"Adek gue gak gila! Lo jangan sembarangan ngasih diagnosis ya!" hentak Edgar tak terima. Raut wajahnya mengeras saat mendengar ucapan dokter tersebut.
"JANGAN BAWA-BAWA MENTAL ADEK GUE!!" amuk Rafel mencengkram kerah kemeja dokter tersebut.
"Tenangin diri lo dulu," tahan Erlang sebelum Rafel melakukan k*******n.
"Bagaimana gue bisa tenang, secara gak langsung dia ngatain mental Adek," kekeuh Rafel dengan tangan terkepal.
"DIAM KALIAN!" bentak Arta membuat ruangan seketika hening.
"Saya akan membawa Eline ke The Royal Adelaide Australia segera," putus Arta mutlak membuat ketiga anaknya melotot.
"Kalian selalu saja egois! Bahkan kalian dengan gampangnya membawa Adek pergi, tanpa peduli apa keinginannya!"
Keenam orang dalam ruangan tersebut seketika menoleh kearah sumber suara.
"Lia, kok kamu kesini?" tanya Arta khawatir. Keadaan putrinya sedang tidak baik-baik saja.
Lia menatap sengit seluruh keluarganya, "Apa cuma itu cara yang akan membuat Eline sembuh? Kalian gak ngerasa salah sama dia sedikitpun?"
"Maksud kamu bagaimana Nak?" tanya Arta bingung.
"Ramond, siniin laptopnya," pinta Lia dengan raut tak bersahabatnya.
Ramond menyerahkan laptop tersebut dan ikut bergabung dengan calon keluarganya.
Video mulai diputar. Terlihat keseharian si bungsu yang selalu menangis ketika berada di kamarnya dan akan bersikap seolah tak terjadi sesuatu ketika berkumpul dengan keluarganya.
Gadis tersebut selalu bergumam ingin bermain dengan teman sebayanya dan memiliki sahabat yang selalu bersamanya dalam keadaan apapun.
Diam-diam Edgar mengepalkan tangannya. Hatinya hancur melihat kembarannya tersakiti meskipun keluarganya memiliki maksud baik.
"Kalian semua tau bukan, alasan Ayah melakukan semua ini?" tukas Arta agar seluruh anaknya tidak salah paham.
Lia terkekeh sinis kepada Ayahnya, "Apa Ayah melupakan fakta kalau kondisi Lia dan Eline tidak jauh berbeda? Ah tentu saja kalau sekarang sangat jauh berbeda karena Lia bahagia bisa mengenal dunia luar. Sedangkan Eline? Dia bahkan nggak pernah memiliki kesempatan!" cecarnya tajam.
Setelah mengucapkan kalimat yang cukup menyayat hati kedua orang tua nya, Lia langsung menarik tangan Ramond keluar dari ruangan Adiknya meninggalkan seluruh keluarganya yang terdiam mencerna setiap perkataannya. Menurut Lia, keluarganya itu perlu disadarkan agar tidak egois.
***
Edgar hanya dapat berdiam diri di balkon kamarnya. Hari ini sudah seminggu lamanya ia harus terpisah dengan setengah jiwanya. Setelah perdebatan itu, Adiknya langsung dibawa ke Australia oleh kedua orang tuanya dan meninggalkan ketiga putranya di Indonesia. Tepat hari ini, Edgar resmi menjadi siswa SMA.
Jam masih menunjukkan pukul 4 pagi namun tak ada tanda bahwa ia mengantuk. Seharusnya ia menjaga jam tidur karena sekarang adalah hari pertama kegiatan Masa Orientasi Siswa di sekolahnya.
"Abang rindu Eline," gumam Edgar sambil memeluk lututnya karena suhu udara yang dingin.
Sekitar 1 jam kemudian, Edgar bersiap-siap dengan seragam sekolahnya. Setelah selesai, ia segera turun dengan seragam lengkap dan menuju meja makan.
Hening
Itulah yang Edgar rasakan
Biasanya akan ada Adik dan kedua orang tuanya yang duduk di meja makam. Meskipun Adiknya tak merespon percakapan, setidaknya kursi tersebut selalu terisi. Tidak seperti sekarang.
Dengan langkah gontai, ia menuju dapur mengambil kotak bekal dan segera memasukan nasi goreng yang sudah dimasak oleh koki dirumahnya.
"Tuan, tidak sarapan dulu?" tanya Bi Asri selaku kepala maid.
"Saya berangkat, Bi." pamit Edgar tanpa menjawab pertanyaan Asri.
Edgar mencari Pak Wisnu untuk mengantarkannya menuju SMA Cendrawasih
***
The Royal Adelaide Hospital, Australia
Suara mesin EKG begitu nyaring dengan sebuah penampilan garis lurus di monitor membuat suasana mencekam
Para dokter sibuk dengan Defibrilator di tangannya. Sedangkan suster sibuk dengan buku yang selalu dibawa ketika mendampingi dokter. Mereka selalu mencatat apa kemajuan yang terjadi pada pasien.
"Siapkan daya tekanan 300 Joule."
"Itu terlalu tinggi Dok, berbahaya untuk pasien," sanggah dokter lainnya.
"Semua akan baik-baik saja. Kita hanya perlu memberikan yang terbaik," ucap dokter senior tersebut meyakinkan.
Dokter tersebut menempelkan alat pacu jantung ke d**a pasien
Percobaan pertama
Pasien terangkat karena tarikan alat tersebut
Masih belum menunjukkan kemajuan
Percobaan kedua
Mesin EKG terlihat sedikit gelombang
Percobaan ketiga
Tiiiittttttttttt
"Dokter, detak jantung berhenti. Suhu pasien juga semakin mendingin," ucap suster yang menjadi pendamping dokter di ruangan ICU.
"Kita coba sekali lagi."
Deg Deg
Terlihat layarmonitor menunjukkan gelombang yang cukup membuat mereka menghembuskan nafasnya lega. Suhu dari pasien kembali menghangat meskipun wajahnya masih terlihatpucat.
***
"Aaaarrrggghhhh." Suara rintihan membuat seisi kelas menoleh kearah pemuda yang sedang terlihat kesakitan.
Anggota OSIS yang bertugas di kelas X IPA 1 menghampiri murid tersebut
"Dek, ada apa?" tanya anggota OSIS cantik bername tag Micheline Bellatrix.
Edgar melirik anggota OSIS tersebut, "Nggak Kak ssshh," rintih Edgar dengan memegang dadanya kuat.
"Bel panggilin PMR deh, daripada pingsan," saran Kei dengan memegang buku panduan.
Gadis yang dipanggil Bel tersebut langsung keluar mencari anggota PMR yang bertugas
Tak lama datang 2 anggota cowok dari PMR membawa tandu membuat Edgar melotot
"Gue nggak papa. Kenapa bawa tandu, Kak?" jengah Edgar tak terima.
"Tapi lo kelihatan kesakitan," sambar teman sebangkunya, Abriel.
"Gue ini bukan sakit, tapi terjadi sesuatu pasti sama kembaran gue," ucap Edgar tiba-tiba.
"Yaudah, kalau butuh sesuatu bilang aja ke OSIS," putus Kei final.
Edgar hanya menanggapi dengan anggukan kepala
"Baik, sekarang persiapkan note kalian dan langsung menuju ke lapangan untuk pengarahan dari Wakil OSIS," jelas Kei sambil menatap seisi kelas.
"Siap, Kak."
***
"Sungguh ini sangat menegangkan, Sir. Mesin EKG sudah beberapa kali berbunyi nyaring yang menandakan detak jantung pasien beberapa kali menghilang. Namun, Tuhan masih sangat menginginkan Nona Edeline menyelesaikan tugasnya di dunia sehingga Tuhan mengembalikan kehidupannya," jelas dokter tersebut dengan menghapus peluh yang sedari tadi mengalir.
Sungguh ironis kejadian beberapa waktu lalu. Edeline berulang kali menunjukkan hasil nihil, hingga pada akhirnya Edeline dinyatakan kembali ke dunia.
"Terimakasih Dokter sudah melakukan yang terbaik untuk putri saya," ucap Arta tulus.
"Sudah tugas kami dari tim dokter memberikan yang terbaik bagi pasien Sir, hanya saja..." Dokter tersebut menggantungkan ucapannya.
Arta menaikkan sebelah alisnya, menunggu jawaban dari sang dokter
"Mental Illness yang di derita oleh pasien akan mempengaruhi organ lainnya. Daya kerja organ akan mengalami penurunan dan dapat membahayakan pasien," terang dokter tersebut.
"Lalu apa yang harus saya perbuat untuk putri saya?" tanya Arta mulai penasaran.
"Sebelumnya saya mau bertanya terlebih dahulu kepada Sir selaku orang tua pasien. Apa yang terjadi dengan Nona Edeline di masa lalu sehingga ia seperti orang tertekan?" pancing sang dokter.
Arta menghembuskan napasnya pasrah, ia harus menceritakan segalanya. "Saya tidak pernah mengijinkan putri saya bersekolah dan berhubungan dengan dunia luar."
"Apa alasan sir membuat anak anda sendiri seperti tahanan?" tanya dokter tersebut yang tak mengerti dengan pikiran pria dihadapannya.
"Putri saya memiliki gagal jantung serta asma yang sudah akut. Saya khawatir itu semua akan membahayakan kesehatannya jika ia bermain diluar," jelas Arta jujur. "Putri saya selalu menangis dan ingin memiliki kehidupan seperti remaja pada umumnya yang tak pernah bisa ia rasakan karena ketakutan saya dan seluruh keluarganya." Lanjut Arta dengan sendu.
Dokter tersebut bangkit menuju lemari dan mengambil sebuah buku, "Kondisi Mentall Illness bisa dibilang sangat berbahaya jika terus berlanjut. Pasien cenderung tidak bisa membedakan apa yang benar dan apa yang salah dalam kehidupannya apabila tekanan tersebut tidak segera berakhir. Jalan paling efektif untuk menyembuhkan adalah melakukan pola hidup yang berubah minimal 180 derajat dari kehidupannya yang lama."
"Jika saya bebaskan Edeline keluar, bagaimana dengan penyakitnya yang lain?" sanggah Arta.
"Perketat pengawasan sekitar dan selalu sedia dengan alat kesehatannya, jangan membuat pasien seperti hidup dalam penjara. Narapidana dalam sel saja masih bisa menghirup udara luar ketika olahraga, mengapa putri anda yang tidak memiliki masalah justru dilarang?" kilah sang dokter.
"Baik, Dok. Setelah anak saya sadar, semua keinginannya akan saya turutin," putus Arta mutlak.
Dokter tersebut mengangguk. "Itu lebih baik, Sir. Pengobatan terbaik adalah dari diri sendiri. Kinerja obat dan tenaga medis hanya membantu menyempurnakan."
***