Prolog
"Star, kau yakin tidak ingin aku antar?" Amber, sahabat Starlee menawarkan bantuan pada Starlee karena sahabatnya itu terlihat mabuk berat.
Starlee menggelengkan kepalanya, ia menatap Amber dengan senyuman kecil di bibirnya. "Ayolah, Amber. Aku bukan bayi lagi. Lagipula aku tidak mabuk, aku bisa menyetir sendiri." Tangan Starlee membuka pintu mobilnya, kemudian ia melambaikan tangan pada Amber. "Aku bahkan bisa menyetir sambil menutup mata," guraunya.
Amber menghela napas. "Baiklah. Kabari aku jika kau sudah sampai di tempatmu."
Starlee mengangkat jemarinya, membentuk isyarat 'oke' lalu masuk ke dalam mobil. Ia melajukan mobil sport edisi terbatas miliknya itu, menyalakan musik lalu menggerakan kepalanya menikmati lagu yang sedang dimainkan.
Pesta adalah bagian dari hidup Starlee. Kehidupan malam yang menyenangkan serta menghabiskan uang adalah dua hal lain yang juga tak lepas dari dunianya.
Pulang dalam keadaan mabuk dan menyetir sendirian sudah biasa ia lakukan. Ia adalah wanita mandiri yang tidak ingin merepotkan siapapun. Terlebih ia merasa bahwa dirinya tak semabuk yang orang lain lihat. Starlee memiliki toleransi yang baik terhadap alkohol, dan di pesta tadi ia masih minum dalam batas wajarnya.
Akan tetapi, kali ini perhitungan Starlee salah. Pandangannya mulai mengabur. Kepalanya terasa begitu berat. Mobil yang ia kemudikan dengan kencang perlahan mulai kehilangan keseimbangan.
Dari arah berlawanan sebuah mobil bermuatan berat melaju, mobil itu tidak bisa menghindar dari mobil Starlee yang mengambil jalur salah. Hingga akhirnya sebuah suara benturan dua benda terdengar nyaring. Mobil Starlee meringsek masuk ke bawah mobil bermuatan berat tersebut dan terseret beberapa meter jauhnya.
Starlee yang berada di dalam mobil tidak bisa melihat apapun lagi. Ia hanya bisa merasakan sakit di seluruh tubuhnya hingga akhirnya rasa sakit itu tak bisa ia tahan lagi dan membawanya terjebak dalam kegelapan tanpa dasar.
Sebuah ledakan kemudian terjadi di mobil Starlee. Memastikan bahwa siapapun yang ada di dalam mobil itu tidak akan bisa selamat dari maut.
Di tempat lain, seorang wanita dengan nama yang sama tengah memandangi secangkir teh yang baru saja ia buat. Senyuman getir terlihat di wajahnya, kemudian ia menyesap teh kesukaannya itu.
Perlahan ia mulai merasa kesakitan, seperti ada yang mencekik lehernya kuat. Cangkir yang tadi ia genggam kini terjatuh ke lantai karena tangannya tidak lagi bisa memegang benda itu.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Harusnya saat ini ia berusaha meminta pertolongan, tapi ia memilih bungkam dan tersiksa oleh rasa sakit yang perlahan membunuhnya.
Tubuh berisi itu akhirnya terjatuh ke lantai marmer mengkilap yang tadi ia pijaki. Air matanya menetes, bukan karena rasa sakit di tubuhnya, tapi karena rasa sakit di hatinya yang teramat menyiksa.
Suamiku, ini adalah hal terakhir yang bisa aku lakukan untukmu. Karena kau menginginkan kematianku, maka aku berikan padamu.
Tubuh wanita itu kemudian kejang-kejang. Kesadarannya mulai menghilang, berganti dengan hitam pekat yang menyedotnya seperti pasir hidup. Napasnya yang tadi tersendat kini mulai menghilang. Begitu juga dengan jantungnya yang denyutnya mulai tak terasa.
Sebuah panggilan dari orang yang berada di dekatnya pun sudah tidak bisa ia dengar lagi. Bahkan ketika tubuh besarnya diangkat ia sudah tidak bisa merasakannya lagi