Lalu lalang kendaraan serta banyaknya turis yang berjalan menjadi pemandangan Hani yang tengah berada di pasar Beringharjo untuk menemani ibunya belanja. Rencana rebahan Hani untuk menghabiskan waktu libur pun gagal lagi, karena dia lupa kalau hari Minggu ini ada gotong royong warga untuk membersihkan komplek rumah mereka. Dan Ratih, ibu Hani dipasrahi untuk membeli makanan tradisional.
“Cari lupis di mana, Bu?” tanya Hani karena ibunya sudah membeli jajanan bernama jadah tempe, meniran dan semar mendem.
“Di bagian ujung sana yang udah langganan ibu,” jawab Ratih lalu menggandeng tangan putrinya yang tampak masih ngantuk.
Hani cukup heran karena ibunya terlalu banyak membeli jajanan pasar. Tapi mana bisa dia protes dan cuma bisa mengikuti ke mana pun sang nyonya melangkah. Dan begitu tas belanja penuh, mereka berdua akhirnya pulang karena sudah hampi jam 9 pagi.
Piring-piring bambu yang berisi jajanan pasar pun keluar dari rumah Hani untuk disajikan di pos ronda, titik di mana semua warga komplek berkumpul. Mereka tengah beristirahat setelah sejak pukul 6 pagi membersihkan jalan, masjid, taman komplek, parit dan tempat-tempat umum lainnya. Namun seperti biasa, kehadiran Hani dianggap “mengganggu” untuk sebagian orang karena status jandanya itu. Kadang ketika Hani menyapa pun akan diabaikan, cuma beberapa yang membalasnya.
Entah apa yang Hani perbuat sampai harus mendapatkan perlakuan seperti ini. Berbeda sekali jika dia adalah seorang duda, bagi orang-orang pasti bukan masalah. Hani sampai berpikir, apakah orang tuanya terbebani oleh kondisinya ini?
“Assalamu’alaikum, mbak Hani,” sapa seorang pemuda yang Hani kenal bernama Heru.
“Waalaikumsalam, Mas,” balas Hani tidak lupa tersenyum.
Tapi senyum Hani perlahan hilang saat menyadari kalau dia tengah diperhatikan oleh sebagian ibu-ibu. Hani pun mengambil satu langkah mundur supaya tidak terlalu dekat jaraknya dengan Heru yang ada di hadapannya. Karena dia tahu Heru adalah sosok yang dikenal di kompleknya sebagai “orang kaya” setelah bekerja lama di Jepang namun masih perjaka.
Rumornya akan dijodohkan dengan salah satu pemudi komplek bernama Saras yang bekerja di bank. Tapi ada rumor juga kalau Heru menyukai Hani dan tidak masalah dengan status jandanya. Masalahnya, Hani tidak mau juga namun orang-orang sudah menganggapnya seolah menjadi orang ketiga di antara Heru dan Saras.
“Apa kabar? Kayaknya jarang keliatan minggu-minggu ini,” tanya Heru yang membuat Hani merasa kikuk ditanyai begitu.
“Mm ... Alhamdulillah baik, Mas. Sekarang lagi ada kompetisi di kampus jadi cukup sibuk,” jawab Hani yang tidak enak kalau misal dia menghindari pertanyaan dari Heru.
Kepala Heru manggut-manggut memahami jawaban Hani. Tapi saat dia akan bertanya lagi, Hani tiba-tiba menyelanya.
“Kalau gitu aku duluan karena mau bantu di masjid, Mas. Assalamu’alaikum,” kata Hani sekalian berpamitan.
“Waalaikum—“
Belum juga Heru selesai membalas salam Hani, wanita itu sudah pergi menuju masjid. Padahal dia hendak bertanya apakah bisa meminta waktu berbicara dengan Hani berdua saja. Karena memang benar rumor kalau dia menyukai Hani dan bukan pada Saras.
Tapi Hani yang tidak mau terlibat gosip lagi padahal dia cuma diam pun memilih kabur. Lebih baik bersembunyi di ketek ibunya yang kini berada di dalam masjid, sampai ibunya kaget karena kedatangan putrinya yang tiba-tiba.
“Ada apa sih, ndok?” tanya Ratih saat dia sedang menyapu lantai masjid.
“Ada Mas Heru, Buk,” jawab Hani dengan wajah cemberut.
Ratih tertawa mendengar jawaban putrinya. Dia langsung paham akan situasinya dan segera menyuruh Hani untuk menuju dapur masjid dan mencuci gelas di sana. Tempat persembunyian paling pas.
***
Begitu selesai, warga akhirnya bubar dan mulai melanjutkan kegiatan pribadi masing-masing. Terlihat ada yang menyiram tanaman, menyuapi anak makan atau cuma menjaga mereka yang sedang main. Hani melihat itu dengan senyuman yang dalam. Sebab ada rasa iri yang dia rasakan saat ini karena ingin juga memilki buah hati.
Namun sayangnya pernikahannya yang masih cukup singkat waktu itu sudah kandas dengan Fadli. Tanpa anak karena mereka masih berjuang bersama untuk memilikinya saat itu. tapi syukurnya Hani bisa lebih mudah mengajukan cerai karena tidak perlu ada yang dikhawatirkan seperti misalnya mental anak.
Sampai di rumah, Hani melihat jika ada mobil yang cukup familiar untuknya. Mobil tersebut terparkir di halaman rumah Hani yang memang luas karena termasuk rumah desain lama yang kadang perlu perawatan ekstra.
“Kamu?”
Hani begitu terkejut ketika melihat Fadli ada di ruang tamu rumahnya. Seketika dia ingat mobil yang dia lihat adalah milik pria ini.
“Kenapa kamu kemari?” tanya Hani tanpa basa-basi
Hal itu membuat Fadli canggung padanya. Apalagi ekspresi Hani tampak tidak senang dengan kehadirannya.
“Fadli bapak minta ke sini karena kemarin bapak minta bantuan untuk ganti lampu, ganti genteng dan panen singkong di kebun belakang,” jawab Hanif yang muncul bersama nampan berisi pisang rebus dan teh manis hangat menuju ruang tamu, mewakili Fadli yang sepertinya kebingungan untuk menjawab.
Dahi Hani berkerut bingung karena biasanya ada tukang yang membantu melakukan itu, tukangnya juga tinggal di dekat rumah mereka ini.
“Si Dadang lagi ada proyek di luar kota, nggak bisa bantu bapak benerin rumah, ndok,” ujar Hanif sebelum putrinya mengajukan protes.
Akhirnya Hani cuma bisa menghela napas. Jika memang ayahnya yang meminta bantuan dan lebih percaya kalau Fadli yang melakukannya, maka Hani tidak bisa beragumen apapun. Dia pun akhirnya permisi untuk masuk ke kamarnya guna membersihkan diri. Tapi pamitnya pada Hanif, bukan Fadli yang masih akan dia cueki.
“Yang sabar ya, Nak. Anaknya bapak emang begitu,” kata Hanif disertai tawa.
Fadli menganggukkan kepalanya, dia bahkan belum bersuara sejak kemunculan Hani. Tapi setidaknya dia bisa melihat mantan istrinya itu setelah kemarin juga bertemu.
“Baik, Pak ... Fadli akan sangat sabar karena ini adalah bentuk keseriusan Fadli.”
Maksud kedatangan Fadli memang betul untuk membantu mantan mertuanya membenarkan lampu dan genteng. Fadli sendiri juga yang mengajukan diri saat Hanif mengatakan ada area rumah yang bocor dan lampunya mati, tapi Hanif tidak bisa naik tangga karena pernah jatuh.
Dia dengan setelan pakaian santai pun kini menaiki tangga di sisi rumah tempat dapur berada untuk membenarkan genting yang bocor. Di bawah sudah ada Hanif yang membantu memastikan tangga aman untuk dinaiki. Mereka bekerja sama kemudian untuk melihat apakah genting sudah terpasang dengan baik.
“Supah pas, Fad. Kamu bisa turun,” kata Hanif.
“Baik, Pak,” sahut Fadli dari atas.
Tapi Fadli belum turun karena dia kemudian membersihkan genting dari daun-daun kering serta membersihkan talang air dari sumbatan. Hanif berterima kasih sekali karena Fadli melakukan itu apalagi sudah akan musim hujan, pastinya sumbatan akan menjadi masalah besar nantinya.
Meski panas berada di atas rumah seperti ini, tapi pekerjaan ini sudah sering Fadli lakukan karena dia dulu tinggal di pondok. Dilatih hidup mandiri serta menjadi kakak untuk santri lainnya tentu membuatnya belajar bertanggung jawab. Bahkan dianggap sebagai santri putra dan senior terbaik saat itu.
“Kene ngome sik, Fad. Capek pasti,” ajak Hanis pada Fadli yang baru saja turun dari melalui tangga.
(*Kene ngombe sik = sini minum dulu)
“Nggih, Pak. Matur nuwun.”
Fadli dan Hanif duduk di teras belakang rumah yang lebih sejuk dibanding teras depan. Itu karena pohon rambutan yang tumbuh rindang di sana. Suguhan pun menjadi lebih banyak dengan es teh yang langsung menarik perhatian Fadli untuk melegakan tenggorokannya. Isi gelasnya sampai hampir tandas.
“Nanti kalau kurang ambil lagi di dapur, Fad. Nggak usah sungkan. Ini soalnya Bapak dipanggil pak RT di depan untuk cek sesuatu. Tinggal dulu, ya?”
“Nggih, Pak.”
Karena masih terasa kurang minum es teh cuma segelas, Fadli pun masuk ke dapur untuk mengisi penuh lagi gelasnya.
***
Setelah mandi Hani duduk di depan meja riasnya sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Mengaplikasikan juga pelembab dan sunscreen kepada kulit wajahnya sampai area leher lalu menggunakan handbody pada tangan dan kakinya. Untuk mengeringkan secara maksimal rambutnya yang baru keramas, proses selanjutnya adalah menyalakan pengering rambut.
“Akhirya selesai juga,” gumam Hani yang menyadari step merawat diri sungguh panjang.
Rambutnya yang hitam dan lurus pun menjadi kering dan rapi. Kini dia keluar kamar untuk mengambil air minum karena di kamarnya sudah habis. Tapi dia lupa kalau di rumahnya masih ada Fadli yang tidak seharusnya melihatnya tanpa menggunakan hijab dan bahkan saat dirinya hanya menggunakan daster lengan pendek serta sepanjang lutut saja.
Jadi saat dia baru saja di masuk ke dapur, Hani pun bertemu dengan Fadli yang baru saja menuang es teh ke dalam gelas yang ada di tangannya. Mereka saling melihat diri masing-masing tapi yang paling dibuat terkejut tentu Fadli karena tidak menyangka kalau dia akan melihat Hani tanpa hijab dan pakaian rumahan yang—
“AAAA!! Tutup mata kamu!” teriak Hani yang baru saja sadar dari keterkejutannya.
Diteriaki begitu pun Fadli otomatis menutup matanya rapat-rapat.
“Balik badan!” teriak Hani lagi yang tidak percaya kalau Fadli bisa saja mengintip nantinya.
Lagi-lagi tubuh Fadli bekerja sendiri untuk membalikkan tubuhnya ke arah lain sehingga membelakangi posisi Hani berada. Jantungnya juga berdegup kencang karena melihat apa yang harusnya tidak boleh dia lihat. Dan begitu langkah kaki beranjak menjauh dari dapur, Fadli pun merasa lega.
Dia segera keluar dari dapur untuk menghindari pertemuan dengan Hani yang mungkin ingin mengambil sesuatu. Duduk dengan menghela napas berkali-kali, memegangi dadanya yang belum berhenti berdetak cepat. Bayang-bayang Hani dengan tampilan tanpa hijab pun kembali terlintas di mata Fadli.
“Hani cantik bang—Astaghfirullah!”
Fadli menabok mulutnya berkali-kali yang hampir saja memuji kecantikan Hani tanpa hijab padahal itu bukan hal yang boleh dia lakukan. Hani adala mantan istrinya yang tidak bisa dia lihat kalau sedang tidak menutup aurat.
“Kalau aja kita masih sama-sama, nggak akan begini kesiksanya aku, Han ...” gumam Fadli sembari mengurut alisnya yang tegang.
Untung saja, cuma dia yang pernah melihat Hani tanpa hijab sejak wanita itu baligh karena sudah dibiasakan menggunakan hijab sejak kecil. Dan Fadli merasa beruntung karena cuma dia yang mendapatkan kesempatan itu. Makanya Fadli tidak rela kalau ada pria lain yang juga bisa melihatnya.
“Aku akan dapatkan kamu lagi, Hani,” ucap Fadli penuh tekad.
Keadaan yang sama juga ada pada Hani, dia sampai berlari masuk ke kamarnya supaya tidak dilihat oleh Fadli. Dia benar-benar melupakan kalau Fadli ada di rumahnya karena tidak terdengar suaranya. Teriakannya tadi pun terjadi reflek saja sebab Fadli sudah melihatnya tanpa hijab.
“Kenapa jadi begini sih?” rutuk Hani pada diri sendiri.
Keadaan tadi bukan salah Fadli, Hani menyadari itu. Dia kesal pada dirinya yang tidak memperhatikan sekitarnya tapi mau bagaimana lagi jika itu faktor ketidak sengajaan.
Terkenang lagi di benak Hani kalau dia juga pernah berpenampilan seperti ini di depan Fadli. Saat mereka masih bersama, Hani pernah juga menggunakan lingerie atau baju dinas istri yang masih dia simpan di dalam kardus di bawah ranjang. Tapi keadaan mereka saat ini sudah kembali ke awal saat mereka adalah dua orang yang asing.
Yang seolah tidak pernah mengalami tidur seranjang dan menikmati hadiah dari sebuah pernikahan yang menjadikan mereka sah untuk saling berdekatan dan berbagi kasih.
“Mau ditaru mana muka aku ...”
Hani meratapi nasibnya setelah ini jika bertemu Fadli, dia malu sekali.
***