[1] Insiden Tidak Menyenangkan

1084 Kata
Seorang gadis dengan rambut sepunggung tengah mengoleskan lipstik di bibir. Manik matanya menatap lekat ke arah cermin yang ada di depannya, memastikan jika tidak ada yang salah dengan penampilannya. Bukan hanya itu, dia juga tampak begitu ceria. Hingga dering ponsel terdengar, membuat gadis itu mengalihkan pandangan, menatap ke arah layar. Kedua sudut bibirnya langsung tertarik ketika melihat nama yang tertera di layar, membuatnya mengambil ponsel dan mengangkat panggilan. “Ailen.” Ailen Adena, gadis berusia dua puluh tiga tahun itu langsung menjauhkan ponsel ketika suara dari seberang terdengar melengking. Dia tidak ingin membuat telinganya menjadi bermasalah karena ulah sahabatnya. Hingga beberapa waktu kemudian, dia kembali mendekatkan ponsel ke telinga secara perlahan, memastikan kalau keadaan sudah mulai aman. “Kamu sudah bisa mendengar dengan baik?” tanya Aruna—sahabat Ailen. Ailen yang ditanya langsung tersenyum lebar. “Aku bisa mendengar, Runa,” jawab Ailen tanpa dosa sama sekali. “Aku sudah benar-benar kesal dengan kamu, Ailen. Aku sudah menunggu kamu berjam-jam dan kamu belum datang. Kamu tahukan kalau sekarang mata kuliah Pak Kenzo? Kamu tahukan seketat apa dia dalam mengajar?” Aruna yang berada di seberang langsung mengomel, meluapkan emosi. “Iya, sebentar lagi aku juga berangkat. Lagi pula pelajaran Pak Kenzo masih satu jam lagi, Runa. Aku pasti bisa menjemput kamu dan datang ke kampus tepat waktu,” ucap Ailen dengan penuh percaya diri. “Kam—” “Sudah, aku matikan dulu panggilannya. Kalau kamu telfon, aku gak bisa berangkat ke rumah kamu. Jadi, sampai ketemu nanti,” sela Ailen ketika Aruna terdengar akan kembali mengomel. Dia bahkan langsung mematikan panggilan, tidak menunggu jawaban lebih dulu. Ailen segera mengambil tas di dekatnya dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dengan tenang, dia bangkit dan melangkahkan kaki. Ailen tahu jika dia sudah cukup terlambat. Hari ini adalah mata kuliah dari salah satu dosen yang dikenal begitu galak. Kalau dibilang Ailen ingin mencari masalah dengan pria itu, jelas jawabannya tidak. Pasalnya, di akhir masa perkuliahannya, Ailen tidak ingin mendapatkan masalah dengan siapa pun. Dia ingin menikmati masa kuliahnya dengan sangat baik. Hanya saja, pagi ini dia bangun kesiangan, membuatnya harus terlambat satu jam untuk menjemput sahabatnya. Ailen semakin mempercepat langkah ketika melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Hanya tinggal satu jam waktunya supaya sampai ke kampus tepat waktu. Dalam hati, Ailen terus berdoa supaya tidak macet di jalan. Kakinya juga mulia menuruni satu per satu anak tangga, menuju ke arah lantai dasar. Hingga dia yang berada di lantai dasar pun langsung berlari ke arah meja makan. “Ailen, jangan lari-lari,” tegur Bellona—mama Ailen. Namun, Ailen tidak mendengarkan sama sekali. Dia yang baru saja sampai di meja makan pun langsung meraih gelas berisi s**u dan meneguknya. Tangannya meraih satu lembar roti yang sudah diolesi dengan selai strawberry. “Ailen, pelan-pelan,” ucap Bellona kembali. “Aku buru-buru, Ma,” sahut Ailen dan meletakkan gelas yang sudah tidak lagi berisi. Dengan cepat, dia meraih tangan sang mama dan mengecupnya. “Aku berangkat dulu,” lanjut Ailen dengan cepat. Bellona baru saja membuka mulut dan siap menyahut, tetapi Ailen sudah lebih dulu pergi, membuat sang mama hanya mampu membuang napas dan menggelengkan kepala kecil. “Dasar anak satu itu,” gumam Bellona, tidak heran dengan tingkah putri semata wayangnya. *** “Kan, aku bilang