Kekesalan yang dirasakan Jemi saat masih di sekolah tadi berubah menjadi kegembiraan begitu dia tiba di rumah setelah Clarissa, kepala pelayan di rumahnya memberitahu kalau pria-nya sudah sadar dan bangun dari koma. Jemi memekik kencang, segera berlari menaiki tangga menuju lantai dua, lupa kalau ada lift yang bisa dinaiki untuk mengantarkannya ke lantai atas. Dia terlalu bersemangat dan penasaran dengan pria yang ditemukannya empat tahun yang lalu itu. Sangat ingin tahu bagaimana ketika matanya terbuka dan ingin mendengar suaranya. Tadi Clarissa mengatakan kalau pria itu sedang berbicara dengan dokter Steven.
Dengan cepat Jemi membuka pintu kamar yang tertutup, membuat dua orang pria dewasa yang berada di dalam kamar tersebut terkejut dan menoleh ke arahnya bersamaan. Jemi mengerjap dengan mata membelalak dan mulut menganga dengan tidak elitnya. Terperangah melihat sosok pria muda yang sedang duduk di atas ranjangnya.
"Tutup mulutmu atau alat akan memasukinya."
Jemi mendelik tajam pada dokter Steven. Sedetik kemudian terdengar pekikannya memenuhi ruangan. Jemi menghambur memeluk pria itu yang juga memeluknya.
"You're awake! (Kau sudah bangun)!" Jemi kembali memekik sambil mengurai pelukan lantas menciumi wajah yang masih terlihat pucat itu. Dia sedang meluapkan kegembiraannya.
"Dia berbicara bahasa Indonesia, Jemi," ucap Steven memberitahu.
Jemi menatap Steven dengan tatapan kurang senang, matanya menyipit dan mulut meruncing. Sejak tadi pria berambut pirang ini selalu saja mengganggunya. Sangat menyebalkan, menambah kekesalannya saja. Beruntung saat ini dia tengah gembira, kalau tidak akan diomelinya Steven habis-habisan. Dia perlu melampiaskan kekesalannya, tak ingin rasa kesal itu menumpuk dan mengakibatkan jerawat. Astaga, jangan sampai!
"Om bisa diam nggak, sih?" tanya Jemi kesal. "Sejak tadi ngomong mulu kayak nenek-nenek cerewet!"
Steven tak menjawab. Tangannya terangkat, melakukan gerakan seperti seseorang yang sedang menutup resleting, di depan mulut. Meski sebenarnya ada yang ingin disampaikannya pada Jemi, tapi ia akan menundanya. Membiarkan Tuan Putri bersama pangerannya adalah pilihan tepat untuk saat ini. Bukan tanpa alasan ia mengalah. Jemi terlihat dalam mood yang buruk, ia tak ingin gadis itu mengamuk dan mogok makan seperti yang sering dilakukannya. Kesehatan Jemi adalah hal penting.
Jemi tersenyum lebar, memberikan ibu jarinya pada pria berkebangsaan Australia itu. Steven sudah seperti Ayah kedua baginya, tidak heran kadang dia juga merajuk padanya. Jemi mengembalikan fokus pada pria di depannya, menatap pria itu dengan alis berkerut dan tatapan meneliti. Mungkin saja, 'kan, ada yang kurang atau semacamnya.
"Kamu kapan bangunnya?" tanya Jemi tanpa menyembunyikan rasa ingin tahu dalam nada suaranya. "Udah lama?"
Pria itu menggeleng. "Nggak juga," jawabnya lirih. "Tadi siang bangunnya." Ia mengambil tangan Jemi, menggenggamnya erat. "Kamu yang udah nolong aku, 'kan? Dokter Steven bilang gitu." Ia menatap sekilas dokter Steven yang tersenyum menyaksikan interaksi mereka yang seperti sudah saling mengenal lama. Memang pada dasarnya ia baru melihat gadis bermata biru ini beberapa menit yang lalu, tapi di dalam mimpinya sudah sejak lama. "Makasih udah nyelamatin nyawa aku."
Pria itu tersenyum. Senyum yang membuat Jemi merasa pipinya memanas seperti terbakar. Pria ini benar-benar tampan, seperti pangeran saja. Kalau teman-teman sekolahnya melihat, mereka pasti akan menjerit histeris. Semua temannya tidak ada yang bisa melihat laki-laki tampan, dan pria ini lebih tampan dari semua laki-laki teman sekolahnya.
"Aku nggak sengaja liatnya," jawab Jemi malu-malu. Kepalanya tertunduk, menatap tangannya yang berada dalam genggaman tangan besar itu. "Aku nggak bisa liat orang yang masih hidup nggak ditolong. Om Steven bilang semua manusia memiliki hak hidup yang sama. Benar, 'kan, Om?" Jemi kembali menatap Steven, dengan tatapan meminta jawaban.
Steven menarik napas panjang sebelum berdehem dan mengangguk. Memang dirinya yang mengatakan seperti itu pada Jemi, itu adalah salah satu prinsipnya sebagai seorang dokter yang berkewajiban menyelamatkan nyawa.
"Mungkin kalo dibiarin kamu pasti mati kehabisan darah...."
Dan, dimulailah cerita ala-ala Jemi. Dari sejak awal dia menemukan sosoknya yang tertelungkup sampai saat dia membawanya ke rumah. Berakhir dengan bangunnya pria itu saat dia masih di sekolah.
"Aku yakin kamu pasti bangun, aku udah bilang sama.Papi kayak gitu. 'Kan, benar akhirnya kami bangun!" Jemi mengakhiri ceritanya.
Pria itu mengangguk, senyumnya tipis menghiasi wajah pucatnya yang tirus. Dadanya semakin terasa hangat sejak kehadiran Jemi, malaikat berambut cokelat yang selalu memintanya untuk bertahan dan bangun. Suatu kesenangan tersendiri bertemu dengan gadis yang selama ini hanya bertemu di dalam mimpi.
"Jemi, maaf, Om harus menginterupsi," sela Steven. Sekarang saatnya memberitahu jemi hal penting yang sejak tadi ingin disampaikannya.
Jemi tak menjawab, hanya memutar separuh tubuhnya menghadap Steven.
Pria berambut pirang itu membenarkan letak kacamatanya sebelum meneruskan. Steven membawa kakinya melangkah menghampiri Jemi yang sekarang sudah duduk di samping pria-nya.
"Ada yang harus Om bilang sama kamu," ucap Steven menatap Jemi dan pria di sebelahnya bergantian.
Jemi masih tak menjawab, mulutnya tertutup rapat. Dia hanya menunggu Steven untuk melanjutkan perkataannya.
"Dia ...!" Steven menunjuk pria Jemi. "Amnesia," sambungnya.
Mata biru Jemi melebar. Dengan cepat dia turun dari ranjang, berdiri tepat di samping Steven. Mendongak menatap pria itu dengan tatapan tak percaya.
"Beneran, Om?" tanya Jemi mengerjakan mata. Melirik pria yang baru bangun sekilas kemudian kembali menatap Steven lagi.
Steven mengangguk. "Iya!" jawabnya sambil melepas kacamatanya.
"Parah nggak?" Jemi bertanya pada Steven, tapi yang ditatapnya justru pria itu yang juga menatapnya dengan tatapan berkabut.
"Om belum memeriksanya." Steven menarik napas sebelum melanjutkan. "Besok kita bawa dia ke rumah sakit buat pemeriksaan lebih lanjut. Om takutnya cedera yang dialami otaknya parah. Kalau sudah begitu, kemungkinan ingatannya tidak akan kembali selamanya, alias amnesia permanen."
Sepasang alis Jemi terangkat. "Wow!" serunya takjub. Amnesia total yang berarti pria itu tidak akan mengingat apa-apa. Bukan sesuatu yang keren tapi tetap membuatnya kagum.
"Kamu setuju, 'kan, kalo dia kita periksa besok?" tanya Steven.
Jemi mengangguk cepat. Berbalik menghadap pria itu yang sekarang sudah menangis. Cepat Jemi kembali duduk di sampingnya, meraih kepala bersurai hitam itu ke dadanya dan mengusapnya lembut.
"Jangan nangis. Cowok nggak keren, lho, kalo nangis," ucap Jemi lembut sambil tangannya terus mengusap rambut pria itu. "Aku nggak murah,.kok, kalo itu yang bikin kamu takut." Jemi membingkai pipi yang basah oleh air mata, mengusap air mata itu menggunakan ibu jarinya. "Kita cari nama buat kamu, ya, biar enak manggilnya." Jemi tersenyum, mengecup pipi yang masih sedikit basah.
"Om boleh kasih saran nama nggak?" tanya Steven. Sejak tahu pria ini amnesia, ia sudah menyiapkan nama untuknya. Ada beberapa nama yang dipikirkan Steven, mulai dari huruf A sampai Z.
"Nggak!" jawab Jemi cepat dengan dagu terangkat angkuh. "Aku udah punya nama yang keren."
"Eh, benarkah?" tanya Steven tak percaya. "Kenapa cepat sekali?"
"Apanya yang cepat?" Jemi balas bertanya. "Aku udah nyiapain nama dari, kok," ucapnya membela diri. "Rencananya aku mau pake buat nama anak aku ntar, tapi nggak apa-apa karena anaknya belum lahir namanya buat daddy-nya aja dulu." Jemi tersenyum malu-malu.
Steven mendelik. Anak? Daddy? Bagaimana mungkin gadis seusia Jemi sudah berpikir jauh ke depan seperti itu, sementara dirinya yang usianya sudah kepala empat masih betah sendiri. Dasar anak muda zaman sekarang..Steven memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut.
"Siapa namanya?" tanya Steven.
"Arion!" jawab Jemi menatap pria muda di depannya.."Arion Adelio." Jemi membingkai wajah tampan itu, mencium pipinya. "Kamu nggak keberatan, 'kan, aku panggil Arion Adelio?" tanyanya.
""Arion?" ulang pria itu. Sepasang alis tebalnya mengernyit. Arion Adelio. Nama yang sangat bagus, tentu saja ia tak keberatan. Pria itu mengangguk. "Aku suka namanya," ucapnya tersenyum, menggenggam tangan Jemi yang membingkai pipinya.
Steven berdehem. "Oke!*" ucapnya. "Jadi, sudah diputuskan namanya Arion."
Jemi dan Arion mengangguk nyaris bersamaan.
"Boleh aku memanggil kami A?" Steven bertanya lagi.
Jemi menatap Arion dengan sepasang alis nya yang berkerut. Dia tengah berpikir.
"Apa boleh?" tanya Arion.
Sepasang alis Jemi semakin bertaut tajam mendengar pertanyaan itu. "Kok, nanya ke aku?" Dia balik bertanya. "Kamu, 'kan, yang harusnya jawab. Arion itu nama kamu." Jemi cemberut. Bibir mungilnya yang berwarna merah muda alami mengerucut.
Arion tersenyum, mengacak gemas surai cokelat kemerahan itu. "Kalo gitu boleh aja, aku nggak keberatan dipanggil A," ucap Arion menatap dokter Steven. Senyum manisnya mengembang. Sekarang ia sudah memiliki nama, bukan seseorang yang asing lagi.
Steven mengangguk. "Oke, A. Besok kita ke rumah sakit buat periksa kepala kamu. Kamu tidak keberatan, bukan?" tanyanya dengan bahasa Indonesia yang masih sedikit kaku. Kata Jemi, bahasa Indonesia-nya lebih baik daripada Felix Aguri, ayahnya. Sesuatu yang membuatnya bangga karena bisa mengalahkan pria itu yang tampak tidak memiliki kekurangan sedikit pun. Walaupun hanya satu tetap saja namanya ia lebih baik, bukan?
"Jemi ikut boleh, ya, Om?" pinta Jemi cepat. Dia juga ingin tahu bagaimana keadaan Arion.
Steven mengangguk lagi. "Boleh. Kamu memang harus ikut, Jemi. Untuk sekarang dan seterusnya selama Arion belum pulih kamu yang merawatnya." Steven menunjuk Jemi.
Gadis itu memekik gembira. "Beneran boleh, 'kan, Om?" tanya Jemi memastikan. "Om nggak bohong, 'kan?"
Steven mengembuskan napas melalui mulut pelan kemudian menggeleng. "Om perlu kamu, ada yang perlu ditanyakan nanti. Mungkin sama Pak Bram juga, 'kan, kalian berdua yang menemukan Arion. Om perlu tahu bagaimana posisi Arion saat kalian menemukannya."
"Kalo itu,.sih, Jemi kurang ingat, Om," sahut Jemi menjatuhkan kepala di bahu Arion. "Udah lama banget. Yang pasti Arion menelungkup gitu."
Arion mengernyit. Ia mendengarkan perkataan Jemi baik-baik, Tak ingin ada yang terlewat. Mungkin saja, 'kan, ingatannya bisa kembali, atau minimal ada sesuatu yang diingatnya. Walaupun sedikit itu sudah cukup, daripada tidak memiliki ingatan sama sekali. Arion mengembuskan napas, meletakkan dagu di pucuk kepala Jemi.
Steven mengerutkan kening, berpikir. Arion menelungkup saat Jemi menemukannya. Tidak ada luka serius di kepalanya, hanya ada sedikit luka robek dan bekas terkena benturan. Kemungkinan itu terjadi saat Arion dilemparkan ke pinggir jalan oleh orang yang merampoknya. Luka robek itu tidak mungkin membuat seseorang kehilangan ingatan, kecuali benturan yang dialaminya. Meskipun tidak terlalu keras, benturan bisa menyebabkan seseorang amnesia. Dari tanda-tandanya, Arion sepertinya mengidap amnesia disosiatif. Kemungkinan masih bisa disembuhkan walaupun kecil peluangnya. Namun, selama kita hidup harapan pasti akan selalu ada. Ia yakin kalau Arion pasti bisa sembuh dan mengingat semuanya kembali.
***
Membaca sebuah buku entah kenapa terasa sangat menarik bagi Arion, apalagi buku tentang hukum tatanegara. Seolah ia kembali pada keadaan yang entah pernah ia alami atau tidak, tapi ia merasa sedikit lebih nyaman. Jemi sedang tengkurap di lantai, gadis itu mengerjakan pekerjaan rumahnya. Sesekali alisnya yang berwarna senada dengan rambutnya itu terlihat mengerut, sesekali hidungnya yang seperti itu. Terkadang bibir mungil itu yang mengerucut. Yang pasti Jemi tampak menggemaskan dengan semua tingkah lucunya itu. Arion tersenyum memperhatikannya, buku hukum tatanegara yang terbuka di pangkuan tidak menarik perhatiannya lagi. Ada pemandangan yang lebih menarik dan menggemaskan lagi.
Arion menurunkan kaki. Tadi sore ia sudah belajar berjalan, dan tak ada kesulitan akan hal itu. Ia bisa berjalan selancar sebelum ia tertidur panjang. Walaupun awalnya ia masih memerlukan bantuan Jemi untuk melangkah, sesudah beberapa langkah ia bisa melakukannya seorang diri. Satu hal yang membuatnya gembira selain kehadiran Jemi.
"Kenapa? Susah, ya?" tanya Arion mengusap pucuk kepala Jemi. Ia duduk di samping gadis itu yang memutar-mutar bolpennya.
Jemi mendongak. Mengedipkan mata beberapa kali menatap Arion sebelum bergerak untuk duduk. Menyandarkan kepala di d"da Arion yang hanya berisi sedikit daging. Pria itu masih terlalu kurus, tapi Jemi tetap menyukainya. D*da dan bahu Arion tempat ternyaman untuk bersandar baginya.
"Tinggal satu lagi, A," adu Jemi dengan bibir mengerucut. "Biasanya nggak sesusah ini, gampang-gampang aja. Tapi yang ini susah banget. Kesel!"
"Nggak boleh kayak gitu.' Arion mengecup pucuk kepala gadis yang cemberut itu. "Ayo, semangat! Kamu pasti bisa!"
Jemi menjauhkan kepalanya dari d*da Arion, menatap tepat di mata pria itu. "Kamu bisa bantuin nggak, A?" tanyanya salah tingkah. Tangannya mengusap tengkuk.
Arion mengangkat bahu. "Nggak tau," sahutnya. "Aku,'kan, baru bangun, belum tentu aku bisa."
Namun, Arion mengambil buku paket matematika Jemi, menanyakan soal yang dianggap sulit oleh gadis itu. Arion mencoba menyelesaikannya, mencorat-coret kertas yang digunakan Jemi untuk menghitung, dan ia menyelesaikannya. Hanya dalam beberapa menit.
Jemi tercengang. Mulutnya terbuka, menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya. Seberapa pintar seorang Arion yang dibayarkan dokter Steven sebagai pria yang bilang ingatan, sehingga dapat menyelesaikan soal matematika yang dianggapnya sangat sulit hanya dalam waktu beberapa menit. Ini sangat hebat! Arion seorang jenius.
"Ini kayaknya benar." Arion menunjuk hasil dari siap yang tadi dikerjakannya. "Coba kamu hitung lagi."
Jemi menggeleng. "Nggak perlu!" sahutnya cepat. Dia terlalu malas untuk menghitung. Melihat deretan angka-angka di buku itu membuat pandangannya berkunang-kunang. "Aku percaya sama kamu." Jemi tersenyum lebar, meluk Arion dan mengecup pipinya sekali. "Makasih, A."
Arion juga tersenyum. Semua perlakuan lembut Jemi membaut dadanya menghangat. Ia merasa sangat diterima dan disayangi oleh Jemima Aguri. Malaikat penyelamatnya yang cantik dan selalu menebarkan keceriaan di mana pun dia berada.