken spontan memerah. "Dan Anda bilang, Anda tidak menguntit saya?" cibirnya sinis. "Oh, sama sekali enggak. Itu pekerjaan asistenku," sahut Jovan kalem. Niken mendengkus kesal. Namun kemudian memilih untuk mengabaikan pria itu. Dia melambaikan tangannya ke arah si kembar ketika mendengar mereka berteriak memanggilnya. "KTP-mu aku kembalikan besok," bisik Jovan agak mencondongkan tubuhnya ke samping, sehingga suaranya bisa didengar Niken. Lalu pria itu beranjak meninggalkannya. Niken menyadari itu adalah pertemuan tidak disengaja kedua mereka. Dan jika ada pertemuan yang ketiga, maka pertemuan tersebut sudah tidak bisa disebut kebetulan lagi. Jadi sepertinya ini memang rencana takdir. Hanya saja, apakah itu hal yang baik atau buruk, Niken tidak tahu.... Bukan hal yang aneh jika Niken bersikap defensif. Kehidupan mengajarkan itu padanya. Kecelakaan yang terjadi siang itu di kamarnya mengakibatkan Risa kehilangan bayinya, Oka yang merasa harus bertanggung jawab, tidak pernah bisa meninggalkan istrinya seperti yang dia rencanakan. Dan Niken dibuntuti perasaan bersalah seumur hidupnya. "Ini gara-gara kamu, Niken! Aku kehilangan bayiku gara-gara kamu! Puas kamu sekarang?! Puas kamu?! Setelah merayu suamiku, sekarang kamu membunuh anakku!" Niken tidak pernah lupa teriakan Risa saat itu. Sorot mata Risa yang menatapnya penuh dendam, juga caciannya yang mengatakan dia w************n. Dan yang paling tidak bisa Niken lupakan adalah rasa sakit yang terpancar di mata ayahnya, sebelum pria paruh baya itu terkena serangan jantung dan meninggal. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN