Pukul 4 sore akhirnya Hani keluar dari kantor dengan membawa tasnya untuk pulang. Dia menuruni tangga menuju tempat parkir yang berada di basement gedung fakultas Dakwah ini. Lehernya terasa kaku karena ada banyak mahasiswa yang minta bantuan untuk mengatasi masalah mereka menuju ujian semester nanti.
Sebagai mantan mahasiswa dan jadi mahasiswa lagi karena lanjut S2, Hani merasa harus membantu. Tapi tidak semua, dia juga harus menilai niat dan tekad mahasiswa yang benar-benar meminta bantuan atau tidak. Walau pada akhirnya Hani mengurus semuanya juga.
Karena bepergian menggunakan motor, Hani harus menggunakan jaket, sarung tangan dan juga masker supaya tidak gosong oleh sinar matahani. Tapi sejak tadi dia tidak menemukan masker yang biasa dia gunakan. Benda tersebut dia letakkan di dalam helm tapi sekarang tidak ada.
“Hah ... ya udah lah beli aja lag—“
“Sepertinya kamu butuh ini,” kata seseorang yang sudah berada di belakang Hani.
Dari suaranya Hani sudah tahu itu siapa. Begitu dia menoleh ke belakang, Hani melihat ada Fadli yang tengah mengulurkan sapu tangannya. Pria ini sudah berganti dengan pakaian formal tidak seperti Hani yang masih memakai pakaian olahraga. Rambut bagian depannya di sisir ke belakang hingga memperlihatkan dahinya yang sangat pas dengan wajah tampannya.
Hani tidak akan menyangkal soal ini.
“Sapu tangannya belum aku pakai,” kata Fadli yang kini berjalan untuk berdiri di hadapan mantan istrinya.
“Maaf, tapi ngga perlu. Aku bisa beli nanti di depan,” ujar Hani menolak bantuan Fadli.
Dan Fadli juga tidak akan memaksa karena apa yang dikatakan Hani adalah benar, ada banyak pedagang di depan kampus yang menjual keperluan bekendara. Tapi Fadli tetap berdiri di tempatnya setelah mengeluarkan motor Hani dari deretan motor yang terparkir. Setelahnya dia melihat Hani yang kini siap untuk melajukan kendarannya.
“Masih ada yang mau dibicarakan?” tanya Hani.
Dia bertanya sebagai bentuk kesopanan saja, soalnya Fadli sudah membantu mengeluarkan motornya dari jejeran motor yang begitu rapat sehingga kadang susah untuk dipindahkan.
Fadli menggelengkan kepalanya. “Hati-hati di jalan. Salam buat Bapak sama Ibu.”
“Kamu bisa menelpon mereka seperti biasanya. Jadi kayaknya nggak perlu aku sampaikan salamnya,” kata Hani sebelum menarik gas dan melaju meninggalkan Fadli.
Tapi kalimat Hani tapi membuat Fadli seperti ketahuan mengambil barang.
“Dia tahu?”
Fadli pikir Hani tidak tahu kalau selama ini dia sering menelpon mantan mertuanya untuk sekadar menanyakan kabar mereka, sekaligus kabar Hani juga. Sebuah modus terselubung yang kerap Fadli lakukan. Dari telepon tersebut Fadli jadi tahu apa kegiatan Hani yang selalu dia rindukan. Dan setidaknya akan terobati sedikit walau hanya tahu kabarnya.
“Tapi besok sampai Minggu kita nggak akan ketemu ...” Raut wajah Fadli berubah muram setelah menyadari ini.
“Atau ... aku nekat datang ke rumah aja?” pikirnya karena menemukan ide bagus tapi penuh resiko.
***
Tiba di dekat perumahan tempat Hani dan keluarganya tinggal, ada beberapa ibu-ibu yang merupakan tetangganya tengah berkumpul di pos jaga. Hani pun memperlambat laju motornya lalu berhenti sebentar untuk menyapa mereka.
“Assalamu’alaikum, bu-ibu,” sapa Hani dengan senyum ramah.
“Waalaikumsalam, Han ... baru pulang?” balas seseorang di antara mereka.
“Iya, Bu. Kalau gitu saya duluan ... mau bersih-bersih,” jawab Hani sekalian pamit.
Dari 6 orang ibu-ibu yang ada di sana, sekiranya mungkin ada lebih dari 3 orang yang kurang suka pada Hani. Semua itu karena status janda yang disandang oleh Hani di usia muda. Gosip tentang alasan dia menjadi janda sangatlah beragam. Dan semua itu sudah sampai ke telinganya yang pastinya membuat Hani sakit hati.
Hani dikira diceraikan suaminya karena tidak becus menjadi perempuan. Dibilang juga karena selingkuh atau yang paling parah ada yang mengatakan kalau Hani menjadi janda karena tidak bisa hamil. Namun karena sudah terlalu sering mendengarnya, Hani kini lebih terbiasa dan memilih untuk mengabaikannya saja.
Di rumah, Hani disambut ibunya yang baru saja keluar kamar hendak pergi untuk pengajian rutin hari Jum’at di masjid sekitar rumah. Hani pun mencium tangan ibunya seperti biasanya.
“Paket oleh-oleh kita katanya sudah sampai di Semarang. Ibunya Fadli bilang terima kasih dan nanti akan telpon kamu, nduk,” tutur Ratih, ibu Hani.
“Syukurlah kalau sudah sampai. Nanti biar Hani aja yang telpon ke sana,” ucap Hani.
Tidak hanya Fadli saja, Hani pun masih menjalin hubungan baik dengan mantan mertuanya. Tapi bedanya Hani tidak pernah bertemu mereka, cuma lewat sambungan telepon saja yang itu dilakukan cukup jarang juga.
Jadi cuma kepada Fadli saja Hani amat benci, kepada orang tua pria itu, Hani tidak menyimpan rasa marah sama sekali. Namun kini dia sudah tidak lagi sebenci itu pada Fadli, berbeda keadaannya dengan 3 tahun yang lalu.
***
Kegiatan Hani selain menjadi staf admin adalah menjadi mahasiswa S2 yang cukup membuatnya sibuk untuk menyusun persiapan tesisnya. Rasanya ingin menyerah karena otaknya lama tidak digunakan untuk belajar tapi Hani tidak mau kalau dia cuma mendapat ijazah S1, rasanya tidak puas saja.
Tapi ada kegiatan lain yang Hani lakukan untuk mendapatkan rupiah lebih banyak selain pekerjaan formalnya. Dia adalah salah satu orang yang menjadikan hobi menjadi pundi-pundi uang sehingga bisa mempunyai cukup tabungan untuk melakukan umroh sekeluarga dan mulai membangun rumah juga.
Hani memiliki akun youtube dengan pengikut 100 ribu lebih. Dalam akun itu Hani membagikan tutorial membuat tas yang dia kerjakan secara hand made. Tadinya cuma iseng tapi malah ada banyak orang yang memesannya, yang akhirnya menjadikan itu sebagai pekerjaan sampingan. Namun karena itu juga, fitnah kalau Hani menjadi simpanan pejabat sempat merebak.
Soalnya orang-orang berpikir: bagaimana bisa seorang janda yang cuma menjad staf kampus bisa punya uang banyak?
Sungguh, menyandang status janda itu sungguh berat.
Kerap dituduh merayu suami tetangga di sekitar rumah. Dituding akan merebut suami atau pacar temannya. Atau yang paling terbaru, Hani tidak boleh ikut kumpul bersama tetangga—cukup orang tuanya saja—supaya tidak menarik perhatian pria di sekitar komplek rumahnya.
Hani pikir tadinya dia akan hidup bebas setelah tidak lagi bersama Fadli karena dia juga menikah di usia muda. Tapi ternyata dia malah diajuhi teman-temannya.
“Ada gosip apa lagi ya besok?” gumam Hani yang ingat bagaimana tatapan tetangganya tadi saat dia menyapa.
***