5. Kondisi Genting

1511 Kata
"Sayang, kamu udah tidur?" Suara Wulan kembali terdengar. Mungkin karena tak kunjung mendapat jawaban dari pemilik kamar. Lirikan gelisah Senja tertuju pada pintu. Dia takut ibunya masuk dan melihatnya dalam kungkungan Cakrawala. Karena biasanya, sang ibu akan masuk ke dalam setelah mengetuk dan memanggil. "Lo mau gue tetep hidup 'kan, Bang?! Atau jangan-jangan apa yang lo omongin tadi siang emang cuman omong kosong?" tanya Senja dengan suara bergetar. Mengingat reaksi Cakrawala siang tadi ketika ingin bunuh diri membuat Senja bertaruh pada keberuntungannya. Barang kali saja masih ada sedikit rasa belas kasih dari semesta untuk membela. Setidaknya, untuk sekali ini saja karena sebelumnya jarang sekali ada keajaiban dalam hidupnya setelah kepergian sang ayah. Sepersekian detik, Cakrawala menghela napas berat. Menatap Senja sendu dengan perasaan berkecamuk. Dia pikir, kenapa adiknya tidak bisa memahami perasaan sedikit pun? "Oke, gue keluar," ujar Cakrawala lesu. Menjauhkan tubuhnya dan beranjak keluar. "Loh, Wala? Dari tadi kamu di dalam?" tanya Wulan terkejut. Baru membuka pintu sedikit, Cakrawala sudah berhadapan dengan ibu tirinya. "Iya, Ma. Wala minta Senja buat bantu Wala di perusahaan, tapi dia nolak lagi," sahutnya sambil membuka pintu lebar-lebar. Orang seperti Cakrawala memang mudah sekali menguasai keadaan. Dalam kondisi genting apa pun, dia bisa langsung menyesuaikan diri. Tidak merasa bersalah atas apa yang telah dilakukan. Yang ada di kepalanya hanya kebahagiaan dirinya sendiri meski harus melukai orang lain. "Oh, ya udah biar nanti mama yang bujuk. Kalau masih nggak mau, nanti mama suruh bantu urus butik." Wulan mengusap lengan Cakrawala dan tersenyum lembut. "Iya, Ma." Dalam hati, Cakrawala berharap ibu tirinya berhasil membujuk Senja. "Ya udah, sana kamu istirahat. Mama mau ngobrol sebentar sama Senja." Cakrawala mengangguk dan bergegas menuju kamarnya. Sementara itu, Wulan langsung masuk dan menutup pintu. "Kamu belom tidur 'kan, Sayang?" Wulan melangkah mendekat. Lalu, duduk di tepi ranjang dengan tangan terulur mengusap rambut panjang putrinya. "Belom, Ma." Senja beranjak duduk menghadap sang ibu. "Besok sebelum ke butik, mama mau ke makam Ayah kamu sama Papa. Ikut?" Setelah menikah dengan Mahesa, Wulan diberi modal untuk membangun sebuah butik. Sampai 7 tahun, butiknya memiliki cabang hampir di beberapa kota besar. Dia yang memimpin sekaligus mendesain setiap baju yang dibuat. "Ikut, Ma, ikut. Senja juga udah kangen banget sama Ayah," balas Senja antusias. Setiap kali merasa buntu, Senja selalu pergi ke makam ayahnya. Mengadukan segala keluh kesah dan menumpahkan banyak air mata. Dengan begitu, perasaannya akan membaik dan tenaganya terkumpul kembali untuk menghadapi kegilaan Cakrawala. "Ya udah, sekarang kamu tidur. Besok kita ke makam Ayah sama-sama." Sebelum masuk, Wulan berkata akan membujuk Senja agar mau bekerja di perusahaan suaminya. Kalau tidak mau, dia akan membujuk putrinya bergabung mengurus butik. Namun nyatanya, masalah perihal itu sama sekali tidak dibahas. Entah karena lupa atau ada sesuatu yang disembunyikan? "Iya, Mama juga tidur. Bikin desain nanti lagi aja di butik, jangan begadang terus." Senja mengangguk dan lekas berbaring. Dia membiarkan sang ibu menyelimuti tubuhnya dan mengecup kening. Kemudian, menyaksikan ibunya keluar dari kamar. *** "Jadi, Abang Wala ikut kita juga, Ma?" tanya Senja terkejut. Tidak jarang sang ibu mengajak Mahesa ke makam ayahnya. Namun, kali ini justru Cakrawala ikut juga. Hal yang paling Senja tidak sukai adalah keberadaan pria itu di dekatnya. Lagi pula, siapa yang akan suka jika selalu didekati pria gila seperti Cakrawala? Dia rasa tidak ada dan jika ada pun, mungkin orang itu sudah sama-sama gila. "Papa yang ajak. Tidak apa-apa 'kan, Sayang?" kata Mahesa menimpali. "Iya, Pa," sahut Senja dengan raut terpaksa. "Ya udah, yuk. Keburu siang, nanti Papa sama Wala malah telat ke kantor," ujar Wulan menyudahi. Semua orang menuju garasi. Mahesa dan Wulan masuk ke mobil sedan berwarna hitam, diikuti Senja yang bersiap masuk ke kursi penumpang. Namun, rencananya digagalkan Cakrawala yang langsung menariknya ke arah mobil range rover putih miliknya. "Abang apaan, sih? Hobi banget narik-narik tangan gue," protes Senja sambil menghempaskan tangannya yang ada dalam genggaman Cakrawala. "Lo ikut gue aja. Jangan ganggu waktu Papa dan Mama. Lo tahu 'kan mereka sibuk kerja? Jadi, biarin mereka berduaan walaupun cuman di dalam mobil." Niat Cakrawala memang baik, tidak ingin mengganggu kebersamaan kedua orang tuanya. Namun, ada niat terselubung di balik niat baiknya itu. Selain ayah dan ibunya, dia juga ingin berduaan bersama Senja. Dia tidak ingin kalah dengan peran Cakrawala sesungguhnya di alam semesta ini. Di mana tugasnya sebagai pembatas antara langit dan bumi yang setiap pagi juga sore akan ditemani senja. "Ya udah iya, tapi gue mau duduk di belakang," sungut Senja ketus. "Apaan, sih? Emang lo pikir gue supir?!" tanya Cakrawala sewot. Sikap Senja semakin hari semakin menjadi-jadi. Sifat penurutnya entah hilang ke mana dan berubah pembangkang. Mungkin jika dihubung-hubungkan dengan sesuatu, semua ini terjadi semenjak kemunculan Arya. Yah, Arya layaknya awan mendung yang menghalangi munculnya senja di kaki langit. "Bang?" panggil Senja dengan raut memohon. Cakrawala membuka pintu samping kemudi. "Cepet masuk! Mobil Papa udah jauh jangan sampe Mama nyariin kita yang lama." "Iya-iya!" sungut Senja ketusy. Wanita itu menghentakkan kaki dengan raut kesal. Masuk ke mobil dan duduk sambil melipat kedua tangan di perut. Lalu, membuang pandangan ke samping seolah Cakrawala asap yang menyakitkan mata. Menatap kendaraan yang lalu-lalang dengan tatapan kosong. "Minggu depan perilisan butik baru Mama." Senja menoleh sekilas, kemudian kembali menatap ke samping dengan helaan napas yang terdengar. Dia tahu arah tujuan Cakrawala berbicara. "Denger-denger, manajer dan beberapa pegawai di pusat mau dipindah ke sana. Lo nggak mau coba jadi manajer baru pusat?" Jika Senja enggan bekerja di perusahaan, Cakrawala ingin adiknya bekerja di butik ibu mereka. Selain di sana semua pegawai wanita, pembeli yang datang pun mayoritas wanita. Lagi pula, manajer tidak bertugas melayani pelanggan dan jarang berinteraksi dengan orang lain. "Ngga mau!" tolak Senja tegas. Jangankan Cakrawala yang sangat Senja benci, bahkan ibu dan ayahnya sudah menawarkan sejak dulu. Namun, dia bersikeras menolak karena Cakrawala bisa mengawasinya kapan saja. Jika bekerja di perusahaan lain, wanita dengan gigi gingsul itu yakin pantauan kakak tirinya akan terbatas. "Di perusahaan Papa nggak mau, di butik Mama juga nggak mau. Sebenernya mau lo apa, sih?!" Cakrawala memukul setir karena terlalu kesal. "Fokus nyetir, Bang. Gue nggak mau kecelakaan trus mati satu mobil sama lo." Cakrawala menanggapi ucapan Senja dengan dengkusan kesal. Dadanya bergerak naik-turun diiringi suara gigi yang dieratkan. Sebegitu benci kah Senja padanya sampai-sampai kata menyakitkan itu terlontar? "Kalo nggak lagi di jalan, udah abis gue cium lo, Senja," ujar Cakrawala yang ditanggapi Senja dengan merotasikan bola mata malas. Cukup lama, tidak ada lagi yang membuka suara. Sampai pada akhirnya, mereka sampai di sebuah tempat pemakaman umum. Di depan, Wulan dan Mahesa melambaikan tangan agar Senja dan Cakrawala bergegas. "Iya, bentar!" balas Senja setengah berteriak. Senja merapikan penutup kepala yang semula dilingkarkan ke leher. Kemudian, dia berjalan ke arah ayah dan ibunya diikuti Cakrawala. Setelah itu, mereka menghampiri makam mendiang ayah kandung Senja sekaligus mendiang suami Wulan untuk mendoakan. Setelah itu, kembali ke area parkiran dan bertemu dengan orang yang tak terduga. "Kamu di sini juga, Arya?" tanya Mahesa terkejut. "Om Esa, Tante Wulan." Arya tidak kalah terkejut. Tatapan matanya beralih pada Cakrawala yang bergerak cepat menempel pada Senja, "Gue yakin ada yang nggak beres sama mereka berdua. Ah, tapi bodo amat bukan urusan gue," lanjutnya dalam hati. "Kebetulan ada yang ingin tante bicarakan sama kamu, tapi ini sudah sangat siang." Semula Wulan begitu antusias, tetapi berubah lesu mengingat matahari semakin naik. Semua orang cukup terkejut mendengar penuturan Wulan termasuk Arya. Kemarin adalah pertemuan pertama mereka dan tiba-tiba wanita itu memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Hal itu membuat Cakrawala mengepal tangan kesal, sedangkan dirinya ingin sekali mengusir Arya pergi. Arya menatap jam di pergelangan tangan kanan. "Rapat pagi ini diundur selama dua jam. Jadi, saya tidak terlalu sibuk dan Tante bisa katakan." "Sebenarnya tante mau merepotkan kamu. Boleh, tidak?" Sikap Wulan benar-benar aneh kali ini. Wanita itu bukan tipe orang yang mudah sekali akrab dengan orang lain. Apalagi orang itu adalah Arya dan dia baru mengenalnya semalam. "Tentu saja boleh. Jadi, apa yang Tante butuhkan dan yang perlu saya lakukan?" Sama seperti yang lain, Arya pun cukup bingung. Dia bisa melihat raut keragu-raguan di wajah Wulan. Ada rasa tidak enak untuk mengatakannya, tetapi cukup membuatnya penasaran. "Denger-denger, sekretaris direktur pemasaran di Lazuar Group mengundurkan diri. Apa Senja boleh melamar sebagai sekretaris baru di sana?" Wulan melirik Cakrawala sekilas sebelum memusatkan atensinya kembali pada Arya. Semalam, tidak sengaja Wulan mendengar pembicaraan Senja dan Cakrawala. Jadi, dia ingin mendekatkan putrinya dengan Arya agar perasaan Cakrawala terhadap Senja hilang. Pasalnya, dia tidak bisa membiarkan anak tirinya mengembangkan perasaan yang tidak seharusnya. "Mama," ujar Senja memprotes. "Tidak masalah. Lagi pula, direktur pemasaran di perusahaan adalah kakak saya. Senja hanya perlu mengirim CV dan akan saya sampaikan sebelum ada orang lain yang mengisi posisi itu," sanggah Arya santai. Di kepalanya muncul beberapa pertanyaan. Bagaimana bisa Wulan meminta pekerjaan untuk Senja padanya, sedangkan suaminya memiliki perusahaan besar? "b******k!" umpat Cakrawala dalam hati. Pertama kali mendengar ucapan ibu tirinya membuat Cakrawala terkejut. Dia sempat tidak percaya sebelum akhirnya jawaban Arya terlontar. Saat ini, tangannya sudah terkepal erat. Netranya membola dan giginya saling dieratkan. Tidak bisa menahan kekecewaan membuat Cakrawala melangkah dan mengadu bahunya dengan bahu Arya. Sontak, hal itu membuat semua orang terkejut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN