Satu - Terkekang

1091 Kata
Dihari Sabtu pagi ini seorang pemuda tengah berada di balkon rumahnya menikmati semilir angin ditemani secangkir teh hangat dan satu toples cookies buat wanita spesial dalam hidupnya. Pemuda tersebut kembali memasuki kamarnya setelah teh tersebut habis dan melirik kearah dinding. "Udah waktunya." gumamnya dan berjalan keluar kamar. Di lorong lantai 4 Mansion nya, ia bertemu dengan Abang nya yang sudah berpakaian rapi "Bang, udah siap aja nih," goda pemuda tersebut membuat sang Abang mendengus. "Hm." Setelah mengucapkan kalimat singkat tersebut, sang Abang melenggang kearah lift meninggalkan pemuda tampan tersebut yang hanya dapat memandang cengo kearahnya. Ketika akan melanjutkan langkahnya, pemuda tersebut melihat gadis cantik dengan gaun panjang berwarna putih keluar dari sebuah ruangan "Cantik banget," monolog pemuda tersebut saat seorang gadis terlihat sekitar 5 meter didepannya. Tak butuh waktu lama, pemuda tersebut menghampiri gadis bergaun putih itu membuat sang empu kaget *** "Hiks.." Seorang gadis cantik berkulit putih s**u sedang menangis karena meratapi dirinya yang seperti burung dalam sangkar. Bagaimana tidak? Sedari playgroup sampai berakhirnya kelas 3 smp, ia selalu Homeschooling ketika melangsungkan pendidikan. "Eline pengen punya temen..Hiks." Setiap harinya ketika tak ada yang melihat, gadis cantik tersebut selalu menghabiskan waktunya dengan menangisi nasibnya yang sangat menyedihkan. Padahal seharusnya ia bisa bermain bersama menghabiskan masa remaja dengan teman sebayanya namun tidak untuknya. Jika ditanya alasan apa yang diberikan keluarganya, selalu sama "Kami ingin menjaga mu." "Abang ngga mau Princess terluka." "Diluar banyak bahaya, kamu masih kecil." Blablabla Menyebalkan? Sudah pasti. Bagaimana tidak menyebalkan jika dirinya selalu dibilang masih kecil sebagai alasan tidak boleh melakukan aktivitas diluar rumah. Jika diingat, kakak perempuannya sedari kecil sudah dibebaskan melakukan apapun diluar rumah. Tanpa disadari, sedari tadi ada seseorang yang mendengarkan segala curahan hatinya dari balik pintu kamar. Gadis tersebut melirik ke arah kalender yang terpampang diatas nakas, tak lama ia segera menuju walk in closet untuk berganti pakaiannya. Setelah melihat pakaian yang dikenakan, gadis tersebut segera beranjak menuju pintu kamarnya seraya menghembuskan napasnya kasar. Cklek! Terlihat di lorong kamarnya dengan semua anggota keluarga lain nampak sepi. Mungkin sedang pada bersiap-siap. Pikirnya! Dengan rambut panjang bergelombang dan gaun putih panjangnya, gadis itu terlihat cantik meskipun tak menampilkan senyum nya. "Halo Adek cantik." Sapaan seseorang yang memiliki paras mirip dengannya membuat gadis tersebut kaget. Namun dengan segera ia dapat menormalkan ekspresinya. Gadis tersebut hanya membalasnya dengan anggukan kecil membuat pemuda tersebut menghela napasnya. Namun sebisa mungkin pemuda tersebut menampilkan raut cerita. "Ayo turun, udah ditunggu Ayah sama Bunda dibawah." ajak pemuda tersebut dengan merangkul gadis tersebut. Dengan langkah malas gadis tersebut mengikuti tarikan pemuda disebelahnya. Dimeja makan, terlihat anggota keluarganya sudah berkumpul dengan berbagai jenis masakan yang tertata sangat menggiurkan untuk dimakan. "Elin mau makan apa sayang?" tanya seorang wanita setengah baya, Avio yang tak lain Bundanya. "Terserah." Semua yang ada di meja makan hanya dapat menghembuskan napasnya kasar ketika melihat semakin hari Princess mereka berubah seperti orang asing. Setelah semua siap, mereka semua melangsungkan acara sarapan dengan keadaan diam. Seusai mereka melangsungkan sarapan, sang kepala keluarga memulai obrolannya guna memberikan informasi penting. "Edgar, kamu sudah Ayah daftarkan di SMA Cendrawasih. Disana kualitasnya bagus. Ayah harap, kamu tetap bisa konsisten terhadap nilai kamu," ucap Arta selaku kepala keluarga. Sedari tadi, Elin hanya mendengarkan apa yang diperbincangkan oleh ayahnya. Ia selalu berdoa semoga dapat melanjutkan pendidikan di sekolah umum seperti keempat Kakaknya. Namun sepertinya harapan tersebut hanyalah sebuah angan belaka saat Ayahnya hanya menyebutkan nama Kakak nya. Edgar tersenyum tipis sambil mengacungkan jempolnya, "Oke, Yah." Arta mengangguk, lalu beralih menatap putri bungsunya. "Elin, minggu depan sudah mulai ajaran baru. Kamu sudah masuk SMA kan tahun ini? Ayah akan carikan di salah satu lembaga terbaik dunia, guru yang berkelas untuk kamu melanjutkan program Homeschooling di jenjang SMA. Nah kan? Apa yang Elin pikirkan tidak pernah meleset. Bahkan tinggal sisa 3 tahun ia tetap menjadi burung dalam sangkar. Pagi ini mood nya sungguh buruk saat mendengar penjelasan Ayahnya yang kembali menyuruhnya untuk bersekolah dirumah. Tanpa mengangguk, Elin langsung melangkah meninggalkan acara ngobrol bersamanya menuju ke kamar. ***  "Mau kemana, Erlang?" tanya Arta saat putra sulungnya beranjak dari meja makan. Erlang pun menoleh malas. "Adek." Erlang kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar bertuliskan Edeline's Room dan mengetoknya Tok! Tok! Tak ada sahutan dari dalam kamarnya membuat Erlang khawatir. Ia mencoba membuka pintu tersebut dan ternyata tak terkunci. Terlihat seorang gadis sedang duduk di balkon kamar dengan sebuah Canvas dan peralatan melukis. Dari kejauhan, Erlang dapat melihat apa yang sedang digambar oleh Adik kesayangannya tersebut. Nampak 4 orang gadis terlihat sedang bersenda gurau dengan ootd yang terlihat simple namun elegan. Dari sini Erlang sudah bisa menebak bahwa salah satu gadis yang berada digambar tersebut adalah Raina atau keluarganya biasa memanggil Eline. Erlang tau alasan Adiknya menggambar seperti itu. Sang adik sangat ingin memiliki masa remaja seperti anak lainnya yang bisa menghabiskan masa sekolahnya dengan kegiatan ospek, kemah, pensi dan sejenisnya. Namun apadaya karena kekurangan yang dimiliki Eline membuat keluarganya harus membuat hidup Eline seperti dalam tahanan. Hati Erlang sakit melihat gambar tersebut, ia juga ingin Adiknya bahagia namun sebagai anak ia tak dapat melawan keinginan orang tuanya. Tetapi ia juga takut jika terus seperti ini, kejiwaan adiknya dapat terganggu seiring berjalannya waktu. "Sayang, apa yang kamu gambar?" tanya Erlang saat berada dibelakang adiknya. Eline melirik Erlang yang masih memperhatikan gambarannya. "Eline yang lagi jalan-jalan sama sahabat." Erlang menatap bingung Adiknya, "Kapan kamu ketemu mereka?" Lambaian tangan Eline dengan tersenyum lebar mengarah ke pojok balkon. "Sini, Abang ku mau kenal sama kalian." Tiba-tiba badan Erlang meremang. "Mana El? Abang nggak lihat ada sahabatmu?" "Ini yang pakai dress putih namanya Dara, yang pakai dress merah namanya Asya, terus yang pakai baju hitam namanya Ara." jelas Eline sambil menunjuk satu persatu yang membuat Erlang menghela napasnya pelan. "El, dengerin Abang. Sahabat yang kamu maksud, Abang nggak bisa lihat mereka. Kamu pasti kecapekan makanya ngelantur," tegas Erlang menatap mata Adiknya dalam. Secara tiba-tiba Eline meneteskan air matanya. "NGGAK BANG ... RAINA CUMA PUNYA MEREKA! SELAMA INI, MEREKA YANG SELALU TEMENIN RAINA!!" teriak Eline histeris. DEG! Hati Erlang mencelos ketika Adiknya menyebutkan nama yang disebutkan merupakan orang luar. Jika Adiknya sudah menyebut seperti itu, berarti Adiknya sudah menganggap dirinya orang asing. Didepan pintu, Edgar sudah bergerak gelisah melihat Adiknya yang histeris. Ingin menghampiri, namun dicegah oleh kedua orangtua nya "Bun, Adek kenapa jadi gini?" tanya Edgar khawatir. Avio hanya diam tak berkutik, ia tak tahu harus menjawab seperti apa. Selama ini mereka berpikir dengan mengurung Eline dirumah semua keselamatan dan kesehatannya dapat terjamin. Namun yang terjadi justru sebaliknya. "Kumpul diruang kerja Ayah sekarang." perintah Arta dengan datar kemudian pergi terlebih dahulu menuju ruangannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN