“Enam puluh juta?”
Lelaki itu tercengang ketika melihat sebuah tulisan di dalam ponselnya. Ia terus terperangah tak percaya Setelah memastikan sekali lagi tulisan yang tertera di dalam ponselnya. Setelah bangun dari tidur yang terasa lelah itu, ia dengan cepat mengecek ponsel dengan harapan bahwa uang uang itu akan masuk. Ia memang betul dengan tebakkannya bahwa Zen Garden atau tempat apalah itu namanya benar-benar memberinya uang dengan jumlah yang fantastis. Dan apa yang didapatkannya hari ini bahkan melebihi ekspetasi. Lelaki itu menggelengkan kepala tak percaya.
“Lebih besar dari dua permainan sebelumnya!”
Lelaki itu terlihat tertawa senang. Ia bahkan berguling-guling di atas ranjang, sampai ia menyadari sesuatu yang memang sebelumnya mengganjal pikirannya.
“Tunggu.”
Lelaki itu kembali bangkit dari tidurnya di atas ranjang. Setelah membiarkan tubuhnya berguling-guling, merasa senang atas apa yang sudah ia dapatkan hari ini, Ia duduk di ranjangnya yang semakin berantakan saja setiap harinya. Kalau sampai Anne melihag ini, perekpuan itu pasti akan mengomel panjang kali lebar kali tinggi, seperti luas balok.
“Jika semalam aku berhasil masuk kembali ke Zen Garden...,” ucapnya menggantung. Ia belum melanjutkan kata-katanya karena lelaki itu memikirkan sesuatu.
Lelaki itu juga baru ingat kalau semalam ia bermimpi tentang harta karun dan dua katak raksasa yang menyemburkan bola-bola seukuran kepala. Bola-bola itu melesat bak peluru dan hampir menewaskannya, sesaat sebelum ia kemudian tidur untuk yang kedua kalinya dan malah kembali ke dalam Zen garden.
“Itu bahkan bukan malam hari.”
Dengan cepat ia berlari menuju jendela. Setelah sebelumnya ia merasa bahwa ia tengah tidur siang. Dilihatnya langit yang sudah hampir gelap. Matahari yang lelah itu seakan berpamitan untuk tidur dan kembali ke peraduan. Senja. Jelas bahwa July tertidur di pagi hari. Tandanya, malam bukanlah satu-satunya jalan atau sebuah syarat mutlak baginya untuk dapat kembali masuk ke dalam dunia permainan itu.
“Aku tidak membutuhkan malam untuk sampai di tempat itu,” katanya lagi begitu melihat bahwa ia rupanya pergi ke Zen Garden bukan di malam hari. Benar. Tepat setelah ia bangun karena mimpinya tentang dua katak itu dini hari. Ketika Anne pulang. Karena ia terlalu lama di dalam kamar, July sampai tidak begitu sadar bahwa matahari rupanya sudah menyumbul ke permukaan.
“Malam hari bukanlah syarat untuk kembali ke dalam permainan.”
July melihat laptopnya. Dalam keadaan daya yang terkuras. Ia mengambil charger dan mulai mengisi daya. Sambil mengingat-ingat apa yang terjadi setelah mimpi buruk semalam, ia terduduk di tepian ranjang.
Setelah beberapa waktu berlalu, senyuman terlihat di bibirnya yang sejak tadi datar. Ia tahu sekarang. Ia tahu syarat untuk masuk ke dalam dunia itu. Bukan perkara waktu siang atau malam. Bukan karena itu.
“Ketiduran. Aku hanya perlu tertidur tanpa disengaja. Tak perlu menunggu malam. Bukan karena aku harus terpaksa tidur. Benar. Aku tahu sekarang.”
Puas mendapatkan jawaban, July membuka lagi video game yang ada di laptopnya itu. Masih dengan kabel yang menjuntai dari laptopnya.
Layar berubah. Terlihat dua sisi yang berlawanan. Sisi kiri diisi oleh berbagai macam animasi tumbuhan yang terlihat lucu, sementara di sisi lainnya terlihat segerombolan makhluk pemakan otak manusia yang sepertinya hendak menyerang sekumpulan tanaman tersebut. Permainan yang selalu ia mainkan selamat karantina untuk membunuh jenuh yang begitu menyiksanya beberapa hari ini.
July mengarahkan kursor nya ke sebuah tulisan yang belum lama muncul setelah sebelumnya bertuliskan loading dengan kapsul berwarna hijau. Di sana tertulis ‘start' yang menandai bahwa permainan akan dimulai.
July menekan tombol dan muncul tiga tombol lagi, sama persis dengan yang ia temukan di dunia lain itu. Yang berada di tembok raksasa yang ketika ia tekan maka tanah akan terbelah dan tembok itu pun mulai tenggelam seolah di makan oleh bumi. Tiga tombol yang bertuliskan petualangan, bertahan hidup dan permainan kecil. Dengan mantap, July mengarahkan kursor nya ke tulisan permainan dan munculah empat buah gambar dengan tulisan yang berbeda. Sama persis dengan yang ia lakukan dalam permainan secara live, di mana dalam live ia menemukan empat buah pintu, bukan empat buah gambar.
Tiga gambar di antaranya mendapati tulisan ‘Done'. Yakni pada Walnut Bowling, Slot Machine, dan Whack a Zombie. Padahal, jika diingat-ingat, July belum pernah memainkannya dalam video game, ia hanya memainkannya dalam dunia yang sebenarnya pun ia masih bingung, benarkah nyata atau memang halusinasi. Lelaki itu melewatinya secara langsung, ketika ia secara tiba-tiba tersesat ke dunia permainan tersebut.
“Rupanya ini tersinkron.”
July mencoba menganalisis. Jika memang ia belum pernah memainkan itu di dalam laptopnya, tapi semua sudah terceklis atau tertandai itu berati keduanya memang tersinkron. Mengetahui hal itu merupakan sebuah keuntungan bagi July. Setidaknya, ia jadi punya gambaran tentang apa yang harus ia lakukan ketika nanti ia kembali ke dalam dunia permainan itu lagi.
“Berarti tinggal satu pintu yang belum aku masuki. Pintu ke tiga. Portal Combat.”
Lelaki itu memandang ke arah satu buah gambar yang masih terlihat lebih berwarna di antara ke empat gambar. Gambar itu pula lah satu-satunya yang belum mendapatkan tulisan ‘Done' di atasnya.
“Portal Combat.”
July beepikir untuk memainkannya sekarang, di dunia nyata. Jadi, ketika nanti ia kembali ke dalam dunia permainan itu, semua pintu telah berhasil ia lewati.
“Baiklah, aku akan memainkan yang ini sekarang!” ujarnya.
Tepat ketika July mengklik gambar, seketika layar laptopnya menghitam. Mati. Diikuti dengan seluruh lampu yang turut padam. Entah apa yang terjadi. Sebuah konsleting listrik, atau pemadaman masal, July tak tahu karena tidak mendengar pengumuman dan pemberitahuan apapun sebelumnya.
Segera, July bangkit dari kasur. Ia mendengar suara yang sama dengan suara yang sebelumnya ia dengar ketika berada di dunia permainan. Di dunia di mana ia mengalahkan para monster pemakan otak itu secara langsung. Suara itu terdengar seperti sebuah geraman. Tidak keras memang. Mungkin sumber suaranya jauh karena terdengar sayup-sayup.
“Kenapa juga listrik harus padam di saat-saat seperti ini? Hari sudah mulai gelap.”
Tidak ada lagi cahaya matahari yang masuk melalui ventilasi udara kamarnya. July agak kesulitan untuk melihat. Ia kemudian meraba-raba dan mulai berjalan mengikuti tembok sampai ia menemukan knop pintu kamar dan mencoba membukanya. Ia melangkahkan kaki keluar. Hitam. Hanya sedikit yang bisa ia lihat. Lelaki itu meraba-raba kabinet yang ada di ruang tengah. Biasanya, Anne menyimpan lilin, persediaan mereka bila terjebak di dalam situasi padam listrik seperti ini. July menjulurkan tangannya ke kanan, ke kiri, dari kabinet yang paling atas, sampai ke kabinet yang paling bawah. Bodohnya, lelaki itu malah meninggalkan ponselnya di kamar. Padahal, bisa saja ia menyalakan senter dari ponselnya dan menemukan lilin dengan mudah. Memang, segala sesuatu yang spontan kadang terasa gila dan konyol.
Akhirnya July memegang sesuatu. Ia mencoba untuk menggenggamnya. Lelaki itu berpikir kalau yang ia sentuh benar-benar sebuah lilin. Sesuatu yang berbentuk panjang.
“Aw, sakit bodoh!”
Seketika July terjungkal. Ia kaget dan segera mundur. Sebuah suara muncul dari dalam kabinet. Padahal jelas-jelas, ia hanya seorang diri di dalam rumah. Apakah seorang penyusup masuk ke dalam rumah mereka ketika ia tertidur di kamar? Atau dia Anne? Tapi kenapa suaranya berbeda sekali? July menggeleng-gelengkan kepala. Kurasa ini bukan suara Anne. Bagaimana mungkin suara Anne dapat berubah dalam sekejap?
“Anne? Anne itu kau?”
Suara yang ia dengar baru saja itu, terdengar seperti suara seorang perempuan, tapi sangat berbeda dengan suara Anne yang terdengar lebih berat. Yang baru saja July dengar itu terdengar seperti suara anak kecil, tidak. Mungkin remaja. Terdengar begitu ceria dan agak ringan.
“Penyusup? Rampok? Maling? Keluar kau!”
Ia terus beringsut mundur sampai akhirnya tubuh July menyentuh sofa. Ia ingat, di sebelah sofa ada sebuah vas bunga yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Segera, tangannya itu meraih vas bunga berbentuk lonjong yang terlihat seperti ujung tongkat pemukul bola baseball.
“Siapa kau?”
Hening. Belum ada jawaban. Padahal, tadi ia benar-benar mendengarnya. Jelas. Bahkan orang itu mengatainya bodoh. July pasti today mungkin salah. Ia tidak sedang berhalusinasi. Jadi, baginya ada dua opsi. Kalau bukan pencuri, maka itu adalah makhluk halus. Tapi tunggu, July tidak begitu yakin dengan opsi yang kedua. Sekian tahun hidup di rumah ini, ia tak pernah bertemu dengan yang namanya keadaan mistis dan segala jenis masyarakatnya. Jadi, lelaki itu dengan yakin memilih opsi yang pertama. Itu pasti perampok.
Tapi, kenapa seorang perempuan? Bukannya seorang rampok seharusnya kuat dan memiliki tubuh yang setidaknya bisa dipakai untuk adu kekuatan barangkali sewaktu-waktu ia tertangkap? Suara yang July dengar itu adalah suara perempuan. July mengangguk-anggukkan kepala. Masuk akal. Dia bukan seorang perampok, tapi beberapa detik kemudian lelaki itu kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak. Siapa bilang kalau perempuan tidak bisa jadi kriminal? Bisa saja perempuan itu adalah salah satu komplotan mereka. July ingat terakhir kali ia mendengarkan sebuah kasus baku tembak yang menewaskan sepasang penjahat di Amerika. Benar. Bonny and Claid. Mereka adalah sepasang kekasih. Jadi tidak selamanya perempuan tidak bisa menjadi kriminal. Kini July malah berpikiran bahwa perampok itu tidak sendiri. Pasti ada komplotan mereka. July melirik ke kiri dan kanan. Semuanya gelap. Benar-benar tak bisa melihat apapun sama sekali. Padahal sebelumnya, ia masih bisa samar-samar melihat cahaya karena matahari belum sepenuhnya tenggelam. Kini sepertinya matahari sudah benar-benar tertidur. July masih menggenggam vas bunga itu dengan kuat. Ia mencoba memasang telinga, barangkali ia menemukan petunjuk. Hening. Masih hening. Hanya suara tadi lah yang terakhir kali membuat gaduh. Sampai akhirnya, lelaki itu mendengar langkah kaki berlari melaluinya. Ia mengacung-acungkan vas bunga.
“Jawab aku! Siapa kau? Hey! Aku ini sedang terjangkit virus! Kau mau kutulari? Sini! Kemari! Akan kubuat kau juga terjangkit! Keluar kau sekarang!”
Suara langkah kaki itu malah terdengar lebih gaduh. Seperti bukan hanya satu orang. Benar dugaan July. Ini pasti perampok yang berkelompok. d**a July semakin bergemuruh. Ia hanya seorang diri di rumah. Ah, tidak. Ia malah sedikit bersyukur. Setidaknya, Anne tidak dalam bahaya. Jika perempuan itu ada di dalam rumah maka akan lebih berbahaya baginya.
Dari dapur, terdengar suara seperti dua orang yang sedang berbicara. Samar-samar, seperti seorang lelaki dan perempuan dewasa.
‘Perampok itu sedang berdiskusi. Apakah mereka sepasang kekasih seperti Bonny and Claid?’ gumam lelaki itu dalam hati.
Perlahan, July melangkahkan kakinya. Ia menempel ke tembok. Mendengarkan percakapan mereka yang bisa ia tangkap sedikit sedikit.
“Dave si gila itu.”
July hanya dapat mendengar kalimat itu. Sisanya ia tidak begitu tahu. Sisanya tidak terdengar begitu jelas. Seperti suara berbicara, mengoceh, tapi July tidak paham apa yang mereka bicarakan.
Dave? Siapakah Dave?
Setelah mengumpulkan keberanian, July mulai bangkit. Hanya berbekal vas bunga yang kini ia pegang layaknya sebuah senjata, ia perlahan berjalan menuju dapur yang sama gelapnya setelah sejak tadi hanya berani berdiri menempel ke tembok dekat kamarnya. Suara gaduh semakin terdengar jelas. Kali ini, tidak hanya suara dua orang yang saling berbicara. Di dapur rumahnya itu seperti sedang diadakan sebuah pesta besar. Seolah-olah mereka sedang melakukan pesta sampanye di akhir tahun. Ia sekali lagi menggelengkan kepala. Anne tidak mungkin segila itu untuk mengundang teman-temannya melakukan pesta di dalam rumah. Tidak dalam kondisi pandemi seperti ini. Tapi, jika memang bukan Anne, lalu siapa mereka? July tidak mengerti bagaimana cara mereka masuk. Anne tidak mungkin membiarkan pintunya tidak terkunci dan sepertinya, Anne juga tidak akan mengundang teman-temannya untuk berpesta di dalam rumah dengan seorang yang terjangkit virus. Ia tahu resiko. Dan July berpikir, Anne tidak akan mengambil resiko itu.
“Lalu mereka ini siapa?”
Suara-suara itu kian mengganggu. Begitu ia sampai di dapur, suara yang ramai itu berebut mengambil tempat di telinga July. Seperti semua orang berbicara, membuat kepala nya terasa berputar-putar. Rasanya July tidak tahan lagi. Ia menggenggam vas bunganya dengan begitu kuat, mulai mengangkat tangannya, dan siap mengayunkan vas bunga itu ke arah yang sebenarnya ia pun tak tahu ke mana saking gelapnya. Yang jelas, ia hanya ingin mereka semua berhenti dan keluar dari rumahnya. Sekarang juga.
“b******n! Keluar dari rumahku sekarang!”
Pranggg.
Vas bunga itu ia lemparkan. Seketika ruangan itu menjadi hening. Dan dalam sekejap, lampu kembali menyala. Masih dengan napas yang terengah-engah, terdengar teriakan dari arah lain.
“JULY!”