juga apa. Jangan berangkat siang, Ailen. Tapi kamu tetap aja ngotot. Sekarang kita kejebak macet dan sebentar lagi jam pelajaran dosen galak itu sudah mau dimulai,” oceh Aruna dengan raut wajah masam. Bahkan sepanjang perjalanan, gadis itu tidak berhenti sama sekali. Sedangkan Ailen yang ada di belakang kemudi hanya diam. Dia tahu kesalahannya, membuatnya tidak bisa mengelak sama sekali. Ailen sendiri merasa jika dia pantas untuk mendapatkan amukan itu. “Ailen, kamu mendengarkan aku, kan?” tanya Aruna karena Ailen yang hanya diam. “Aku dengar, Runa,” jawab Ailen tidak bersemangat. Pasalnya, telinganya sudah benar-benar panas karena terus mendengar ocehan dari sahabatnya itu. “Kalau begitu, kenapa gak jawab?” Aruna menatap ke arah sahabatnya dengan tatapan menantang. “Karena aku sedang fokus dengan jalanan,” jawab Ailen dengan tenang. “Lagi pula, kamu juga tidak akan mendengarkan alasan apa pun kalau masih marah dan kesal, kan? Itu sebabnya aku tidak menjawab.” Aruna yang mendengar hal itu pun membuang napas kasar. Dia tahu, jika dia sudah marah, dia tidak akan mendengarkan siapa pun. Hingga dia mencoba menenangkan diri, menghilangkan ketakutan yang sejak tadi dirasa. Pasalnya, dia benar-benar takut jika bermasalah dengan dosen satu itu. Dia takut jika masalah kali ini akan berdampak dengan kelulusannya kelak. Ailen yang melihat hal itu memilih diam dan fokus dengan jalanan. Dia menatap ke arah jalanan yang cukup padat, mencoba mencari celah agar bisa keluar dari masalah kali ini. Tiga puluh menit berada dalam situasi tidak mengenakan, Ailen akhirnya bisa keluar. Dia segera menuju ke arah kampus dengan cepat. Dia tahu jika dia sudah benar-benar terlambat. Hingga dia yang sudah memasuki pelataran kampus pun segera memarkirkan mobil. Ailen dan Aruna segera keluar. Keduanya berlari dengan sangat cepat, berharap masih mendapatkan izin untuk masuk. Pasalnya, hari ini ada ujian dan Kenzo tidak pernah mengizinkan mahasiswanya mengikuti ujian di kelas lain. Hingga keduanya memasuki gedung dan siap menuju ke kelas. Sayangnya, hal itu tidak berjalan dengan baik. Ailen yang tidak melihat jalan tanpa sengaja menabrak seseorang. “Aduh,” pekik Ailen ketika sedikit terdorong ke belakang. Tubuhnya terhuyung dan siap jatuh. Ailen memejamkan mata, menunggu tubuhnya menyentuh benda keras di bawah. Namun, sampai beberapa waktu, dia tidak merasakan apa pun. Dengan tenang, dia membuka satu mata, memastikan jika dia tidak sedang menjadi tontonan. Tepat saat itu, Ailen terdiam. Deg. Ailen yang melihat manik mata di depannya hanya mampu bungkam dengan mulut setengah terbuka. Raut wajahnya benar-benar terlihat seperti orang bodoh karena tidak juga memberikan reaksi. Dia masih terpana dengan manik mata jernih yang saat ini menatapnya. Ditambah dengan hidung bangir dan alis tebal, membuat pria di depannya tampak begitu mempesona. “Sudah cukup mengagumi wajah saya?” Ailen yang mendapat teguran itu langsung tersentak kaget. Dengan cepat, dia membenarkan posisi berdirinya dan merapikan pakaian. Dia menelan saliva pelan, menatap pria di depannya dengan kepala tertunduk. Rasanya malu karena dia yang tertangkap basah. Selain itu, melihat kemeja yang dipenuhi dengan tumpahan kopi, Ailen tahu jika itu terjadi karena ulahnya. “Maaf, Pak,” ucap Ailen. Tangannya menggenggam erat tali tasnya. Namun, pria itu tidak menjawab. Dia malah mengalihkan pandangan dan menatap ke arah lain. “Datang ke ruangan saya sekarang juga,” perintah pria itu dengan tegas, membuat Ailen kembali menciut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN