LUNA POV.
Faktanya, tadi malam gue menerima untuk dijodohkan dengan Pak Byan. Gue putuskan itu karena melihat kondisi Nenek yang nggak memungkinkan, gue nggak mau jadi penyebab Nenek gue sekarat. Setidaknya, gue sudah melakukan permintaan yang diinginkan beliau.
Sejauh ini gue nggak pernah pacaran, bukan karena nggak ada yang ngajakin, banyak kok yang deketin gue tapi gue mau fokus kuliah dulu. Gue mau mewujudkan cita-cita gue menuntut ilmu setinggi angkasa. Tapi nyata nya sekarang, gue malah disuruh jadi Istri orang oleh keluarga gue sendiri.
Mengingat cita-cita gue yang luar biasa itu gue jadi sedih sendiri, besar kemungkinan cita-cita itu bakal kandas di tengah jalan meskipun masih ada kemungkinan kecil untuk berhasil.
Dari yang gue tahu, baik di n****+ yang sering gue baca atau drama Korea yang sering gue tonton. Tentang kehidupan pernikahan bukan hal mudah. Apalagi pernikahan yang terjadi karena perjodohan, rumit.
Ditambah lagi calon suami gue adalah Pak Byan, dosen yang terkenal killer saat mengajar. Gimana nanti nasib gue kalau jadi Istrinya? Salah sedikit gue mungkin dicekik. Bikin kopi kepahitan bakal disiram sama kopi yang gue bikin sendiri. Atau juga, bikin nasi goreng tapi menurut dia enggak enak langsung dilempar nasi gorengnya ke muka gue. Dan berbagai macam khayalan tentang Pak Byan terus berputar di kepala gue.
Sebenarnya ada satu hal yang paling menakutkan selain fakta Pak Byan adalah seorang dosen killer, yaitu fans bar-bar Pak Byan yang siap membunuh gue kapan pun kalau ketahuan gue menikah dengan idolanya. Termasuk sahabat gue sendiri yang tidak lain adalah fans fanatiknya Pak Byan.
Dari sekian banyak laki-laki kenapa harus seorang Byantara Adhitama Wijaya yang akan menjadi calon Suami gue?
Sedari tadi gue membuang waktu memikirkan hal tidak penting itu. Ralat, sebenarnya ini cukup penting karena menyangkut masa depan gue. Daripada terus-terusan memikirkan hal itu, gue berencana untuk ke rumah sakit untuk menjenguk Nenek. Bagaimanapun juga, gue lah penyebab Nenek terbaring di sana.
---
Setelah melakukan ritual mandi yang cukup lama, gue bergegas pergi ke dapur. Ngapain? Ya sarapan lah. Oke oke, maaf gue ngegas dikit.
Di sana sudah ada abang gue yang duduk cantik sambil cengar-cengir melihat gue. "Lun, gue nggak nyangka lo bakal nikah duluan daripada gue," ujarnya.
Gue memutar bola mata malas. "Lo ngejek gue, Bang?" sedetik kemudian air mata menetes mengalir ke pipi gue.
"Eh, lo kenapa menangis?" Bang Varo kelihatan panik, meskipun dia sering jahil sama gue tapi dia menyayangi gue melebihi apa pun.
Gue menangis sesegukan. "Bang, gue nggak mau nikah. Gue masih mau ngejar cita-cita gue." Tumpah sudah, semua yang ada di pikiran gue pagi ini.
"Luna, gue minta maaf ya karena nggak bisa bantuin lo untuk masalah ini. Tapi gue janji akan selalu ada untuk lo, hm?" ucap Bang Varo sambil mengelus puncak kepala gue, "Sudah nangisnya, nanti Rosalinda datang entar di kira gue yang bikin lo nangis."
Jadi, gue sama abang gue sering manggil Ibu dengan sebutan 'Rosalinda' tentu saja hal itu kami lakukan di belakang Ibu, gila kali kalau terang-terangan yang ada jatah bulanan kami dikurangi.
"Bang, lo mau tahu nggak apa yang bikin nyali gue tambah ciut?"
Abang gue langsung mendekatkan wajahnya. "Hmm, emang apaan?" tanya nya.
"Pak Byan itu dosen killer, bang. Gimana nasib gue nanti jadi Istrinya?" sahut gue bener-bener frustasi. "Apalagi fansnya bar-bar semua, gue takut."
"Lo jangan negatif thinking duluan, kali aja di luar kampus dia orang yang hangat."
Wih, bijak bener abang gue, kesambet apaan?
"Lo bilang apa tadi? Fans?" tanya Bang Varo, menaikkan salah satu alisnya dan gue pun hanya menjawab dengan anggukan.
"Btw, gue mau jenguk Nenek pagi ini, Bang. Lo anterin gue yaa? Please?" Gue memohon dengan jurus andalan sejuta cewek, yaitu puppy eyes.
"Gak usah sok imut, gue colok tuh mata tahu rasa lo!" Kesal Bang Varo.
'Enak saja kau Ferguso main colok mata gue,' ucap gue dalam hati.
"Apa lo! Ngatain gue Ferguso pasti kan, hah?"
Gila! Nih abang gue bisa baca pikiran apa yaa, "Enggak kok, Bang," sahut gue mengelak.
Setelah selesai sarapan, gue diantar bang Varo ke rumah sakit. Pagi ini nenek pasti sendirian, karna Ibu baru saja pulang setelah menjaga nenek semalaman.
Mobil melaju dengan cepat karena Bang Varo harus segera balik ke rumah, katanya dia ada deadline.
***
Tok! Tok! Tok!
Gue mengetuk pintu kamar kemudian membukanya pelan. "Nek?" sapa gue, Nenek pun menoleh ke arah sumber suara.
"Gimana keadaan Nenek?" tanya gue sembari berjalan ke samping ranjang.
"Seperti yang kamu lihat," sahut Nenek dengan suara lemas nya.
"Maafin Luna ya, Nek. Seharusnya Luna menerima perjodohan itu sejak awal jadi Nenek nggak bakal terbaring di sini."
Mengucapkan hal ini membuat gue sedih, sebenarnya yang egois di sini tuh siapa? Gue atau keluarga gue?
"Nenek dengar kamu sudah menerima dijodohkan dengan Byantara, apa betul begitu?"
Gue hanya bisa mengangguk, mulut gue terlalu berat untuk mengucapkan kata IYA.
"Baguslah, Luna. Mungkin kamu berpikir bahwa Nenek ini egois. Tapi kelak kamu mungkin akan berterimakasih pada kami semua. Tapi sampai hari itu tiba, kamu lakukan saja tugas kamu dengan baik. Hm?" tutur Nenek panjang lebar.
Sekali lagi gue hanya bisa mengangguk.
"Nenek mau sarapan?" tanya gue mengalihkan topik pembicaraan.
Nenek mengangguk. "Boleh juga." sahutnya sambil tersenyum. "Tadi kamu sama siapa ke sini?" tanya Nenek.
"Sama Bang Varo, Nek. Tapi dia langsung pulang tadi. Nanti agak siangan dia ke sini katanya."
Sebenarnya gue sedih berada di posisi seperti ini, tapi sepertinya gue bener-bener nggak ada pilihan. Sekeras apapun gue mencoba menerima, semakin hati gue menolak keadaan.
Drrrtt..
Drrrtt..
From: Nay
Lun, marathon drakor kuy?
Asik juga nih idenya Nay, itung-itung buat refresh otak gue yang panas. Dan gue pun menerima ajakan Nay untuk marathon drakor hari ini.
To: Nay
Kuy lah! Di rumah gue jam 10.
Beberapa bulan belakangan, gue sama Nay sering banget marathon drama Korea pas weekend. Sebenarnya kita berdua bukanlah k-popers yang mengidolakan idol-idol nan tampan rupawan itu, kita berdua hanya sekadar menyukai drama nya saja. Karena jika dibandingkan sinetron lokal, drama Korea lebih bervariasi alur ceritanya. Bukan berarti gue nggak cinta produk dalam negeri yaa, hehe. Tapi mau gimana lagi, kalian yang suka nontonin drama Korea pasti tahu lah maksud gue.
"Bagaimana kuliah kamu?" tanya Nenek tiba-tiba, dan pertanyaan itu membuat gue dirundung rasa sedih sekali lagi.
'Tok tok tok!'
Seseorang mengetuk pintu lalu membukanya.
Gue alih pandangan ke pintu, dan ternyata Pak Byan dengan Oma nya sudah berdiri saja di sana.
"Astaga itu Bapak ngapain ke sini." batin gue, jujur gue masih belum siap ketemu dia.
Sedari tadi Pak Byan terus menatap gue meskipun kalau gue tatap balik dia langsung memalingkan wajahnya. Ck, elah Ferguso curi-curi pandang ternyata.
Berada di satu ruangan bersama mereka, rasanya waktu berjalan sangat lambat. Sesekali gue melirik jam yang melingkar di lengan. Dan, gotcha! Sudah pukul 09.30.
Dengan ragu gue membuka suara. "Nek, Luna pamit pulang dulu nanti Bang Varo yang gantian jaga Nenek," ucap gue yang hanya dibalas anggukan oleh Nenek.
"Kamu pulang sama siapa?" tanya Pak Byan. Duh Ferguso kenapa sih kau ini, jangan bilang lo mau nganterin gue pulang.
"Dia tadi ke sini diantar sama Varo," sahut Nenek menyela.
"Kalau begitu, biar saya antar Luna pulang," ujar Pak Byan menatap Nenek yang tidak jauh darinya.
***
Lagi, suasana di dalam mobil ini sangat canggung. Untung saja ada lagu yang diputar oleh Pak Byan, kalau tidak bakal kayak kuburan.
"Luna, kamu serius mau jadi Istri saya?" tanya Pak Byan tiba-tiba.
"Elah, kagak ada pertanyaan lain apa?" batin gue.
"Hmm, iya Pak. Saya serius. Kenapa memangnya, Pak?"
Hening...,
"Kalau gitu, mari kita sama-sama membangun rasa cinta masing-masing."