Perasaan Chandra tidak bisa tenang sedetikpun, meski ia sudah duduk di kursi miliknya. Tangan kiri masuk ke dalam saku celana, sementara tangan sebelahnya menggenggam erat pulpen seakan ingin mematahkannya.
Gadis yang ia panggil sudah masuk ke dalam ruangan, duduk di hadapan Chandra dengan ekspresi sangat tenang seolah tidak mengenali Chandra sedikitpun.
Mustahil gadis itu lupa, pikir Chandra. Mereka berinteraksi amat intens semalam. Saling meraba dan memuji tubuh masing-masing. Meski tanpa menyebutkan tanpa, keduanya bisa saling mengenal dengan baik hari ini. Seharusnya.
"Semalam, kamu." Chandra menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering hanya karena mulai pembahasan semalam. Namun, karena ini di sekolah, ia seharusnya bersikap profesional. Chandra menenangkan diri dan menormalkan ekspresinya. "Bisa kamu jelaskan, alasan kamu terlambat hari ini, dan hari-hari sebelumnya?" Chandra mulai fokus pada topik utama pembicaraan hari ini.
Gadis itu tersenyum tipis. "Bapak tau alasannya."
Chandra semakin erat menggenggam bolpoin di tangannya. Ia kehilangan kata-kata. Apalagi dalam ruangan ini, ada beberapa guru lain. Ia juga tidak bisa memprediksi apa yang akan gadis di hadapannya lakukan.
Chandra memajukan tubuhnya, dan menatap intens pada Mishall yang ia anggap sebagai ancaman.
"Saya perlu bicara dengan kamu setelah pulang sekolah!" bisik Chandra sembari menekan setiap kata yang ia keluarkan sebagai bentuk keseriusannya.
"Boleh. Kapanpun Bapak butuh jasa saya lagi."
"Keluar!" pinta Chandra tegas, tetapi tetap menampilkan kesan normal agar tidak ada yang curiga.
Mishall tersenyum tipis, kemudian berdiri. Baru saja berbalik, ia menoleh lagi pada Chandra, mengedipkan sebelah matanya, lalu keluar.
Chandra mengusap keningnya yang mendadak dipenuhi keringat. Ia duduk dengan gelisah di tempatnya, tidak bisa membayangkan jika istrinya tahu tentang kejadian semalam. Ia benar-benar bisa m*ti di tempat.
***
Chandra sedang berdiri di pinggir teras kelas saat matanya tidak sengaja menangkap bayangan Mishall yang berjalan angkuh melewatinya. Ia juga mendengar bisik-bisik siswi lainnya mengenai kekayaan Mishall. Mereka iri dengan Mishall karena terlahir dari keluarga kaya sehingga semua kebutuhannya bisa terpenuhi. Mishall yang cantik juga dengan mudah menggaet para siswa laki-laki, sehingga sudah puluhan mantan Mishall yang masih ingin kembali pada gadis itu.
Dari bisik-bisik tersebut, Chandra jadi mengerti. Mishall bekerja hanya untuk memenuhi gaya hidupnya yang glamor, sementara tidak ada orang yang tahu mengenai pekerjaannya sendiri.
Chandra tanpa diminta berjalan mengikuti ke mana Mishall pergi. Gadis itu duduk di pinggir lapangan menonton pertandingan basket. Bersama dua gadis lain, Mishall tampak bangga memamerkan ponsel bermerk apel gigit miliknya. Alhasil, dua temannya itu langsung mengagung-agungkan Mishall sebagai sultan.
Salah satu dari teman Mishall berbalik, lalu tegang saat menyadari kehadiran Chandra di belakang mereka. Ia memberi sinyal dengan menggoyang lengan Mishall agar menoleh ke belakang. Berbanding terbalik dengan dua siswi yang tampak ketakutan itu, Mishall malah terlihat tenang menanggapi kedatangan Chandra.
"Kamu tidak mau memberitahu mereka tentang pekerjaan kamu, Mishall?" kata Chandra yang sedetik kemudian berhasil mengubah ekspresi wajah gadis itu. Mishall menatap tajam Chandra, sementara pria itu membalas sebaliknya. Chandra akhirnya tau, kejadian semalam masing-masing menjadi kelemahan mereka.
"Kamu kerja? Bukannya orang tua kamu kaya, ya? Kamu nggak perlu kerja lagi," sahut gadis berkepang dua.
"Nggak. Pak Chandra sok tahu," ucap Mishall.
Chandra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Sekarang, setidaknya ia bisa tenang karena yakin Mishall tidak akan membocorkan rahasia mereka.
Dengan santai, Chandra memasukkan kedua tangannya dalam saku. Kemudian berjalan pergi.
***
Sudah 20 menit semenjak bel tanda pulang sekolah berbunyi. Chandra berjalan menyusuri lorong sekolah untuk mencari-cari keberadaan Mishall. B*dohnya karena ia tidak mengatakan tempat pertemuan mereka. Di halaman depan dekat gerbang, gadis itu sama sekali tidak terlihat.
Seharusnya memang Chandra tidak perlu memikirkan masalah ini, tetapi ia merasa harus benar-benar membersihkan kasusnya semalam. Jangan sampai Shila tahu dan benar-benar meninggalkannya.
Sampai di kelas XI C, Chandra terdiam di ambang pintu. Mishall dengan kedua kaki terangkat ke atas meja dan tangan memegang ponsel barunya, menyambut kedatangan Chandra dengan senyum miring.
"Lama banget, Pak," kata Mishall. "Mau nyobain di sekolah?"
Kedua tangan Chandra mengepal di sisi tubuhnya.
"Nggak. Saya nggak tertarik sama anak kecil."
Mishall mendengkus mengejek. "Nggak tertarik." Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja, dan menurunkan kedua kakinya.
"Saya ke sini cuman mau pastikan, kamu tidak buka mulut tentang kejadian semalam. Bahkan, kalau perlu, kamu lupain yang semalam. Saya juga akan menyembunyikan status pekerjaan kamu ke orang lain," jelas Chandra.
"Istri membosankan, atau istri galak, Pak?" Mishall melipat tangan kirinya di depan d**a, sengaja menopang kedua bulatannya agar tampak menonjol. Sementara kemarin tangan kanannya memelintir helaian rambutnya yang terurai.
Chandra juga baru menyadari, bahwa gadis itu sudah melepaskan dua kancing atas bajunya. Chandra membuang pandangan, merasa jijik dengan gadis itu. Padahal masih muda, tetapi karena tuntutan gaya hidup, ia rela menjual dirinya sendiri.
"Kamu tidak perlu tahu. Yang kamu perlu tahu, jangan sampai kejadian semalam terbongkar!" ucap Chandra tegas.
"Saya juga nggak bakalan peduli sama pelanggan saya, Pak. Tugas saya cuman layanain nafsunya Bapak. Kalau udah selesai, ya tinggal bayar saya, udah kelar tugas saya." Mishall mengangkat kedua bahunya santai.
"Saya pegang ucapan kamu!" ucap Chandra tegas. Kemudian berbalik hendak pergi.
Ia berjalan menuju parkiran, mengeluarkan motornya, dan bergerak pergi meninggalkan sekolah.
Chandra sampai di rumahnya. Tadi pagi sebelum berangkat kerja, Chandra belum pernah bertemu istrinya, Shila. Ia berharap istrinya sudah tidak naik pitam lagi.
Lalu, di ruang tengah, Shila tiba-tiba datang dengan senyumnya. Chandra bersyukur karena istrinya sudah lebih baik hari ini. Ia tidak bisa jika harus berpisah dengan istri tercintanya ini.
"Aku belum masak, Mas. Mas mau nonton dulu sambil aku masakin?" tanya Shila. Ia menuntun Chandra menuju sofa. Lalu, dengan ringan hati menyalakan televisi untuk suaminya.
"Makasih, Say-" ucapan Chandra terpotong saat ia melihat tayangan televisi. Ia meneguk ludahnya secara kasar. Itu video dirinya terbaring di kursi mobil dalam keadaan tanpa pakaian dengan mata setengah terbuka. Lalu, sebuah tangan dengan cat kuku merah menyala meraba hidung mancungnya, turun ke leher. Sepasang bibir merah terlihat di kamera, menciumi bagian menonjol di leher Chandra, lalu turun ke d**a, memberikan usapan s*nsual. Semakin turun ke perut ratanya, lalu ke bagian terlarangnya.
Chandra tegang di tempat. Lalu, dengan gerakan lambat, ia menoleh ke belakang. Tidak bisa berpikir, Chandra digerakkan oleh tubuhnya secara refleks untuk menghindar dari piring yang dilempar Shila.
"M*ti kamu, B*engsek!" pekik Shila dengan sangat nyaring hingga seluruh urat lehernya menonjol. Ia mencari-cari barang yang bisa dilempar.
"S-Shila, plis, aku bisa jelasin!" Chandra kalap.
"Jelasin apa, hah? Videonya sudah jelas!" Shila melempar remot ke arah Chandra, tetapi berhasil pria itu hindari. Setelah sekian lama menikah, Chandra akhirnya mahir bermain lempar-menghindar dengan istrinya.
"Kamu selingkuh, Chandra!" Shila perlahan melorot di lantai dengan kedua kaki tertekuk. Ia sesegukan. Seluruh tubuhnya memerah karena amarah.
"Sayang, itu salah paham."
"PERGI! PERGI! KALAU KAMU MUNCUL LAGI, AKU AKAN B*UNUH KAMU!" teriak Shila, selesai.
Chandra tidak bisa melakukan apa pun selain menyugar rambutnya frustrasi, lalu keluar rumah. Sedetik setelah membanting pintu, matanya dipenuhi amarah yang kentara. Tangannya mengepal kuat hingga urat-urat di punggung tangannya terlihat menyembul. Ia segera menaiki motornya, bergerak dengan kecepatan 100 km/jam, menemui gadis pembawa s*alnya.
***