BAB 12 - BYAN

1061 Kata
BYAN POV. Panggilan misterius dari nomor tidak dikenal tadi malam sukses membuat gue memutar keras pikiran. Sejauh ini gue merasa nggak punya musuh, entah juga mungkin aja orang lain ada yang menganggap gue musuh dia. Gue harus memanfaatkan pagi ini sebaik mungkin untuk beristirahat, karena tiga jam lagi kita semua akan berangkat ke Bali. Resepsi gue sama Luna akan dilangsungkan di sana. Gue mencoba untuk sekedar memejamkan mata, badan gue rasanya capek banget. Di samping gue Luna masih tertidur pulas. Sebenarnya kasihan juga ini bocah tapi mau bagaimana lagi, resepsi nggak mungkin ditunda lagi. Karena Oma gue nggak akan setuju untuk itu. Drrttt.. Drrttt.. Baru juga gue memejamkan mata, ada saja yang mengganggu. "Ck siapa lagi sih!" gue menggerutu kesal sembari menatap layar handphone. Ternyata panggilan masuk dari Oma. Dengan berat hati gue menjawab panggilan dari Oma. "Iya, ada apa Oma?" Gue membuka suara dengan malas ketika panggilan berhasil tersambung. "Bagaimana keadaan Istri kamu?" tanya Oma di seberang telepon. Seketika gue merasa aneh saat mendengar Oma mengucapkan kata-kata itu. "Dia tidur pulas banget sampai ngiler," sahut gue bohong. Luna nggak ngiler sebenarnya. Gue cuman pengin mengusili Oma aja. "Ya sudah, bangunkan dia satu jam lagi kalau begitu." Dan gue hanya berdeham pelan lalu mengakhiri panggilan. Gara-gara panggilan telepon dari Oma gue jadi nggak bisa memejamkan mata lagi, mata gue gatal pengin mandangin muka Luna terus. Gila! gue baru sadar kalau Luna cantik banget! Sebenarnya dari kemarin gue sudah sadar dia cantik, tapi penglihatan gue kemarin Luna nggak secantik ini. Gue meneguk saliva berkali-kali, rasanya gue pengin banget mencium bibirnya. "Enggak... enggak, Byan. Lo nggak boleh!" Gue menyadarkan diri gue sendiri dengan menggelengkan kepala lalu menjauh dari Luna. Sebenarnya kalau gue cium juga dia nggak bakal tahu, karena dia tidur pulas banget. Tapi gue sudah janji sama dia tadi malam. Dan karena gue seorang Byantara Adhitama Wijaya, maka gue akan menepati janji itu. Daripada berlama-lama di sini mending gue turun ke bawah, keberadaan gue di sini nggak menjamin janji itu akan gue tepati, hehe. Kagak berpendirian banget ya gue? Menuruni undakan tangga satu per satu sampai ke lantai satu cukup membuat gue lelah juga, kenapa Oma nggak bikin lift aja sekalian? Biar gue nggak capek-capek amat. Gue menuju dapur untuk mengambil air minum, soalnya tenggorokan gue tiba-tiba kering. Di sana ada Bunda gue yang lagi sibuk dengan panci dan benda lainnya. "Bun, lagi buat apa?" tanya gue. Bunda terlihat lagi memasak sesuatu, bukannya istirahat malah bergulat di dapur. "Bunda bikin bubur buat Luna, dia kan belum sarapan," sahut Bunda tersenyum senang. Benar juga! Itu bocah belum makan apa-apa. Bunda kelihatan senang banget sama Luna, buktinya dia bela-belain bikin bubur buat itu bocah. Dulu aja waktu gue sama Leony, boro-boro dibikinin bubur. "Barang-barang kalian berdua sudah siap?" lanjut Bunda bertanya, dan gue hanya mengedikkan bahu dengan raut wajah malas. "Loh? Jangan bilang belum siap. Ingat ya Byantara, selepas resepsi kalian akan lanjut honey moon." Gila 'kan? Segitu diaturnya pernikahan gue sampai honeymoon pun masuk agenda. Secepat kilat gue meneguk air sampai tak tersisa setetes pun dalam gelas, lalu beranjak meninggalkan dapur. "Byan, mau ke mana kamu? Bawakan bubur ini buat Luna, oke?" ujar Bunda. "Byan capek, Bunda. Kaki Byan pegal!" Gue menolak tegas. Kaki gue bener-bener capek banget soalnya. Jadi gue ogah banget kalau harus menaiki satu persatu anak tangga itu lagi sampai ke lantai tiga. Sesaat gue membuka langkah, ternyata Luna sudah ada di depan mata gue. Hampir aja gue kena serangan jantung karena kaget melihat muka Luna yang pucat banget mana ekspresinya gitu amat saat mandangin gue. "Astaga!" Gue mengelus-elus daada. "Baguslah kamu di sini, Bunda suruh kamu makan." "Mas, Luna boleh minta tolong nggak?" ujarnya. "Minta tolong apa?" tanya gue. "Hmm, Luna minta tolong beliin pembalut." Gue langsung tersedak saliva gue sendiri saat mendengar permintaan dari Luna. Gue disuruh beli pembalut? ASTAGA YANG BENAR SAJA!! *** Dan di sinilah gue sekarang, berdiri di depan rak penuh pembalut dengan bermacam ragam merk. Dan gue nggak ngerti sama sekali mana yang harus gue beli. Gue nggak berniat sama sekali membaca satu per satu dari segala jenis yang tersedia. Dan akhirnya gue memutuskan untuk membeli masing-masing satu dari setiap merk yang ada. Sesaat gue menuju kasir dengan keranjang yang penuh dengan benda itu, pengunjung lain menatap gue dengan aneh. MAU TARUH DI MANA MUKA GUE YANG GANTENG! GUE MALU BANGET SUMPAH! Jangan tanya kenapa gue mau disuruh beli beginian. Sebenarnya gue sudah menolak. Tapi karena nggak ada orang yang bisa beliin selain gue, akhirnya gue mau dan gue jamin ini akan jadi yang pertama juga yang terakhir kalinya. Seumur hidup gue nggak pernah kepikiran gue akan berada di sini membeli benda macam ini. --- "Nih! Pesanan kamu." Gue menyerahkan kresek besar berisi berbagai macam pembalut. Luna tersentak kaget saat gue begitu banyak membeli benda itu, padahal satu pack saja sudah cukup, katanya. "Makasih, Mas. Tapi nggak sebanyak ini juga kali belinya." Luna mengambil satu pack dari sekian banyak pembalut yang ada. "Kan saya tidak tahu, Luna. Makanya saya beli saja masing-masing dari merk yang ada," sahut gue. Setelah mengambil satu pack pembalut, Luna langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan gue langsung merebahkan diri di atas kasur sembari memainkan handphone. Tidak lama kemudian Luna keluar dari kamar mandi. "Mas Byan," panggil Luna. Luna duduk di samping gue, lalu memegang tangan gue sambil sesekali ia goyangkan. Namun maaf-maaf aja nih gue benar-benar kesal karena kejadian pembalut. Untuk itu gue nggak respon dia sama sekali. "Mas, Luna minta maaf. Hm?" ujarnya dan gue masih bersikukuh untuk tidak menjawab. "MAS! LUNA HARUS APA BIAR MAS BYAN MAAFIN?" lanjut Luna nampak frustasi karena gue diamkan. Kali ini gue meletakkan ponsel lalu menatap Luna. "Dari tadi Mas pengin istirahat tapi nggak bisa-bisa. Kamu usap kepala Mas, Mas mau tidur," ucap gue. Luna menghela napas pelan. Ia setuju untuk mengusap kepala gue. Setelah mendapat persetujuan Luna, gue langsung merebahkan kepala di paha Luna. "Mas, berat," protes Luna. Elah pakai protes segala. "Ayo buruan diusap!" titah gue. "Tapi Mas, bisa nggak jangan dipeluk. Wajah Mas ke arah situ bikin Luna nggak nyaman," ujarnya lagi. "Kenapa? Kamu takut saya apa-apain? Tenang aja, saya cuman minta kamu mengusap kepala saya biar saya bisa tidur." Sekali lagi, gue yang biasanya memakai kata 'Mas' sekarang gue ganti menjadi 'saya'. Biar dia tahu kalau gue beneran kesal sama dia. Luna mengangguk dengan pelan kemudian tangannya mulai membelai dengan lembut kepala gue sampai gue tertidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN