Arya menatap lekat wanita yang kini tengah menyodorkan dokumen pada Mahesa. Pertemuan peninjauan ulang kerjasama dengan perusahaan konstruksi itu seharusnya dihadiri oleh sang ayah. Namun, dia terpaksa mewakili mengingat kondisi kesehatan ayahnya yang tiba-tiba menurun.
"Senja pulang ya, Pa," pamit wanita yang diketahui memiliki nama lengkap Mentari Senja.
Jujur, Senja merasa tidak nyaman telah ditatap Arya meski hanya sekilas. Tatapan pria itu sarat akan sesuatu. Andai sang ayah tidak tiba-tiba menghubungi dan meminta agar mengantar dokumen yang ada di meja kerja rumahnya. Mungkin saat ini dia sedang bersantai di rumah dan bukannya di cafe bernuansa klasik itu.
"Sebentar! Jadi wanita ini putri Anda, Pak Esa? Saya pikir Anda hanya memiliki satu putra, Cakrawala."
Tidak bisa menahan rasa penasaran membuat Arya menumpahkan isi kepala. Dahinya yang mengkerut menatap Senja sekilas dan beralih menatap Mahesa menuntut jawaban. Sudah lima tahun bekerjasama, dia tidak melihat nama lain dalam salinan RUPS. Di sana hanya ada nama Mahesa dan Cakrawala yang memiliki saham di PT. Kertadinata Abadi.
"Iya, Senja putri dari istri kedua saya," sahut Mahesa mengulas senyuman.
"Oh, begitu." Arya mengangguk sambil melirik Senja, "Ternyata dia anak Mahesa Kertadinata. Pantas saja sikapnya selalu dingin dan terlihat arogan, mirip sekali dengan Cakrawala. Padahal Pak Esa sendiri orangnya sangat-sangat baik," imbuhnya dalam hati.
Beberapa kali bertemu dan bertabrakan, wanita dengan bola mata jernih itu tidak pernah mengucapkan maaf atau sekedar berbasa-basi. Bagai mentari yang pantas menunjukkan kesombongan, sikapnya seperti putri raja yang tidak layak mengucapkan kata maaf dan terima kasih.
Sikap Senja jauh berbeda dengan ayah tirinya yang rendah hati meski memiliki kekayaan melimpah. Tidak segan mengucapkan kata maaf jika melakukan kesalahan dan terima kasih bila mendapat bantuan.
"Ya udah, Senja pulang," pamit Senja lagi. Dia meraih tangan sang ayah dan mengecup punggung tangannya.
Sementara itu, Arya mengulurkan tangan. Namun sayang, Senja tidak meliriknya sedikit pun dan langsung beranjak pergi. Arya tersenyum miris menarik kembali uluran tangannya.
"Maaf, atas sikap putri saya, Pak Arya. Semoga tidak diambil hati," kata Mahesa tidak enak.
Arya mengangguk dan bertanya, "Kalau boleh tahu, apa putri Anda memang seperti itu?" Tatapan matanya fokus pada punggung Senja yang perlahan mulai menghilang dari pandangan.
"Senja memang orangnya tidak terbiasa berinteraksi dengan orang asing. Mungkin dia merasa kurang nyaman atau mungkin sedikit canggung. Maklumlah namanya juga anak gadis. Tapi dia anaknya baik, kok, Pak Arya."
Sebelumnya Senja tidak seperti itu. Akan tetapi, beberapa tahun belakangan berubah menjadi wanita dingin dan seolah tidak bisa disentuh. Mahesa merasa tidak perlu menjelaskan lebih jauh pada Arya. Cukup dengan menjawab apa yang seharusnya diketahui oleh rekan kerjanya saja.
"Baik. Kalau begitu, mari kita tinjau perpanjang kontrak kerjasama perusahaan."
Sebenarnya, Arya masih penasaran dan ingin mempertanyakan hal lebih. Namun, rasanya akan sangat tidak pantas dan lebih memilih menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu di kepala. Dia tidak ingin terlalu mengorek lebih dalam hingga menimbulkan ketidaknyamanan, terlebih sekedar penasaran semata. Tugasnya di sana hanya membantu sang ayah meninjau rencana kerjasama antar perusahaan yang telah lama dijalin.
"Baik." Mahesa menyerahkan dokumen yang semula diantar putri tirinya.
Arya langsung meraihnya dan membuka lembar pertama. Raut wajah pria itu terlihat serius. Membaca dengan seksama dari poin satu sampai seterusnya.
"Kalau ada yang kurang dan perlu ditambah, Pak Arya bisa langsung katakan agar nanti saya perbaiki," ucap Mahesa melihat bagaimana sesekali Arya menyentuh dagunya.
"Saya rasa ini sudah cukup dan kerjasama antar perusahaan bisa dilanjutkan," sanggah Arya mantap.
Proses penandatanganan dilakukan oleh kedua pihak. Setelah selesai, mereka berpisah dengan diakhiri jabat tangan.
Sementara di sisi lain, Senja baru saja sampai di rumah. Sayangnya, dia langsung dihadapkan pada sosok menjengkelkan Cakrawala. Padahal seharusnya, kakak tirinya itu sedang bekerja di kantor mengingat sekarang pukul sebelas siang.
"Pergi ke mana, lo?"
"Kepo," sahut Senja malas.
Dia melangkah melewati ruang tamu menuju tangga. Tidak peduli Cakrawala menatap tajam dirinya, Senja tidak peduli. Dia hanya ingin segera sampai di kamar dan mengunci pintu, bersembunyi dari makhluk gila yang berbentuk kakak tiri.
"Lo mau ke mana, Senja?!" tanya Cakrawala sedikit berteriak.
"Apaan, sih? Nggak jelas banget," gumam Senja sewot.
"Jawab pertanyaan gue atau lo bakal nyesel!" ancam Cakrawala yang kini sudah berdiri.
Mendengar ucapan Cakrawala membuat perasaan Senja berubah tidak enak. Seperti sesuatu yang orang sering sebut sebagai dejavu. Dengan jantung yang berdegup kencang, dia berlari diiringi rambut hitam panjangnya yang melambai-lambai.
Tujuh tahun tinggal di rumah mewah itu tidak membuat seorang Mentari Senja bahagia. Justru dia berpikir lebih baik tinggal di rumah lamanya yang hanya berukuran 60 m² saja. Semula memang terasa membahagiakan karena kedatangannya disambut dengan sangat baik. Namun, 3 tahun belakangan sikap Cakrawala berubah bagai iblis gila yang terobsesi padanya.
"Lo berani hindarin gue?" Tangan Cakrawala menahan pintu yang saat ini berusaha Senja tutup.
Ketika Senja berlari menaiki banyaknya puluhan undakan, Cakrawala langsung mengejar. Bertepatan dengan Senja masuk ke kamar dan menutup pintu, pria itu mengulurkan tangan berusaha menahan.
"Nggak, Bang. Gue cuman capek pengen istirahat," sahut Senja dengan suara bergetar.
Senja tahu kalau Cakrawala menempatkan mata-mata. Setiap kali keluar rumah sekedar mencari pekerjaan atau bertemu temannya, pria itu selalu tahu. Sama seperti hari ini di mana dia mengantar dokumen ayahnya dan tidak sengaja berbicara dengan salah satu pegawai cafe.
"Jangan bohong! Lo sengaja menghindar karena emang ada yang disembunyiin dari gue, kan?"
"Nggak, Bang. Sumpah gue nggak nyembunyiin apa-apa dari lo."
Bola mata Senja sudah memanas. Dadanya bergerak naik-turun dengan lengan memerah menahan agar pintu tidak terbuka. Dia benar-benar takut dengan apa yang akan kakak tirinya lakukan.
"Lo pikir gue nggak tahu apa yang udah lo lakuin di luar, hah?!" bentak Cakrawala sambil mendorong pintu kuat-kuat.
Dari informasi yang didapat, Cakrawala mengetahui bahwa rekan bisnis ayahnya tertarik pada Senja. Selain itu, Senja juga berinteraksi dengan pegawai cafe berjenis kelamin laki-laki.
"A-aww!" pekik Senja kesakitan.
Dia jatuh terduduk di lantai sambil menyentuh sikunya yang terasa sakit. Seketika, kepalanya terangkat mendengar suara pintu ditutup dan dikunci. Netranya membola dengan tubuh tersentak. Apalagi melihat wajah menakutkan Cakrawala.
"Harus berapa kali gue bilang jangan keluar?! Harus berapa kali gue bilang jangan nunjukin muka lo ke laki-laki lain, apalagi sampe senyum?!" Cakrawala melangkah mendekat dengan raut memerah menahan amarah.
Senja berdiri dan menatap Cakrawala nyalang. "Kenapa gue harus di rumah terus?! Kenapa gue harus nurutin semua kata-kata lo?! Emangnya lo pikir lo siapa?! Lo nggak berhak ngatur hidup gue!"
Melihat reaksi Senja membuat Cakrawala tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dia pikir, adiknya berani melawan setelah bertemu dengan Arya. Rasa cemburu membuatnya meraih tangan Senja lalu menariknya dan mendorong ke tempat tidur.