Penulis tersebut melanggar peraturan platform dengan sangat serius, tidak menghormati pembaca platform. Tolong jangan membuka kunci buku dari penulis tersebut. Kami sedang menanganinya, terima kasih atas kerjasamanya.
Kim bangun di pagi hari dan melakukan ritual-ritual yang biasa, menggosok gigi, berpakaian untuk ke perkebunan, membuat sarapan yang biasanya sudah tersedia di meja makan, karena ibunya selalu bangun pagi jauh daripada kebiasaan kebanyakan orang lain. Ibu Kim membuat sarapan untuk semua orang, lalu tersenyum dan mengatakan betapa indahnya hidup ini.
Semua yang dirasakan Ibu Kim seakan berbanding terbalik dengan Kim. Ia merasakan dalam setiap menit dan detik, sepertinya beban hidup kini menjadi tidak mudah kenali. Nyaris seperti binatang yang tidak benar-benar mengerti bagaimana dirinya dapat masuk dalam jerat kerumitan.
Sejak Ayah Kim meninggal beberapa tahun silam akibat serangan jantung, dunia menempatkan Kim dalam beban tak terelakkan. Tanggung jawab yang seakan menimpanya, tepat di atas kepala dan membenamkan dirinya dalam kerumitan.
Semua tanggung jawab perkebunan, pegawai, hewan ternak hingga penginapan yang dibuat Ibu Kim sebagai investasi masa tua, kini berada di bawah tanggung jawab Kim. Wanita itu merasa tua sebelum waktunya, bahkan dengan semua pikiran yang terasa menghimpit meski perkebunan milik mendiang ayahnya membentang luas.
Makanan yang Kim isi ke dalam perutnya terasa hambar. Senyumnya, sungguh berkebalikkan dengan ibunya. Semakin lebar Kim tersenyum, di situlah ia merasa cukup membuatnya terhindar dari segala kecurigaan semua orang akan perasaan yang bergemuruh dalam benakku.
Kim menelan keinginannya untuk mengeluh, meski cahaya di luar tampak kelabu, sebab ia merasa tak layak mengalami ini semua. Kim selalu mencoba memenuhi ekspektasi semua orang, tetapi pada kenyataannya itulah yang terjadi dan ia tidak dapat melakukan apa pun sebelum minum obat paracetamol. Ia butuh meringankan denyut di kepalanya usai pesta panen jagung yang mengalami kegagalan karena cuaca yang tidak baik.
“Kau baik-baik saja, Kim?” Pertanyaan yang membuat Kim tersadar dari lamunan, ia mengangkat wajahnya untuk menatap Rebecca, ibunya yang duduk berseberangan dengannya.
Kim mendapati tatapan Rebecca yang tampak menyelidik dan segera meraih mug yang berisi kopi panas.
“Aku baik-baik saja, Ibu. Mungkin hanya kelelahan,” ucap Kim sebelum ia menarik kedua sudut bibirnya membentuk seulas senyuman.
“Kau terlalu sibuk memikirkan segalanya, Nak.”
“Ya, Ibu benar. Aku bahkan lupa dengan janjiku bertemu pemilik butik untuk gaun pengantin.”
“Ya Tuhan, Nak. Apa yang bisa Ibu bantu untukmu?” tanya Rebecca sambil memajukan tubuhnya sedikit ke depan, menempel pada tepian meja makan.
Kim tersenyum hangat, meraih telapak tangan Rebecca dan mengelus dengan gerakan yang lembut.
“Aku bisa menyelesaikannya sendiri, Ibu. Percayalah,” timpal Kim yang beranjak dari meja makan usai menghabiskan kopinya, dan mengabaikan makanan pada piringnya.
Kim berjalan menuju ke meja kayu di sisi kiri ruang makan dan meraih sebuah keranjang berisikan surat-surat yang datang ke rumahnya. Ia mengamati satu per satu nama pengirim dan mata indahnya membulat sempurna, saat mendapati kop surat yang tertera pada amplop cokelat di tangannya.
“Pengadilan Negeri Federal Amerika Serikat untuk Daerah Timur New York?” desis Kim bertanya sebelum ia meletakkan kembali semua surat yang ada di tangannya yang lain. Dengan hati-hati Kim membuka amplop tersebut, meluruskan lembar lipatan kertas. Membaca dari baris paling atas dan napasnya tercekat, kelopak matanya terasa lebih lebar dari sebelumnya.
“Su-surat perceraian?” Dunia seakan berputar cepat dan membuat Kim terguncang hebat. “Tidak, ini tidak mungkin,” gumam Kim, yang saat itu juga butuh menarik napas dalam-dalam.
Kim beranjak dari kursi yang diduduki dan berjalan keluar rumah, menuruni undakan sebelum ia berjalan dengan setengah berlari untuk menghampiri Rebecca yang kini berada di ruang kaca perkebunan.
“Ibu kira kau sudah pergi bersama Trevor, Kim.” Rebecca mengatakannya saat pandangan matanya mendapati Kim yang tiba-tiba muncul. Putrinya itu menjulang di sudut meja, sebelum ia menarik sebuah kursi untuk duduk bersisian dengannya.
“Ibu, aku mendapatkan surat ini,” ucap Kim menyerahkan surat di tangannya, membuat Rebecca menatap dengan bingung, “Ibu tahu, ini surat panggilan perceraian dari negara bagian New York,” tambahnya lagi, sukses membuat Rebecca mematung bagai tersambar petir.
Kim menelan salivanya dengan susah payah, memajukan tubuhnya untuk mendekat. Ia bahkan menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan memastikan tidak ada orang lain yang mendengar.
“Perceraian dirimu dengan siapa?” desis Rebecca.
“Dave. Pengacaranya mengajukan surat perceraian padaku, Ibu.” Ada jeda sebentar untuk Kim menarik napas lebih dalam lagi. “Bagaimana mungkin aku bercerai dengannya, jika pernikahan itu sudah dibatalkan sejak awal, Ibu?” tanya Kim tak percaya.
Banyak pertanyaan yang berputar-putar di dalam kepala Kim dan juga bayangan kejadian saat mendiang ayahnya menariknya keluar dari rumah mungil Dave pagi itu seakan berputar ulang.
“Ini tidak masuk akal, Ibu. Aku dan Dave ...” Kalimat Kim menggantung, ia menatap Rebecca dengan wajah kaku dan masam.
***
Gaun pengantin putih sederhana dengan potongan yang hanya sampai selutut, tudung pengantin, buket bunga dan sepasang cincin yang telah siap melengkapi hari bahagia Kim dan Dave malam itu.
Suara musik yang membawa semua tamu berjoget dan berdendang dengan bahagia. Pesta tahunan untuk penyambutan hasil panen yang berlimpah. Dave tampak tampan dengan balutan kemeja putih yang digulung pada bagian lengannya hingga ke siku, dipadupadankan dengan celana bahan berwarna khaki. Dave tampak sangat tampan.
Kim takkan berani mendekat, begitu juga sebaliknya dengan Dave, jika mendiang ayah Kim masih terus berada di dekatnya. Wanita itu hanya dapat mencuri pandang ke arah Dave yang duduk di antara teman-temannya yang lain. Kim merasa jantungnya berdetak kencang, bahkan seakan berlari. Malam ini akan menjadi malam yang akan mengubah segalanya.
Beberapa pesan telah masuk ke dalam ponsel Kim, mengingatkan jika waktunya semakin dekat dan ia harus segera meninggalkan tempat acara bagaimanapun caranya, dengan tujuan pergi bersama Dave ke pinggiran kota Texas. Kim akan keluar dari pintu yang berbeda dari lelaki itu.
Kim bergerak gelisah, kian sering mengubah posisi duduk, guna melirik ayah dan ibunya dengan bergantian. Sudut mata Kim mendapati Dave yang berjalan menyelinap di antara para tamu lainnya, sebelum ia menghilang.
“Ayah, Ibu, aku harus ke toilet,” kata Kim mencari alasan yang dibalas dengan anggukan.
Kim merasa beruntung dengan kehadiran Trevor yang tiba-tiba saja datang dan membawa mendiang ayahnya dalam perbincangan panjang tentang perkebunan. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk beranjak dari duduk, menyelinap di antara kerumunan orang-orang yang tengah bersiap untuk berdansa.
Langkah Kim tidak menuju ke toilet, tetapi ia berbelok ke arah yang berbeda, mengitari tempat pesta dan sebuah mobil berkap terbuka berhenti tak jauh dari pintu tempatnya berada.
Sosok Dave yang tersenyum lebar tampak di balik kemudi. Kim berjalan dengan langkah lebar, menghapus jarak di antara mereka. Masuk ke dalam mobil dengan hentakan pada pintu besinya sebelum roda berputar di atas jalanan beraspal tipis di tepian perkebunan.
“Kau terlihat cantik, Baby Girl.”
“Jangan merayu, nanti aku bisa pingsan,” timpal Kim dan Dave terkekeh setelahnya.