Bab 5 : Lebih dari Sekadar Siswi

2043 Kata
Chandra meninggalkan beberapa buku catatan demi menyambut kedatangan rekan kerjanya sesama guru, Hendri namanya. Pria itu adalah wali kelas Mishall. Chandra meminta beberapa data keluarga Mishall untuk melakukan pendekatan. "Terima kasih, Pak, Hendri," kata Chandra, kemudian duduk kembali di kursinya. "Tidak masalah, Pak. Bapak kayaknya serius ya, mau ubah Mishall. Saya aja nggak tau, Pak, gimana lagi sama anak itu. Terserah dia aja lah, yang penting saya tetap ngajar. Dia nggak mau belajar terserah aja. Siswi kayak dia udah kebal kalau dibilangin." Hendri mengeluarkan curhatan hatinya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berpindah ke kursi yang berada di sudut ruangan. Chandra tidak peduli dengan ucapan Hendri tadi. Ia mengecek jejak nilai Mishall sejak masuk SMA. Karena berita keburukan Mishall ini baru ada sejak semester 2 kelas XI. Waw. Setahun lalu, Mishall sempat mendapatkan peringkat kedua, dengan nilai semua rata-rata tinggi, kecuali untuk kegiatan olahraga. Bahkan, sekarang pun, nilai-nilai Mishall masih terbilang tinggi. Hanya karena terhalang oleh absensi, ia tidak masuk jajaran ranking. Kembali ke halaman depan raport, Chandra mencari tahu riwayat keluarganya. Ayahnya bernama Raden Sahir Ilyasa .... Chandra mengerutkan keningnya tiba-tiba. Bukannya ini nama menteri negara yang 7 bulan lalu meninggal saat digeledah oleh pihak KPK atas kasus korupsi? "Kok saya kayak ketiduran, ya, Pak, selama ini? Mishall ini anaknya Raden Sahir Ilyasa? Anak mantan menteri?" tanya Chandra pada Hendri yang semula sibuk menilai tugas pelajarnya. "Emang, Pak. Cuman, demi menjaga mentalnya Mishall, karena dia sempat terguncang saat itu, kami jarang bahas Papanya." Hendri menggeser buku-buku catatan para siswi demi bisa memberikan informasi secara serius. "Bahkan, kami belum mengeluarkan Mishall karena ini, Pak. Kami merasa, dia masih tertekan karena kasus papanya. Tapi kok, ya, makin dimanja itu anak, makin keluar sifat nakalnya. Saya aja pusing hadepinnya, Pak. Dibilangin, ngeyel mulu. Kalau gini terus, bisa aja Pak Kepala Sekolah ambil tindakan dan keluarkan dia dari sekolah." "Mishall ini berpotensi loh, Pak, jadi orang sukses." Chandra menutup raport Mishall, saat ia bisa menarik kesimpulan mengenai alasan penyimpangan gadis itu. "Kalau pinter sih, saya akui, Pak. Tapi, attitude lebih penting daripada kecerdasan. Kayak kenyamanan lebih penting dari kesempurnaan. Sesiapapun, nggak bakalan betah kalau kerja sama orang sejenis Mishall ini," sanggah Hendri. "Bapak bisa jamin, nggak, Pak Kepala Sekolah nggak bakalan keluarin Mishall, setidaknya sampai dia naik kelas 3 nanti?" Hendri menaikkan sebelas alisnya, tertarik. "Bapak mau tuntun Mishall kembali ke jalan yang benar, gitu?" Chandra menyambut ucapan Hendri dengan kekehan geli. "Lebih dari itu, Pak." Senyum Hendri hilang, digantikan raut bingung di wajahnya. *** Chandra niatnya ingin ke rumah Mishall siang ini, menjaga gadis itu hingga malam tiba agar tidak ke kelab malam lagi. Namun, urung, saat perjalanan sisa beberapa meter lagi, motornya harus berhenti karena sebuah panggilan dari psikiater yang menangani Shila. "Keadaan Bu Shila jauh lebih buruk dari sebelumnya, Pak." Satu kalimat itu berhasil memancing Chandra untuk menarik napas panjang. Keramaian jalan raya ia abaikan, fokus mendengarkan ucapan selanjutnya dari wanita bernama Widya itu. "Dalam masa seperti ini, Bu Shila butuh dukungan dari orang terdekatnya, seperti beberapa tahun lalu, dan Bu Shila sama sekali tidak memiliki keluarga sekarang, bahkan orang terdekat, kecuali Anda." "Tapi, Dok." Chandra mengerutkan keningnya semakin dalam. Helm yang kacanya diangkat membuatnya terpapar langsung oleh sinar matahari terik. "Saya penyebab traumanya kali ini. Apa tidak semakin memperburuk keadaan istri saya?" "Bisa kita bertemu, Pak? Anda datang ke tempat saya, dan akan saya jelaskan apa yang sebaiknya Bapak lakukan." Chandra diam sejenak. Kepalanya celingak-celinguk menoleh ke arah yang sudah ia lalui, juga melirik ke jalanan di depan. Pagar rumah Mishall bahkan sudah tampak. Ia harus memastikan bahwa siswinya itu tidak melakukan transaksi lagi. "Bu Shila hanya punya Anda, Pak," kata Widya. Juga Mishall, untuk saat ini, hanya Chandra yang memikirkan gadis itu. Semua orang sudah angkat tangan menghadapinya. "Istri Anda sedang sakit, Pak." Chandra tiba-tiba mengeluarkan napasnya secara kasar. Apa yang baru saja Chandra pikirkan? Demi seorang gadis nakal bernama Mishall, dia mengabaikan istrinya? Pertanyaan itu menghentak kesadaran Chandra, dan membuatnya mengiyakan permintaan Widya segera. Setelah memasukkan kembali ponsel ke saku seragam, dan menurunkan kaca helm, Chandra memutar arah ketika jalanan sedikit senggang. *** "Dokter lihat sendiri respons Shila saat melihat saya?" Chandra menyugar rambutnya setelah memasuki mobil Widya. "Ini jauh lebih baik. Walaupun bersikap dingin, Bu Shila setidaknya tidak melawan saat bertemu Anda. Pak Chandra cukup dekati Bu Shila seperti dulu, bersikap seperti dulu, dan hilangkan keraguannya. Dia bisa membaik, kok," jawab Widya. Chandra mengangguk-angguk. Ekspresinya tidak bisa menyembunyikan kelegaan atas keadaan istrinya, tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Dalam diskusinya kali ini, setiap beberapa detik sekali, Chandra akan melirik ke arah jam tangannya. Sekarang setengah delapan. Entah pria mana lagi yang sudah menyewa Mishall malam ini. "Anda ada urusan lain, Pak Chandra?" Gelagat Chandra sangat mudah diketahui oleh Widya. "Saya sudah cukup kok menjelaskan tentang istri Anda, tinggal Pak Chandra yang bersikap. Setiap harinya, saya akan bantu Pak Chandra untuk melakukan pendekatan pada Bu Shila." "Tidak ada urusan, Dok." Chandra berusaha menormalkan ekspresinya, tetapi itu sama sekali tidak membantu. Ia hanya bisa diam sampai tiba di rumah Widya. "Pak Chandra tidak mau mampir sebentar? Makan malam mungkin?" "Tidak perlu, Dok. Saya ada sedikit urusan kecil di luar," jawab Chandra sembari berlari-lari menuju motor Kawasaki Ninja 250 miliknya. "Saya pulang dulu, Dok." Ia memakai helm, menyalakan motor. Tanpa menunggu balasan dari Widya, langsung menarik gas, melewati jalan raya dengan kecepatan yang bisa ia lakukan di tempat ramai ini. Sesampainya di depan rumah Mishall, ia merasa punya harapan bahwa perempuan itu belum berangkat, atau Mishall mengingat ucapan Chandra kemarin bahwa ia siap menyewa Mishall setiap malam agar tidak bertemu para p****************g lagi. Chandra mengetuk pintu dua kali, lalu memberi jeda hingga benda berbahan dasar tripleks itu terbuka, menampilkan seorang wanita berusia 40-an, dengan rambut diikat belakang. Tampak sangat rapi, meski dengan pakaian loakan. Wanita itu menatap sinis pada Chandra. "Mishall ada, Bu?" tanya Chandra. "Nggak ada, keluar. Silakan pulang!" pintanya tegas. "Ibu ini Mamanya Mishall, ya?" Chandra sedikit mengerut, mendapati pelayanan yang kurang sopan itu, berbeda dari tampilan si wanita yang terkesan rapi, elegan. "Bukan urusan kamu, ya! Kalau mau sewa anak saya, ke kelab sana. Dia jual tubuhnya di sana." Wanita itu nyaris menutup pintunya dengan kasar, tapi Chandra lebih sigap menahan. "Ibu biarin saja Mishall begitu?" tanya Chandra. "Memang pentingnya buat kamu apa? Saya capek ceramahin anak itu. Saya stres. Saya muak sama anak itu. Terserah dia mau ngapain, saya nggak peduli. Saya bahkan nggak anggap dia anak lagi. Memalukan." "Tapi Ibu tetap pake uangnya Mishall?" Wanita itu menatap Chandra sengit. "Kamu ini siapa? Terlalu ikut campur urusan saya sama anak saya!" "Saya gurunya Mishall, Bu." Wanita itu tanpa sadar mundur selangkah, dengan aura mata yang tidak setajam sebelumnya. Meredup, kentara. "G-gurunya?" Wanita itu sedikit menunduk. "M-maaf, Pak. Saya kira tadi anu ... ehhem ...." Kentara sekali kegugupan yang ia sembunyikan. "Silakan masuk, Pak." "Tidak. Tidak usah. Mishall kerja di satu kelab aja, ya?" tanya Chandra. Wanita itu mengusap tengkuknya gusar. "Tadi dia berangkat jam berapa?" tanya Chandra. Perlu tahu perbedaan waktu Mishall pergi, dan ia sampai di sini. Agar bisa memprediksi, perempuan itu masih menjajakan, atau sudah melayani. "Jam 5 tadi, Pak." "Loh?" Chandra terkejut. Terlalu dini untuk seseorang yang biasanya bekerja larut malam. Ia mengusap kepalanya kesal. Hanya ada sedikit kemungkinan Mishall masih ada di kelab. Kemungkinan besarnya ialah Mishall sudah ikut seorang pria ke hotel, atau entahlah. Namun, Chandra selalu mencoba peluang, sekecil apa pun itu. Maka, ia sedikit mengangguk pada wanita tua di hadapannya. "Terima kasih, Bu. Saya permisi." Chandra berbalik, mengambil 3 langkah, kemudian berhenti. "Saya bakalan sering mampir ke sini." Chandra menaiki motornya, memasang helm, menurunkan kaca. Bersiap melewati batas aturan kecepatan demi siswinya itu. Sampai di kelab, Chandra bahkan tidak melepas pelindung kepalanya. Langsung menerobos kumpulan manusia dalam cahaya lampu yang memusingkan. Ia mencari-cari, pada setiap wanita yang setinggi dagunya, dengan rambut berwarna milk tea sepunggung. Di mana? Di mana siswinya itu? Dari semua wanita yang sedang bergoyang, wanita yang sedang mabuk-mabukan, atau menjajakan diri, tetap saja tidak ada. Atau perempuan itu benar-benar sudah dibawa pergi oleh seseorang? Chandra menendang angin secara asal. Hendak pergi, tetapi teringat saat ia ke sini. Mishall dan teman-teman wanitanya datang ke ruangan VIP. Memberikan pelayanan di tempat. Chandra segera berbalik, nyaris berlari menuju tempatnya kemarin, membuka pintu, dan seruak asap rokok menusuk hidungnya. Namun, tidak masalah. Karena ia menemukan siswinya sedang di depan kaki seorang pria. Kepala Chandra berdenyut, tetapi ia abaikan. Pun pertanyaan orang-prang mengenai keberadaannya yang dianggap aneh. Chandra langsung menarik lengan Mishall, dan seketika merasa jijik dengan kondisi wajah gadis itu yang berair di mana-mana. Bahkan, Mishall sudah dalam keadaan mabuk parah. Sialan. "Ayo pulang. Tempat kamu bukan di sini!" Chandra menarik paksa Mishall keluar dari ruangan, tapi pria yang sedang dilayani Mishall tadi seketika berdiri menghalangi. "Lu siapa bawa-bawa jalang gue? Lepasin, atau anak buah gue bikin lu babak belur." Dengan wajah arogan yang dibuat-buat, pria berambut gondrong itu tersenyum sarkas. Melirik ke anak buahnya yang masih duduk di sofa, terlihat enggan melepaskan wanita-wanita di pangkuan mereka. "Pertama, saya guru anak ini. Anda tahu usianya berapa? 16 tahun! Saya bisa bawa Anda ke penjara karena sudah berhubungan dengan anak di bawah umur." Chandra mengangkat kaca helmnya, melayangkan tatapan tajam. "Kedua, saya terima tawaran Anda berduel di sini, tapi perlu Anda, dan kalian semua tahu, saya di sini ahli silat, Muay Thai, Ninjutsu, karate, dan Krav Maga. Saya tidak mau melawan manusia lemah, apalagi membunuh seseorang yang bukan level saya." Tidak ada pembicaraan sejenak, sampai Mishall berceletuk. "Pak Chandra keren juga ternyata." Chandra meninju perut pria di depannya yang masih enggan berpindah, menggunakan sisi samping tangannya untuk menghantam leher pria tua itu, lalu saat lawannya sedikit merunduk, ia menggunakan lutut untuk menghantam kepala pelanggan Mishall tersebut. Mishall tepuk tangan, hanya sebentar, karena ia langsung diseret paksa oleh Chandra. "P-Pak, 6 juta saya ...." Mishall berbalik mengulurkan tangan ke arah pintu yang ia lewati, tetapi lemah oleh tarikan Chandra. Chandra membantu Mishall naik, dan memaksa perempuan itu bersandar di punggung, dan memeluk pinggangnya. Mereka menuju ke apartemen Tristan yang kebetulan snag pemilik sedang ada perjalanan ke luar negeri. Chandra langsung membawa Misha ke kamar mandi setibanya mereka di sana. Menggunakan shower untuk menyiram Mishall dengan air dingin. Hingga gadis itu berteriak-teriak dan memaki. "Mandi! Di depan pintu nanti saya taruh pakaian temen saya," kata Chandra sembari meletakkan shower kembali ke tempat setelah menyadari bahwa Mishall sudah sadar sekarang. Ia keluar, mengambil pakaian Tristan yang terkesan baru, karena sang pemilik sangat jarang di Indonesia. Lalu meletakkannya seperti ucapan tadi. Chandra merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan lengan menjadi bantalan. Berulang kali mengatur napasnya agar tetap tenang di tengah landa emosi. "Pak Chandra ngapain sih, ganggu saya terus?" tanya Mishall kesal. Perempuan itu muncul dalam balutan kemeja hitam yang pas, dan boxer. Ia memilih duduk di sofa dan menatap malas pada gurunya yang masih berbaring santai. "Saya masih punya uang 4 juta sama mereka. Gara-gara Bapak, sepeser pun nggak ada, Pak. Ngeselin Pak Chandra ini. Parah. Sumpah." Chandra menyamping ke arah Mishall, menyunggingkan senyum kemenangan. "Apa muka saya terlihat peduli?" Mishall melemparkan ponselnya ke arah Chandra tanpa peduli status lagi. "Istri Bapak namanya siapa? Biar saya datengin, dan bilang video itu editan. Dia pasti percaya sama saya. Habis itu, Pak Chandra nggak boleh gangguin kehidupan aku lagi. Stres tau, Pak!" "Awalnya memang karena video itu." Chandra mengubah posisi menjadi bangun. "Tapi saya iba sama kehidupan kamu. Cuman karena kertas rupiah, kamu jual diri kamu sendiri. Astaga, Mishall. Harga diri perempuan itu ada di sifat malunya. Kamu manain malu kamu?" "Bodo amat. Malu nggak ngasih uang." Mishall mengangkat kedua bahunya tidak acuh. "Omong-omong, Bapak tau?" Ekspresinya berubah serius. "Di sekolah, bukan cuman aku yang kerja kayak gini. Masih ada beberapa perempuan lain." Chandra langsung memasang ekspresi tertarik. "Saya bakalan sebut mereka, kalau Bapak janji, bakalan urusin mereka, buat mereka tobat, insyaf, atau apalah. Tapi jangan urusin saya lagi. Gimana?" tawar Mishall. "Kerjaan saya ini, baru Bapak yang tahu. Jadi aman. Kalau Bapak bantu bikin tobat siswi lain, Bapak pasti bakalan disebut sebagai pahlawan." Chandra mengangguk-angguk serius, tidak pernah menjauhkan pandangannya dari Mishall. "Saya sebut nama, ya, Pak? Tapi abis ini, jangan ganggu saya, ya?" Mishall baru menarik napas panjang, tetapi Chandra langsung menunjukkan telapak tangannya. Mishall bingung. "Tujuan saya itu kamu, bukan mereka." Mishall menyipitkan mata. "Bersikap baik kok setengah-setengah." Ia kemudian melebarkan matanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN