BAB 03

1041 Kata
MEMANG sudah sepatutnya bagi Olivia setiap hari pergi sekolah menggunakan mobil, sepanjang perjalanan menuju SMA Berlian Satu, ia tidak henti-hentinya bersenandung ceria. Karena terlarut dalam suasana hatinya yang terlampau bahagia, ia sampai tidak sadar bahwa sekarang mobilnya sudah memasuki parkiran sekolah. Olivia segera menyambar tas, kemudian tangannya beralih mengambil earphone di dasbor. Tapi, satu hal lagi yang belum Olivia temukan, topinya tidak ada. Ia pun mendesah, pasti benda itu tertinggal di nakas kamar. Sebelum ia benar-benar membuka pintu mobil untuk keluar, ia dikejutkan dengan suara benturan dari arah belakang, dan yang pastinya benturan itu mengenai mobil kinclongnya ini, dapat dibuktikan dengan Olivia yang turut tergoncang tepat saat benturan itu tejadi. Ada satu hal yang dapat di prediksi kebenarannya, ini terjadi pasti ada ke kendaraan lain yang menabrak mobilnya dari belakang. Lengkap dengan bola matanya yang nyalang dan wajahnya yang sudah semerah tomat. Olivia keluar sambil membanting pintu. Kakinya kembali dengan cepat ke arah belakang. Tuh kan, tebakan Olivia tidak mungkin meleset, sebuah motor matic sudah membuat body mobilnya lecet. Dengan sarkas, Olivia memukul berulang kali tepat di helm cowok yang membawa motornya tidak benar itu. "WOY, BUKA HELM LO!" Olivia berteriak kencang, masih memukul helm cowok yang sudah melukai mobilnya. Tangan Olivia mengepal penuh, rahangnya menguat, dadanya terlihat naik turun. Ia sungguh emosi. Cowok itu masih belum berani membuka helm full face-nya. Pandangan Olivia beralih menatap sekitar, sadar sudah menjadi bahan tontonan di sini. Hanya dilempari tatapan super tajam, semua siswa dan siswi yang masih menonton kemarahan Olivia langsung cabut dan berhamburan menjauh, mereka sadar kalau tatapan itu menghunus, pasti tidak lama lagi sebuah makian kencang akan mereka dapatkan. Oleh sebab itu, sebelum Olivia menyemburkan kata-kata pedasnya, mereka semua sudah peka dan segera menghindar. Kembali Olivia mematri tatapan pada cowok yang masih belum menuruti titahnya untuk membuka helm. Olivia lantas menggeram karena cowok itu masih bergeming di tempat. Melihat ranting kayu yang teronggok tidak jauh dari tempatnya berdiri, dengan segera Olivia menyambarnya. Senyuman sinisnya tercetak, ia kemudian langsung memukul punggung cowok itu dengan ranting kayu. Olivia tidak peduli jika si cowok meraung minta ia memberhentikan aksinya. "Lo buka helm lo dulu, nanti gue berhenti mukul lo!" "Iya iya. Mana bisa gue buka helm kalo lo masih mukul gue?!" Walaupun suara cowok itu begitu samar karena masih terhalang helm, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Olivia dapat mendengarnya. Ia menurut, menjauh dengan cara mundur satu langkah dari sana. Ranting kayu yang masih melekat di tangannya ia lempar dengan asal. Begitu setelah helm terlepas dari kepala cowok itu, Olivia mengerjapkan matanya, barangkali penglihatannya mengalami gangguan. Tapi nyatanya tidak, ia bahkan sudah mengucek matanya. "Elo!" Olivia berteriak kencang, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke arah wajah cowok itu. "Iya ini gue." "Kenapa elo lagi sih! Lo masih belum puas gangguin hidup gue, ya?!" Olivia menggeram, saking kesalnya ia mengentakkan kakinya ke tanah. "Siapa yang gangguin hidup lo? Urusan hidup gue juga belum kelar, kurang kerjaan banget gue." Sambil melipat kedua tangannya di depan d**a, Dion mencibir kecil. "Nggak mau tahu, lo harus tanggung jawab sama mobil gue." Olivia berkata ketus seraya menunjuk bagian mobilnya yang lecet akibat motor Dion. Dion meringis sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, "Lo juga harus tanggung jawab sama punggung gue, gara-gara lo pukul, gue ngerasa sakit semua nih badan gue." Dion juga bingung kenapa cewek di hadapannya ini bisa memukulnya begitu kuat, padahal tubuh Dion sekarang masih terbalut oleh jaket yang cukup tebal. "Tanggung jawab apanya sih? Orang gue cuma mukul, nggak udah kebanyakan bacot deh, situ banci atau apa, cowok itu nggak lari dari tanggung jawab!" Olivia menjawab cepat, memukul telak perasaan Dion. Jelas, sebagai seorang cowok ia tidak terima dilempar kata-kata seperti itu. Dion meringis, ia merasa memang ada luka di bagian punggung dan pundaknya. Sebelumnya ia tidak merasa sakit, rasa tidak mengenakkan ini datang setelah Olivia memukul tubuhnya menggunakan ranting kayu s****n itu. "Iya, gue nanti tanggung jawab. Sekarang giliran lo yang harus ngelakuin hal yang sama!" Olivia melotot tajam, "ngelakuin apaan?!" Dion tidak menjawab, ia langsung mendekat ke arah Olivia, lalu tangannya menyambar lengan Olivia, menyeretnya pergi dari parkiran. "Lo mau bawa gue ke mana sih? Lepasin nggak?!" Olivia meronta, mencoba melepaskan genggaman tangan Dion dengan tangannya yang lain. Tapi memang sudah takdir alam jika kekuatan cowok lebih besar daripada cewek. Dan Olivia benci dengan hal itu. "Nggak usah banyak omong, nggak cuma cowok, cewek juga harus tanggung jawab kalo buat kesalahan." Dion berdesis, menoleh sebentar ke arah belakang, kemudian tatapannya kembali terpusat ke arah depan. Rasanya, Olivia sudah lelah memberontak, alhasil ia pasrah dan mulai mengikuti cowok itu berjalan. "Emang gue buat salah apa sama lo?" "Nanti lo juga tahu kalo udah sampai," jawab Dion santai. "Tapi pulang sekolah lo harus janji harus tanggung jawab mobil gue yang lecet." "Gue nggak bakal ingkar janji" jawab Dion singkat. "Oke, gue pegang ucapan lo," ujar Olivia dengan penekanan di setiap katanya. Kening Olivia seketika tercipta berlapis-lapis melihat ruangan di hadapannya. Tatapannya beralih menatap Dion dengan pandangan bingung. "Ngapain lo bawa gue ke sini?" "Mau minta pertanggung jawaban dari lo lah," ucap Dion santai. "Emang lo siapa, ha?!" "Gue Dion Mahesa Gavriel, kelas dua belas IPA satu." "Gue nggak nanya kali," ujar Olivia. Ia mendelik sebal, kemudian melipat kedua tangannya di depan d**a. "Buruan masuk." Dion langsung menyentuh ujung lengan seragam Olivia, kemudian menyambar dan menyeret masuk ke dalam UKS dengan cepat. "Ngapain sih lo maksa-maksa gue, gue nggak mau!" Pekik Olivia, ia menyentak tangan Dion dengan kuat. Dion menghela napas jengah, ia lalu berkacak pinggang tepat di hadapan Olivia. "Lo harus mau. Kalo nggak, gue nggak bakal ganti rugi mobil lo." Setelah kalimatnya tertuntaskan, Dion tersenyum sinis. Gigi Olivia bergemelutuk, tatapannya menajam. "Lo nyebelin banget sih." "Yang ada itu elo yang nyebelin. Buruan masuk sebelum bel pertama pelajar di mulai." Olivia berdesis, tetapi mau tak mau ia akhirnya menurut. Ini lebih baik daripada si cowok songong itu tidak mau bertanggung jawab terhadap mobilnya yang sudah ia bikin lecet. Sengaja ia menubrukkan bahunya dengan bahu Dion saat melewati cowok itu. Dion tersenyum puas, mengendikkan pundak, kemudian mengikuti cewek itu masuk. Entah kenapa, melihat Olivia menyemburkan kemarahan kepadanya, Dion merasa geli sendiri. Ada perasaan senang, dan ia ingin terus-menerus membuat amarah Olivia kembali memuncak, dan menyembur keluar setelah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN