Patah hati

1257 Kata
Karena patah hati bukan pilihan, tapi kenyataan yang harus dihadapi dengan lapang d**a dan kerelaan. ___Dyra___ *** "Gue minta maaf ya?" Dyra mengobati luka di sudut bibirnya Reindra. "Dia itu mantan gue, tapi yaa.... kita ada masalah. Makanya kaya gitu." Selesai, gadis yang mempunyai paras juita itu pun meletakan plester berukuran kecil di sana. "Gue tuh enggak punya temen cowok. Dan ini pertama kalinya gue ngobrol seakrab ini sama cowok yang bukan pacar. Hehehe..." Kotak P3K berukuran kecil itu ditutupnya kembali. Dyra meringis karena cowok ber-kecamata di depannya itu hanya diam saja. "Lo enggak mau ngomong itu?" Seolah sedang tersadar dari sesuatu. Reindra mengerjap, ia tersenyum kikuk seraya membenarkan letak kecamatanya. Menatap gadis itu dalam radius dekat, tidak ditampik membuat jantungnya lebih cepat dari biasa. "Gue boleh jujur gak?" "Apa?" Reindra terdiam, terlihat meneliti wajahnya Dyra. "Lo cantik banget!" "Apa?" *** "Sialan!" Keluh Dyra, gadis itu sedang dihukum karena tidak mengerjakan PR matematika. Ini gara-gara Edgar yang menghancurkan semuanya. "Capek gue!" Dia membersihkan lapangan basket indoor sendirian. Oh, ya. Mengenai omongan Reindra tadi yang mengatakan dirinya cantik, Dyra benar-benar kesal. Pasalnya, dia tidak menyangka akan mendengar pujian menyebalkan itu dari cowok cupu seperti dia. Tapi ternyata, laki-laki cupu juga tetaplah laki-laki. Dia mempunyai mata keranjang yang tidak jauh dari mata laki-laki pada umunya, seperti yang ia tahu. Dyra pikir, Reindra tidak akan berani merayunya. Selama ini kenapa Dyra selalu menjauhi para laki-laki, selain karena ia tidak percaya dengan mereka. Ia takut, apa yang terjadi pada Edgar terjadi juga pada laki-laki lainnya. Ah, Mamahnya memang secantik itu. Dan Dyra benci menerima kenyataan ini. Lalu bagaimana kalau Dewanya juga seperti Edgar? "Huh! Kapan gue enggak harus ikut nyelesain masalah lo sih?!" Dengan kesal Fania ikut mengambil sapu dan mulai menyapu lapangan basket itu. Dyra menoleh, dan tersenyum penuh terima kasih seraya memeluk erat sahabatnya itu. "Sumpah demi apa, gue enggak pernah manggil lo. Tapi karena kita ini emang sehati, lo tau banget kalau gue lagi kesusahan." Menyebalkan! Fania hanya menggeleng jengah dan menyikut perutnya Dyra. "t*i!" Dan Dyra hanya terkekeh gemas menerima makian itu. Sudah biasa Fania bersikap seperti itu padanya. Dan Dyra tentu saja tidak akan merasa sakit hati sedikit pun. "Come on dear, we are friends. Two of the most beautiful women in the world. So kita harus saling membantu, dan menjaga satu sama lain, agar kecantikan kita tetap terjaga sepanjang masa!" Memang teman sialan, ada saja yang membuat kemarahannya hilang. Lihat, saat ini Fania sudah mulai mengulum senyumnya. Ingin sekali tergelak sekaligus menjitak kepala sahabatnya itu. "Ya Allah, kenapa aku dipertemukan dengan orang ini!" Ujar Fania dengan gaya bahasa formalnya terlihat menyedihkan. Dan Dyra membalas dengan senyuman menyebalkan dan kedipan nakal di sebelah matanya. "Tentulah sayang, kita ini jodoh. Meski kamu nolak, kamu enggak akan bisa jauh dari aku. Ah, bahkan diluaran sana orang berpuasa tujuh hari tujuh malam biar bisa dapetin jodoh secantik aku!" Dan Fania menanggapinya dengan gerakan seolah ingin muntah, "Bahasa lo! Udah kaya sama orang pacaran aja. Najis!" "Dih, kita emang pacaran kali, emang lo udah mau putus?" Sepertinya Dyra mulai gila. Membuat Fania segera menghindar dan menyapu bagian yang agak jauh dari gadis itu. Membuat Dyra tergelak nikmat seolah puas bisa membuat sahabatnya sekesal itu. "Jadi tadi si Reindra bilang apa sama lo?" Tanya Fania setelah mereka menyelesaikan tugasnya. Saat ini keduanya sedang berada di  loker. Mereka menyimpan sapu beserta serokannya. "Enggak mau ketemu lagi sama dia. Gue pikir, dia enggak bakalan bilang cantik sama gue." jawab Dyra lesu, hal itu membuat Fania meliriknya sekilas. "Gue enggak mau lagi deket sama cowok yang lihat dari fisik gue. Duh, ada gak ya, cowok yang enggak modus. Yang enggak lihat wajah, jadi meski wajah biasa aja. Gue tetep disukai cowok." Fania menatap ke arah koridor, ia menemukan Dewa yang tengah mengobrol dengan Tanaya. "Eh, anter gue ke kantin yuk. Laper nih," fania membawa Dyra membelakangi pemandangan di mana kedua sepasang manusia itu berdiri. "Ah, jalan sana aja. Gue mau ngambil uang dulu, dompet gue di tas." Dyra hendak memutar diri, tapi Fania menahannya kuat. Membuat gadis itu mendengus kesal. "Babe, aku mau ke sana!" Dyra merengek. Tapi Fania tentu saja tidak mau kalah. Ia kembali mendorong Dyra kuat, "jalan situ aja, ya ampun! Ntar gue yang bayarin!" Dyra mengerucutkan kedua bibirnya manja. "Kan gue jajan-nya banyak. Tapi kalau Babe mau bayarin ya gak apa-apa." Fania memutar kedua bola matanya jengah, "Ya ganti lah! Nanti, enak aja. Lo kan banyak uangnya!" "Dih, lo kan tahu, nyokap gue ngasihnya pas-pasan. Dia uangnya habis buat...." Dyra tidak melanjutkan kalimatnya. "Ya udah, deh, gue nurut aja." Fania menarik napas lega. Lalu mereka pun berjalan ke arah kantin. Namun kelegaan Fania hanya cukup sampai di situ. Karena Dewa dan Tanaya ternyata berjalan juga ke arah yang sama dengannya. Fania tentu saja cemas, ia sudah berusaha menjauhkan sahabatnya itu dari Dewa. Tapi.... "Jadi Kak Dewa mau beli buku juga?" terdengar suara manja Tanaya, membuat Fania meringis. Ia tentu saja takut kalau Dyra mendengarnya. Ah, Fania sangat menyayangi Dyra. Ia tidak mau sahabatnya itu kembali bersedih. Sudah cukup masalah Ibunya membuat gadis itu tersiksa. Baru beberapa minggu ini Dyra terlihat ceria dengan perasaan barunya. Iya, Dyra naksir Dewa. Meski sebenarnya belum move on sepenuhnya dari Edgar. Tapi yang membuat Fania lega adalah Dyra selalu senyum ketika bertemu laki-laki itu. Tunggu! Langkah Dyra terhenti tiba-tiba. Dan Fania menegang dibuatnya. "Kak Dewa beneran mau anter Tanaya?" Pertanyaan itu terdengar jelas oleh Dyra. Gadis itu perlahan memutar diri dan menemukannya di sana. Padahal baru tadi, Dewa mengatakan pada Edgar bahwa ia adalah miliknya. Baru tadi Dewa membuatnya melayang dengan semua kalimat manisnya. "Dewa?" Dyra melepaskan rangkulan Fania. Ia mendekat dan berdiri tepat di depan Dewa dan Tanaya. Sejenak ia melirik Tanaya, "Kamu mau ke kantin?" Dewa mengangguk, "Kamu enggak ngajak aku?" Dewa menggeleng, "Sama Tanaya." Jawabnya datar. Dan Dyra mengangguk lemah. Duh, kenapa rasanya sesak, melirik Fania ia meraih tangan gadis itu. "Ya udah, aku duluan." segera gadis itu menarik Fania. Memangnya siapa dirinya yang bisa mengendalikan Dewa sesukanya. Padahal yang bilang siapa milik siapa itu Dewa, bukan Dyra. Padahal, Dyra mau belajar lupain Edgar. Tapi Dewa malah jalan sama Tanaya, Dewa mengajak Tanaya ke kantin tapi tidak mengajaknya. Dewa juga mau mengantar Tanaya beli buku, tapi tidak mau mengajaknya. "Kita harus bicara!" Entah kenapa Edgar selalu muncul di mana saja. Membuat Dyra kaget dibuatnya. Ia mencengkram kuat tangannya Fania sebagai tanda kalau ia cemas. Mengerti dengan kondisi itu. Fania segera menengahi, "Dyra enggak mau ketemu lo!" Dan Edgar berdecih,"Lo jangan ikut campur ya Fan. Gue mau ngomong baik-baik sama dia!" Fania tidak mau kalah, gadis itu menarik napas dalam dan menyembunyikan Dyra dibalik punggungnya. "Lo bisa kan ngertiin Dyra? Dia terluka gara-gara lo!" "Gue tahu! Makanya gue mau ngomong sama dia, biar kita kelarin masalah ini!" "Tapikan lo udah tahu, kalau Dyra enggak mau ngomong sama lo!" "Mending lo minggir deh," Edgar berhasil menyingkirkan Fania. Sehingga Dyra saat ini sudah berada di depannya, Edgar bisa melihat wajah cantik yang selalu ia rindukan setiap detiknya. Dan bersamaan dengan itu, Dewa sudah tepat berada di samping Dyra berdampingan dengan Tanaya. Dyra menyadari kehadiran laki-laki itu. Dan ia juga ingat betul, kalau Dewa akan ke kantin bersama Tanaya. Dyra tidak mau mengganggu kesenangan laki-laki itu. Kak Dewa beneran mau anter Tanaya ke toko buku? "Lo kenapa sih? Dyra tuh enggak mau ngomong sama lo!" serang Fania kesal. Edgar menatap jengah ke arah Fania. "Lo enggak usah ikut campur deh," Fania jengkel, karena tidak bisa melawan laki-laki itu. Dan membuat Edgar berhasil meraih tangannya Dyra. "Kita bicara!" "Dia enggak mau! Lo enggak lihat!" Dewa bersuara, membuat Dyra menoleh. Namun tatapannya terlihat pilu, Dyra tidak senang dengan kehadiran Tanaya. Gadis itu sejenak menatap Dewa, dan tatapan mereka bersibobok untuk beberapa saat. Membuat hati Dyra terkoyak. Ah, kenapa laki-laki sama saja? Dyra yang lebih dulu mengalihkan. Ia sepertinya harus berhenti berharap. Ia menatap Edgar, "Ok, kita bicara!" Ucapnya, membuat Edgar tersenyum. Dan fania mengerjap, lalu Dewa terdiam dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN