Part 3 - Let's Falling on love

2232 Kata
Pacaran tapi sama-sama saling menyakiti, itu tujuannya apa? Lelah tapi sama-sama tidak mau berpisah, maunya bagaimana? ©©© Radea tertawa kecil di sepanjang lorong menuju kelasnya. Dia teringat tindakannya yang sangat berani mencium seorang pria dewasa walaupun hanya sebatas pipi. Astaga, Radea menggelengkan kepala mengingat kelakuannya. Bukankah itu sama saja kasus pelecehan? Bagaimana kalau Om-Om itu melaporkannya ke polisi? Bisa mati dia. Langkah Radea terhenti saat matanya melihat sosok lelaki yang muncul dari lorong sebelah kiri bersamaan dengan seorang gadis yang berjalan seiringan. Mereka berdua tertawa entah membicarakan apa. Pemandangan itu membuat dirinya merasa miris. Bagaimana bisa dia terasa seperti orang asing diantara kedua sahabat itu. Mengakunya sahabat, tapi lihat saja kelakuannya sudah seperti orang yang tengah kasmaran. Bolehkan kalau dia merasa iri, kesal pada lelaki itu? Dirinya saja jarang sekali diantar jemput ke sekolah. Giliran gadis itu saja, hampir setiap hari berangkat-pulang selalu bersama. Dia ini kekasih lelaki itu, kenapa jadi dia yang merasa seperti selingkuhan disini? "Kevin?" panggil Radea. Lelaki tadi berhenti dan berbalik melihat Radea yang berdiri hanya beberapa meter darinya. Lelaki bernama Kevin Jiwa Satria itu adalah kekasih dari Radea sudah hampir dua tahun. Kevin adalah anak Hukum sedangkan Radea adalah anak Manajemen. Mereka bertemu tidak sengaja saat Radea tengah mengikuti turnamen basket yang diadakan kampusnya. Kevin saat itu menjadi anggota BEM yang mengurus pertandingan. Singkat cerita mereka berkenalan dan semakin dekat lalu lelaki itu menembak Radea lalu jadilah mereka berpacaran. Namun, kehadiran gadis bernama Genasti Adiyana Prasasti yang berdiri di samping Kevin saat ini merusak segalanya. Mereka memang sahabat, Dea juga tau tentang itu sejak awal. Tapi lama-lama hubungan sahabat mereka membuat Dea menjadi geram sendiri. Kevin lebih banyak menghabiskan waktu bersama Gena dibanding dirinya. Salah tidak sih kalau dirinya ingin lebih diperhatikan dari gadis itu? "Dea, mau ke kelas?" tanya Kevin menghampiri Radea. "Iyalah ke kelas! Kamu pikir mau kemana lagi? Ke posyandu? Mana ada di kuliah posyandu? Pertanyaan kamu gak mutu!" ketus Radea. "Aku tanya baik-baik, De. Kamu kenapa jutek banget gitu sih?" "Em Vin? Gue ke kelas duluan yah. Gue duluan, Dea." ujar Genasti mengerti situasi lalu pergi meninggalkan Kevin dan Radea. "Tuh sahabatnya pergi! Gak mau disusulin? Anterin sampai depan kelas, siapa tau nanti lecet di perjalanan." "Dea, kita udah sering berdebat soal kayak begini! Kamu gak bosen?" "Kamu pikir aku suka ribut sama kamu dengan masalah yang itu-itu mulu? Semuanya juga berawal dari kamu, Vin!" "Aku lagi? Bukan kamu yang terlalu curigaan dan possessive ke aku?" "Apa? Possessive? Kasih tau aku dimana letak sikap aku yang possessive? Aku gak pernah larang kamu sahabatan sama dia! Aku cuma pengen kamu bisa menempatkan aku lebih utama daripada Gena. Apa salahnya sih?" "Dari awal aku udah pernah jelasin, Gena itu sahabat aku dari kecil. Dia udah gak punya orang tua dan tinggal sama kakaknya doang. Dia gak ada yang anter-jemput kalo kuliah. Sedangkan rumahnya jauh, aku gak tega liat dia harus jalan dari rumah ke kampus. Kamu tau juga kalau dia anak gak berada. Gak kayak kamu." "Kenapa kamu jadi bandingin dia sama aku? Apa itu salah aku kalau Papaku orang yang berada? Kamu mau aku kayak Gena dulu biar kamu bisa anter-jemput aku tiap hari? Pergi berdua bareng, jalan bareng, diperhatiin sama kamu. Apa aku harus gak punya orang tua dulu biar kamu juga melihat aku, itu maksudnya?" "Bukan itu maksud aku, De." "Kamu tau gak? Papa aku juga lagi sakit parah, Vin. Dia sampai harus berobat ke luar negeri buat sembuhin penyakitnya. Apa kamu tau kalau sekarang aku harus tinggal di rumah temen Papaku? Apa kamu tau apa yang terjadi sama orang yang kamu bilang berada ini? Kamu cuma melihat penderitaan pada satu orang tanpa mau tau kalau orang lain juga sama-sama terluka. Setiap orang punya masalah, termasuk aku orang yang berada ini." "Aku gak bermaksud gitu, De. Aku minta maaf. Aku salah, iya aku gak seharusnya membandingkan kamu sama Gena." "Kita udah puluhan kali ribut soal Gena! Kamu tau gak sih lama-lama aku muak. Kalau kamu mau lebih care sama dia gapapa. Seharusnya yang kamu jadiin pacar itu bukan aku tapi dia." "Aku cuma sayang ke kamu, De. Aku gak pernah punya perasaan lebih sama Gena." "Tapi kamu selalu nyakitin aku setiap kali kamu bareng sama dia. Tanya deh sama cewek lainnya, apa mereka mau berada di posisi aku? Ngertiin pacarnya yang lebih perhatian sama sahabat ceweknya. Gak ada yang bisa sesabar aku ngadepin kamu, Vin." "Iya aku tau, maafin aku Sayang. Aku gak punya maksud sama sekali buat nyakitin kamu." ujar Kevin memelas. "Kalau kamu terus kayak begini. Kalau kita cuma bisa saling menyakiti satu sama lain. Kenapa gak berhenti aja disini? Gak perlu dilanjutin lagi." ujar Dea menahan air matanya. Radea sedih, tentu saja dia pasti sangat sedih. Hubungan yang sudah dia jaga selama dua tahun, berusaha bersikap sabar menghadapi tingkah aneh Kevin dengan sahabatnya itu. Namun semakin lama, Dea juga tidak bisa terus seperti ini. Kalaupun Kevin lebih memilih Gena, dia ikhlas. Selama pertengkaran mereka yang sebelumnya, Dea tidak pernah mengatakan kata untuk mengakhiri hubungannya. Sekarang mungkin waktu yang tepat. "Kamu ngomong apa sih, Dea?!" ujar Kevin dengan nada marahnya. "Kalau kita putus, kamu akan lebih bebas perhatian sama Gena. Gak perlu harus dapet omelan dari aku tiap hari." "Aku gak mau kita putus! Please De, jangan begini. Aku sayang sama kamu lebih dari perasaan aku ke Gena yang seorang sahabat. Aku gak mau kehilangan kamu." "Kamu gak mau kehilangan tapi sikap kamu gak menunjukkan itu semua." "Aku gak mau putus. Kasih aku kesempatan, De. Aku mohon, Sayang." "Kita bahas nanti, aku masuk kelas dulu." ujar Dea. "Iya, kita bahas nanti. Aku anter kamu ke kelas yah?" "Gak perlu! Aku bisa ke kelas sendiri." "Ayolah Sayang, jangan jutek ke aku kayak begini." "Aku duluan!" Setelah mengatakan itu, Radea langsung pergi meninggalkan Kevin. Dia sudah muak dengan segala sikap Kevin. Lelaki itu akan selalu bersikap manis hanya saat dia sedang marah saja. Radea menghela nafasnya lelah. Lelaki itu yang menyakiti, tapi dia juga yang bersikeras mempertahankan hubungan ini. Radea menggelengkan kepala mengusir pikirannya tentang Kevin, kuliahnya jauh lebih penting dari lelaki itu. ©©© Yudhis baru saja selesai meeting dengan para karyawannya membahas mengenai berbagai perhiasan yang nanti akan dipamerkan dalam show yang diadakan tahun depan. Berbagai model design perhiasan serta macam-macam bentuk berlian yang akan dipamerkan juga sudah mulai dipersiapkan sejak dini. Pekerjaan ini tidak terlalu menyulitkan Yudhis, setidaknya dia bersyukur tidak harus mengurus perusahaan properti seperti yang Antariksa kerjakan. Jujur, dia sedikit tidak menyukai kerja yang mengharuskan sesekali meninjau lapangan. Bilang saja, Yudhis malas berurusan dengan banyak orang. Dia lebih memilih berada di ruangan tertutup dan berinteraksi dengan sedikit orang seperti karyawan ataupun klien-nya. "Permisi Pak, tadi saat Bapak sedang rapat Pak Rivaldi menelepon. Katanya nanti kalau Bapak sudah selesai rapat disuruh untuk menelepon beliau." Baru saja dia sampai di depan pintu ruangannya, sekretarisnya sudah berbicara. Yudhis hanya mengangguk sekilas lalu masuk ke dalam ruangan. Dia mengambil ponsel yang sengaja dia tinggal di meja kantornya saat tengah rapat. Dia melihat tiga panggilan tidak terjawan dari Papanya. Yudhis menekan nomor Rivaldi, menelepon kembali lelaki paruh baya itu. "Papa tadi telepon?" ujar Yudhis saat panggilannya diangkat. "Iya, kamu udah selesai rapatnya?" "Udah, baru aja selesai. Kenapa Pa?" "Bisa jemput Radea sekarang? Kamu udah gak ada kerjaan lagi kan?" "Kenapa Yudhis? Bukannya ada Supir di rumah? Memangnya Om Sastro gak kasih fasilitas apapun ke anaknya waktu dititipin ke kita?" tanya Yudhis jengah. "Supirnya Radea lagi ambil cuti. Dia baru mulai kerja lagi besok, kamu sore ini juga udah gak ada pertemuan apapun lagi kan? Sekretaris kamu udah kasih tau ke Papa jadwal kamu." Yudhis menghela nafasnya, "oke, Yudhis jemput dia sekarang. Ada lagi yang perlu Yudhis lakuin?" "Ini keponakan kamu yang mau ngomong... Sebentar Elang." Yudhis tersenyum kecil mendengar suara teriakan Elang dari seberang teleponnya. "Uncle! Uncle! Elang mau es krim yang waktu itu kita pernah makan dong. Uncle beliin ya ya ya? Uncle baik deh, ganteng, gak pelit kayak Mama." Yudhis tertawa mendengar perkataan Elang yang memuji-muji dirinya saat menginginkan sesuatu. Senjana memang tidak suka jika Elang terlalu banyak memakan es krim. Di rumah sebenarnya mereka mempunyai berpak-pak persediaan es krim namun Elang diberikan batasan untuk memakannya oleh Senjana. Karena itulah anak itu sering merengek pada Yudhis untuk dibelikan es krim yang memang dia tidak pernah bisa menolak keinginan keponakan tersayangnya. "Nanti Uncle kena marah sama Mama kamu. Elang udah ijin belum minta es krim ke Uncle?" "Yaaaahhhh Uncle! Please... Kayaknya Elang ngidam es krim deh, Uncle. Beliin yaah?" Sekali lagi, Yudhis benar-benar tergelak saat ini. Dia bahkan sampai memegangi perutnya saking ngakaknya. "Kamu tau kata ngidam dari mana, Elang? Astagfirullah, ini anak umur empat tahun udah kegini gimana gedenya? Hahaha...." "Iihh nanti Eyang! Elang masih mau ngomong sama Uncle dulu. Eyang duduk manis aja disitu, tuh nonton Upin Ipin betul betul betul." "Astaga Elang! Uncle udah gak kuat, nyerah Uncle! Mama kamu ngidam apa sih sampai punya anak saklek kayak kamu?" ujar Yudhis tambah tertawa mendengar Elang berbicara pada Eyangnya. "Uncle!! Elang pokoknya mau es krim!! Kalau Uncle gak beliin, Elang kesel pokoknya." Panggilannya diputus secara sepihak oleh Elang, meninggalkan Yudhis yang masih dengan sisa tawanya. Dia menggelengkan kepalanya, perasaan kedua orang tuanya tidak saklek seperti Elang. Kenapa Elang justru seperti itu? Kalau dipikir-pikir sifatnya yang suka guyon justru mirip dengan sahabat dari Papa dan Uncle nya. Siapa lagi kalau bukan si Ucup, mungkin memang benar kata orang untuk jangan terlalu membenci seseorang saat istri mereka hamil. Buktinya seperti Antariksa, anaknya justru jadi lebih mirip Ucup sifatnya. Beruntung saja wajah ganteng Antariksa menurun pada bocah itu. Jadi sedikit bisa menutupi kesaklekan dari Ragarha Elang Sabhara. Yudhis mengatur nafasnya untuk mengembalikan raut wajahnya seperti sedia kala. Memang seperti ini, dia selalu tidak bisa untuk tidak tertawa saat bersama Elang. Hanya bocah itu yang mampu membuatnya menjadi orang normal seperti yang lainnya. Tertawa, bercanda, mengeluarkan berbagai emosi yang tidak bisa dia keluarkan selama ini. Setelahnya Yudhis beranjak dan bersiap pergi ke sekolah gadis pengganggu nakal yang berani-beraninya mencium pipinya tadi pagi. Dia masih tidak percaya, gadis semuda Radea ingin menggoda pria yang bahkan usianya terpaut jauh dari dirinya. Benar-benar gadis tidak waras, itu yang ada dalam pikiran Yudhis. "Eh ada si Om, ngapain disini? Mau cari mangsa yah, Om? Yang lain aja, Om. Dedek masih kecil belum siap buat diajak aselole." Itulah kalimat pertama yang keluar dari bibir Radea saat melihat mobil dari Yudhis berhenti di depannya. Sengaja ingin membuat lelaki itu kesal. Dan memang benar, Yudhis sudah emosi mendengarnya. Baru sampai saja sudah membuat dia ingin mencekik gadis itu, apalagi berduaan dalam mobil. Bisa terjadi perang dunia ketiga mungkin. "Mulut kamu kalau gak bisa dikunci, saya tinggal disini!" "Yaelah si Om emosian deh orangnya. Bercanda ih, diambil hati banget sih. Tiati nanti Dea menetap di hati buat selamanya loh, Om." "Oke saya tinggal!" ujar Yudhis menjalankan mobilnya pelan. "Eh eh iya! Ini Dea mau masuk aelah. Dasar Om-Om nyebelin!" ujar Dea langsung menyambar pintu mobil. Dea masuk sambil bersungut-sungut, dia memasang seatbelt dengan wajah kesalnya. Saat dia melihat kaca depan mobil, pergerakan dia terhenti. Disana depan gerbang, dia melihat seorang gadis berambut sebahu tengah berdiri menunggu seseorang, lalu tidak lama kemudian sosok lelaki muncul menggunakan motornya. Radea tidak perlu menebak siapa yang berada di atas motor tersebut. Dia cukup paham dan sangat mengenal motor dan postur tubuh tegap dari lelaki itu. Benarkan apa yang dia katakan? Lelaki itu sendiri yang bekata bahwa dia tidak mau kehilangannya tetapi sikap lelaki itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia takut kehilangan. Lalu sekarang Radea harus bagaimana? Putus tapi masih sayang, tidak putus tapi sakit hati. "Ngapain bengong ngeliatin orang pacaran? Pengen? Makanya cari sana! Dasar jones!" celetuk Yudhis menatap Radea tengah menatap kedua pasang remaja depan mobilnya. Radea mengalihkan pandangannya, dia melihat Yudhis sudah mulai menjalankan mobilnya meninggalkan kedua remaja tadi. "Siapa bilang gue gak punya pacar? Gue punya kok. Emang situ, gak laku-laku." cibir Radea kesal. "Siapa bilang saya gak laku? Cewek yang antri pengen jadi pasangan saya itu banyak. Emangnya kamu, tukang ngehalu." "Ish! Gue gak halu yah, Om! Itu tadi yang cowok pake montor tuh pacarnya Dea. Dia lagu nganterin sahabatnya pulang!" "Eleh! Mana ada cowok lebih milih anterin sahabat ceweknya dibanding pacar sendiri. Kamu gak capek apa ngehalu terus?" "Emang dia pacar gue kok!!" bentak Dea mengeluarkan kekesalannya. "Mana ada orang yang bakal percaya kalau ngeliat cowok tadi terus kamu tiba-tiba ngaku pacarnya dia padahal cowok itu sama cewek lain. Kamu pikir saya bodoh?" "Terserah! Kenyataannya cowok itu emang pacar gue kok." "Kamu gak usah ngehalu gitu terus, lebih baik halunya dituangin ke cerita. Buat novel, biar nanti jadi gak gila gini." "Mau gue ngomong sampai berbusa toh Om tetep gak percaya. Capek gue, Om! Capek hati, capek badan, capek pikiran. Bokap gue punya segalanya, tapi kenapa gue selalu gak bisa dapetin apa yang benar-benar gue pengen?" Yudhis melirik Radea sekilas, melihat gadis itu tidak menampakkan raut wajah bercandanya lagi. Gadis itu lebih terlihat seperti orang yang tengah kesepian. Berkata dengan nada putus asa, seperti sudah pasrah apapun yang terjadi. "Gak semua hal di dunia ini bisa dibeli, Ra. Kalau kamu belum bisa dapetin yang kamu mau, nanti juga kamu bakal dapet yang lebih baik dari yang kamu mau itu. Tuhan punya rencananya masing-masing, dan semua itu perlu proses." ujar Yudhis dengan bijak. Radea menoleh menatap Yudhis, dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia tidak mampu menyangkalnya karena pria itu memang benar. Radea tersenyum manis menatap Yudhis yang masih fokus ke jalanan depannya. "Let's falling in love, Om!" ©©© TBC

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN