Kira menanggalkan semua pakaiannya. Dia lalu membuka sabuk yang melilit di paha tempat dia menyimpan senjatanya. Dia juga membuka plester yang menempel lalu mengambil peralatan yang sengaja dia bawa dengan cara ditempelkan ke badannya dengan plester, karena tidak mungkin dia membawa tas.
Setelah yakin barangnya aman tidak akan basah, Kira membasahi badannya melakukan ritual mandi. Beberapa menit kemudian Kira selesai, dia lalu mengeringkan badannya dengan handuk hingga benar-benar kering. Dia mulai membuka kotak peralatan dan memasangnya.
Ada softlens khusus yang berfungsi layaknya kamera. Axton dapat melihat apa saja yang dilihat oleh Kira. Tidak lupa Kira menempelkan sesuatu yang seperti tahi lalat ke belakang telinganya. Alat itu seperti earphone untuk komunikasi mereka. Kira juga kembali memasang senjatanya.
Itulah alat-alat Kira yang kecil tapi sangat diperlukan oleh Kira. Dia memakai handuknya lalu keluar dari kamar. Tidak ada satu orang pun di dalam kamar, Kira mengangguk baju di atas kasur lalu masuk kembali ke kamar mandi. Dia tak ingin mengambil resiko jika kamar ini terpasang CCTV.
Kira keluar dari kamar mandi memakai pakaian Mbak Ani, dia memandang ke arah cermin, lumayan dibandingkan dengan yang tadi. Kini Kira tinggal keluar dan berakting seolah dia lupa ingatan dan berwajah sedih.
Kira membuka pintu kamar Ani lalu keluar. Dia harus berlagak senatural mungkin, kini dia bersikap seperti orang bingung tak tahu mau pergi ke mana. Untunglah Ani segera datang, dia tak perlu bersusah-susah seperti orang kesasar.
“Ya ampun, Nyonya Kira sudah cantik. Ayo, Nyonya kita makan. Aku sudah masak untuk Nyonya.”
Ani menarik tangan Kira. Hati Kira terenyuh melihat Ani yang begitu tulus membantunya. Padahal bisa saja wanita itu tidak peduli karena Ani juga tidak akan mendapatkan untung dari semunya.
“Nyonya, maaf, makannya di sini saja ya. Saya takut dimarahi pacarnya Tuan kalau makan di meja makan. Dia galak, lagaknya sudah seperti Nyonya rumah saja!”
“Terima kasih.”
Ani tersenyum senang mendengar dua kata yang baru saja keluar dari mulut Kira. “Iya, Nyonya. Makan yang kenyang.”
Baru saja sendok itu masuk ke dalam mulutnya, terdengar suara tangisan bayi. Kira langsung terpaku, itu adalah suara anaknya. Dia rasanya ingin bangkit dan berlari menuju buah hatinya.
“Maaf, Nyonya saya tinggal dulu. Tuan kecil menangis, saya takut nanti tuan dan pacarnya marah-marah dengar suara tangisan bayi.”
Ani segera berlari menuju kamar tuan kecilnya. Kira menaruh sendok kembali ke atas piring. Dia mencengkeram sendok itu dengan kencang. Apakah anaknya selama ini selalu mendapat perlakuan kasar dari mereka? Lihat saja, pembalasan yang akan dia berikan!
Payudara Kira terasa nyeri. Dia tidak membawa pompa, rasanya ingin dia berikan ASI ini pada anaknya. Baju Kira mulai basah, ASI-nya sedikit keluar. Dia mendengar suara langkah kaki, Kira mulai waspada.
“Mbak Ani!” Suara itu adalah suara Dio.
“Kira ingat, atur emosimu, kau sedang amnesia.” Itu adalah suara Axton yang mengingatkannya.
“Mbak Ani, dengar saya?” Dio mulai kesal karena Ani tidak menoleh padanya.
Kira yang sudah berusaha menormalkan mimik wajahnya, menoleh pada Dio. Lelaki tampak terkesiap, dia sedikit mundur dari posisinya.
“Kira!” Sungguh Dio tak menyangka bisa melihat Kira di rumahnya. Dia pikir itu adalah Ani, karena Kira memakai baju Ani. Harusnya dia sadar, rambut mereka saja berbeda.
“Maaf, saya diajak Mbak Ani ke sini, kami bertemu di pasar.” Kira memasang wajah memelas dan tak enak hati pada Dio. Dia lalu menunduk.
“Oh, begitu. Tidak apa-apa, saya hanya terkejut. Saya pikir tadi Anda Ani. Di mana Ani, saya ingin bicara padanya?”
“Mbak Ani tadi katanya mau ke Tuan kecil. Tadi Tuan kecil menangis.” Kira terlihat biasa saja saat berkata seperti itu padahal dalam hatinya dia menggeram marah.
Dio melihat Kira biasa saja, jadi dia berpikir Kita masih tidak ingat apa pun. “Baiklah, saya akan menemui Ani sekarang. Silakan dilanjut makannya.”
Dio meninggalkan Kira seraya berpikir, membiarkan wanita itu tinggal atau mengusirnya. Ani juga bisa-bisanya wanita itu membawa Kira masuk tanpa izinnya. Untung saja ingatan Kira masih belum pulih.
Sementara Ani, menatap tajam punggung Dio yang semakin menjauh. “Kau terlalu sibuk bekerja atau memang buta, bisa jatuh cinta pada lelaki seperti itu?” Pertanyaan dari Axton membuatnya kesal.
“Lebih baik kau diam, jangan membuatku emosi!” bisik Ani tanpa menggerakkan bibirnya. Dia takut ada CCTV di ruangan ini.
Dio membuka pintu kamar Saka, buah hatinya bersama Kira. Ani terlihat baru saja selesai mengganti popok. Dia lalu menggendongnya.
“Ani, kau tahu bukan? Aku tidak suka sesuatu terjadi tanpa seizinku di rumah ini.”
“Iya, Tuan,” jawab Ani gugup.
“Lalu kenapa kau membawa Nyonya Kira tanpa meminta izin padaku?”
“Maaf Tuan, saya hanya berpikir akan memberi tempat untuk Nyonya mandi dan mengganti pakaiannya yang kucel. Setelah makan dia akan segera pergi.”
“Di mana kau ketemu dia? Apa kalian sudah janjian?”
Merasa percakapan ini akan lama, Ani menaruh Saka, di tempat tidur bayi dengan dot botol s**u yang masih berada di mulutnya. Ani menatap wajah Saka. “Kami bertemu di depan pasar. Kami sama sekali tidak janjian,” jawab Ani.
“Bagaimana penampilannya ketika bertemu? Apakah kau tahu di mana Kira tinggal setelah dia kabur dari rumah sakit?” Dio berusaha untuk menggali informasi dari Ani.
“Nyonya Kira penampilannya sangat memprihatinkan. Bajunya Sudan lusuh dan kucel, rambutnya juga terlihat gimbal. Saya tidak tahu, di mana Nyonya tinggal, kami belum banyak bicara.”
“Hm oke. Lain kali kau harus izin padaku. Aku akan bicara dengan Sheila, kau jangan berkata apa pun pada Kira, tentang masa lalunya!”
Ani mengangguk, Dio pergi meninggalkan Ani. Dia pergi menuju kamarnya bersama Sheila. Ani dapat bernapas dengan lega setelah Dio pergi.
***
Saka kembali menangis begitu air s**u di botol habis. Suaranya sampai terdengar ke bawah. Kira merasa tak tega mendengar suara tangisan bayi yang menyayat hati. Katakan dia lebay tapi ibu mana yang akan membiarkan bayinya menangis seperti itu?
Dio dan Sheila juga mendengar tangisan tersebut. “Anakmu, Mas, sangat cengeng!” Sheila kesal dengan suara berisik Saka.
Wanita itu lalu keluar dari kamar dan menuju ke kamar Saka. Disusul oleh Dio, lelaki takut jika Sheila akan melukai Saka. Sheila langsung membuka pintu kamar Saka.
“Mbak Ani. Tolong diamkan dia. Aku pusing mendengar suaranya itu!”
“Iya, Nyonya.” Ani berusaha keras mendimkan Saka.
“Maaf, boleh saya membantu mendiamkan anak Anda?” tanya Kira dengan wajah polos. Berbeda dengan Sheila juga Dio yang sudah memasang wajah tegang.