Sudah dua hari Kira berada di rumah sakit. Wanita itu masih belum sadarkan diri setelah kemarin dioperasi. Kira datang ke rumah sakit dalam keadaan mengenaskan. Darah keluar dari kepalanya dan juga darah membasahi pakaian bagian bawah.
Kira harus segera dioperasi untuk mengeluarkan bayi dalam kandungannya. Wanita itu juga mendapat jahitan di belakang kepalanya. Ani, pelayan Kira setia menunggui Kira di rumah sakit.
Ani melihat semuanya. Di mana Dio mendorong Kira dari tangga, hingga Kira terguling ke bawah. Dia tak menyangka jika tuannya bisa sekejam itu pada istri yang mengandung bayinya.
Bahkan, lelaki itu tidak pernah mengunjungi Kira, hanya saat pertama Kira dibawa ke rumah sakit. Tuannya itu juga tidak mau melihat bayi yang baru saja dilahirkan. Ani mendapat ancaman dari Dio agar tidak menceritakan pada siapa pun mengenai kejadian yang sebenarnya.
Dio dan Sheila kini sedang berada di rumah Kira. “Mas, bagaimana keadaan Kira? Apa dia akan sadar?” tanya Sheila, wanita yang menjadi selingkuhan sekaligus sahabatnya.
“Aku tak tahu.” Dio memijit dahinya.
“Ya, kamu ke sana, Mas! Lihat bagaimana keadaannya, jangan sampai nanti pas Kira sadar lalu si Ani ngobrol macam-macam.”
“Tidak mungkin Ani berani. Aku sudah mengancamnya.”
“Kamu ke sana, Mas! Jangan sampai mereka curiga. Apalagi kamu tidak pernah melihat bayimu.”
“Oke, kita pergi ke sana.”
“Loh, kok kita? Kamu aja!”
“Iya, aku akan pergi ke sana!” Dio akhirnya pergi ke rumah sakit.
Begitu sampai di sana, dia tidak langsung ke kamar Kira, tetapi lebih dulu ke ruang perawatan bayi. Di sana terlihat bayinya yang berada di dalam inkubator. Wajahnya lebih dominan mirip Kira, anak lelaki yang tampan. Dio memberinya nama Saka Ardinata. “Maaf, Papa baru bisa menjengukmu.”
Setelah puas dengan bayinya, Dio pergi ke kamar rawat Kira. Mbak Ani yang melihat kedatangan Dio segera menyingkir dari samping brankar dan pindah ke sofa. Ani tak berani menatap mata Dio.
Sementara, lelaki itu hanya menatap istrinya yang masih menutup mata. Kira memang cantik, tetapi wanita itu terlalu dominan. Dio tidak suka diatur, dia adalah kepala keluarga, posisi Kira berada di bawahnya, bukan di atasnya, egonya terluka ketika Kira lebih segala-galanya dari dia. Kira tidak pernah bermanja dan terlalu mandiri.
Dia senang ketika wanitanya bergantung pada dia dan bermanja padanya, sebagai lelaki dia merasa dibutuhkan, dihargai. Semua itu dia dapatkan dari sosok Sheila. Dia ingin bercerai dengan Kira, tetapi sebelumnya dia ingin harta istrinya itu. Dio dan Sheila merencanakan untuk menguasai harta Kira.
Namun, Kira menangkap basah perselingkuhan mereka, sebelum semua rencana sukses. “Air.” Suara lemah itu terdengar oleh Dio membuyarkan lamunannya.
“Kira!” Dio segera mengambil air minum untuk istrinya yang segera akan menjadi mantan.
Untunglah dia mengikuti saran Sheila agar menjenguk Kira, dia berada di sini ketika Kira sadar, sehingga tidak ada celah untuk Mbak Ani cerita. Dio meletakkan kembali gelas itu di atas meja, Kira hanya minum beberapa tegukan saja.
“Kamu siapa?” tanya Kira dengan suara yang masih pelan.
Namun, suara lemah itu memberi efek besar pada Dio. Mata Dio memicing. Apakah Kira amnesia? Jika begitu berarti pertanda baik. Dio memencet tombol darurat memanggil dokter.
“Kira, apa kamu tidak kenal saya?” tanya Dio.
Kira terlihat berpikir, mencoba mencari sosok Dio dalam memorinya. Kira menggeleng ketika tak ingat sama sekali dengan sosok di hadapannya ini. Dio lalu menunjuk mbak Ani. “Kalau dia ingat?” tanyanya lagi pada istrinya.
Kira kembali menggeleng. Dokter pun datang untuk memeriksa keadaan Kira. Dari hasil pemeriksaan dokter mengatakan kalau Kira mengalami amnesia. Dia tidak ingat sama sekali mengenai masa lalunya bahkan, namanya sendiri. Entah berapa lama ingatannya akan kembali?
Dio merancang sesuatu dalam otaknya sambil mendengarkan dokter bicara. Setelah kepergian dokter, lelaki itu mendekati Kira. “Kira, saya turut berdukacita.”
Kira tentu bingung, berdukacita untuk apa? Melihat Kira yang tidak merespons, Dio melanjutkan perkataannya. “Kau pasti tidak ingat jika kau baru saja melahirkan, tetapi maaf bayimu telah meninggal. Dia lahir prematur dan tidak dapat bertahan. Kau pasti berat hidup tanpa suami sehingga kau kelelahan dan jatuh dari tangga.”
“Aku, melahirkan?” Kira semakin bingung. Ingin dia menggali memori tentang masa lalunya, tetapi berujung sakit kepala yang hebat.
“Jangan dipaksakan untuk mengingat!” ucap Dio.
Mbak Ani yang berada di sofa, ingin sekali menghampiri Kira dan mengatakan semua kebohongan Dio. Tega-teganya tuan Dio mengatakan anaknya telah meninggal. Tega-teganya lelaki itu membohongi istrinya.
Dio merasa langit telah membantunya, dokter tidak mengatakan apa pun mengenai suami atau anaknya. “Kau beruntung istriku menemukanmu terjatuh, tetapi semua terlambat untuk anakmu, dia tidak terselamatkan. Maaf, aku turut berduka.”
Kira mendengarkan dengan saksama, dia tak merasakan apa pun di hatinya, tak ada sedih, atau kecewa. Mungkin karena dia merasa tak ingat mereka, tak kenal dengan mereka.
“Uang perawatanmu, biar saya yang tanggung. Untuk sementara jika kau sudah sembuh kau boleh tinggal di rumahku.”
“Kamu, siapa?” tanya Kira.
“Aku, Dio ... sahabat suamimu!”
“Suami?” Kira benar-benar bingung. Dia tak ingat apa pun.
“Lantas suamiku di mana?” tanya Kira.
“Suamimu sudah meninggal, karena kecelakaan, beberapa bulan yang lalu.”
“Astagfirullah.” Apakah Tuannya tidak takut jika suatu hari dia meninggal karena kecelakaan? Bagaimana jika malaikat mencatatnya lalu berdoa semoga yang dia ucapkan terkabulkan.
“Kualat baru tahu rasa!” Ani menyumpah dalam hati.
“Berarti aku sendirian, suami dan anakku telah meninggal?”
“Iya, sabarlah. Masih ada kami sahabat suamimu. Kami akan menjagamu.” Dio begitu ringan bicara kebohongan tanpa beban. Sepertinya dia sudah terbiasa berbohong. Tidak ada rasa bersalah sama sekali.
“Namaku, Kira?” tanya Kira memastikan.
“Iya,” jawab Dio.
“Orang tuaku, siapa?”
“Aku tidak tahu, yang aku tahu mereka tinggal di luar negeri,” jawab Dio.
“Kira, maaf. Aku harus segera pulang. Istriku sudah menunggu di rumah. Dia sedang tidak enak badan. Semoga kau cepat sembuh. Di sini ada Mbak Ani, asisten rumah tanggaku yang akan menjagamu. Ani tolong, jaga dia. Jangan paksa dia mengingat apa pun, bisa berakibat fatal! Mengerti!” Sorot matanya tajam menatap Ani.
“Iya, Tuan!” Ani mengerti dengan ancaman Dio.
“Terima kasih.”
Dio pun pergi keluar kamar rawat Kira. Dia ke ruangan baby dan menemui perawat di sana. Dia meminta pada perawat agar tidak menampakkan bayinya pada Kira, juga jangan pernah membahas masalah bayi pada istrinya dengan alasan, istrinya amnesia dan tak baik memaksakan ingatannya.
Perawat tersebut hanya mengangguk saja. Dia akan bertanya kembali pada dokter, biar dokter yang memutuskan. Namun, permintaan Dio sebagai wali dari bayinya tidak bisa ditolak atau disanggupi begitu saja. Harus dikonsultasikan dulu dengan dokternya.
Selepas dia ke ruangan bayi. Dio langsung pulang. Tinggal Kira yang kebingungan. Hidup tanpa memori sangat tersiksa, seolah dia bayi baru lahir, tak ada satu pun memori yang dia ingat. Dunia terasa sepi, terasing di keramaian, hampa tanpa kehangatan.
Mbak Ani menatap sendu ke arah majikannya. Dia bingung untuk mengatakan kejujurannya. Ani takut jika mengungkapkan kebohongan Dio, Kira akan shock dan berusaha menggali memorinya. Itu bisa berakibat fatal bagi kesehatan Kira.
Tuannya memang licik. Memanfaatkan kesempatan di saat istrinya sedang sakit dan tak berdaya. “Nyonya, ingin sesuatu?” Ani mencoba berkomunikasi dengan Kira.
Wanita itu menoleh pada Ani. “Mbak, kenal saya? Maksud saya kenal saya secara dekat.”
Ani bingung menjawabnya. “Maaf, Nyonya. Saya hanya pernah melihat Nyonya di kediaman Tuan Dio.”
“Oh, begitu, jadi saya sering main ke rumahnya.”
“Iya, dengan suami,” Tambah Ani menjelaskan.
Suasana kembali hening. Kira terus melamun, meratapi hidup. Ani kembali duduk di sofa.
Waktu terus berjalan, detik berganti menit lalu berganti jam. Matahari tenggelam kini bulan tersenyum menyambut kegelapan, memberikan sedikit cahaya pada dunia. Kira tak dapat memejamkan mata.
Di tengah rasa bingungnya. Dia mencabut jarum infus di tangannya, kemudian turun dari brankar melangkah keluar kamar, guna mencari jati diri yang hilang.
Langkahnya tertatih merasakan sakit pada perut bawahnya. Keseimbangan tubuhnya belum stabil, kepalanya masih terluka. Kira berhasil keluar, dia terus berjalan masih menggunakan pakaian rumah sakit.
Kira menyusuri trotoar jalan. Namun, karena kurang keseimbangan, Kira terjatuh ke arah jalan. Pada saat yang bersamaan sebuah mobil melintas semakin dekat dengan posisi Kira.
Mobil itu mengerem dengan cepat hingga terdengar suara decit ban yang keras tepat ketika Kira jatuh di jalan. Beruntung mobil itu mengerem tepat waktu sebelum menabrak Kira. Sopir mobil segera keluar, menghampiri wanita yang tergeletak di jalan.