Kejutan

1115 Kata
Sepulangnya Mas Reno dari bekerja. Ia disambut dengan keluhan ibu yang terdengar panjang seperti pidato kepresidenan. Mas Reno yang letih, hanya menanggapinya dengan malas. Ibu terus mengikutinya ke mana pun putranya berjalan. Sampai akhirnya, Reno hendak menuju kamar, tapi ibu justru menghentikan Reno. “Kau dengar Ibu ‘kan Ren?” “Iya Bu. Reno dengar.” “Pokoknya Ibu nggak mau pergi dari sini, sebelum kau menerima Siska kembali jadi istrimu lagi.” Reno mendesah mendengar rengekan ibunya yang seperti anak kecil. “Bu... Reno capek Bu. Seharian Reno bekerja di proyek. Tapi pulang-pulang Ibu malah menyambut Reno dengan keluhan Ibu tentang Arum. Lagipula buat apa Ibu datang membawa Siska, Bu...? Dia sudah jadi masa lalu Reno. Dulu Ibu yang meminta Reno menikah dengannya, tapi ternyata Ibu lihat sendiri ‘kan? Pernikahan Reno tidak berjalan mulus.” “Tapi Siska sudah menyesali semua perbuatannya Ren. Masa kamu nggak mau beri dia kesempatan?” “Kesempatan apalagi Bu? Reno sudah cerai, terus apa mau Ibu?” “Ibu mau kau menikah lagi dengannya, Ren!” “Terus bagaimana dengan Arum, Ibu? Apa Ibu nggak kasihan lihat Arum lagi hamil?” “Iya, kau nggak perlu menceraikan dia. Kau bisa tetap menikah dengan Arum dan Siska bersamaan.” “Ya, ampun Bu...?” Reno menjerit frustasi mendengar pemikiran ibunya. “Bisa-bisanya ibu berpikiran seperti itu!” Reno nyaris tidak mempercayai ucapan ibunya. “Ibu nggak sudi punya menantu Arum. Dia miskin. Terus dia juga asalnya dari kampung juga, kalau Siska ‘kan lain. Dia Sarjana, berasal dari kota, dan berkelas juga. Jauh beda sama Arum!” Reno menghela napas panjang. Aku mendengar pembicaraan mereka dari balik pintu kamar. Diam-diam aku mendengar semuanya. Meski jantungku berdebar kencang ketika mereka membicarakanku. “Pokoknya kau harus pikirkan baik-baik omongan Ibu, Ren! Ibu nggak mau putra Ibu satu-satunya menjadi anak durhaka sama Ibu!” Reno mengabaikan perkataan ibunya. Ia pun membuka pintu kamar, aku yang menyadari akan hal itu bergegas kembali ke ranjang. Berpura-pura, tak mendengar apapun. “Eh, Mas sudah pulang...?” “Bagaimana kondisimu hari ini, Dek?” Tanya Mas Reno dengan wajah letih menatapku getir. Aku berusaha memasang senyum di wajahku. Berharap Mas Reno akan terhibur dengan senyumku. Ia selalu memuji senyumku yang katanya aku terlihat cantik ketika tersenyum. Aku pun berusaha tersenyum di hadapannya kini, walau hatiku terasa hancur berantakan mendengar ucapan ibu mertuaku beberapa saat lalu. “Aku baik-baik saja Mas. Walau aku nggak tahu kenapa hari ini aku merasa sangat lemas.” “Syukurlah kalau kau baik-baik saja. Apa kau sudah makan?” Aku menggeleng, “belum mas. Aku bahkan belum bisa keluar dari kamar.” “Mau mas suapi?” Aku tersenyum lebar menyambut idenya. “Mauuu...” jawabku dengan suara manja. Mas Reno segera mengambil makanan dari dapur dan menyuapiku dengan sabar. Aku melihat beberapa pasang mata melirik ke arah kami dari kejauhan. Aku sengaja berpura-pura manja, sehingga aku merasa puas ternyata jauh di sudut rumah bagian sana, seseorang tengah terbakar oleh api cemburu. Setidaknya aku merasa puas, karena Mas Reno masih berada di pihakku. Aku tidak perlu apapun lagi asalkan ada Mas Reno hanya itu yang aku perlukan. *** Keesokan paginya, Mas Reno menuntunku keluar kamar untuk sarapan bersama mereka. Siska dan ibu mertua menyambut kehadiranku dengan wajah cemberut. Mereka benar-benar tidak menyukaiku. Padahal seharusnya aku yang memasang wajah itu karena kehadiran mereka mengusik kehidupanku yang tenang. Mas Reno menarik kursi dan membantuku duduk. Ia juga tak lupa menyiapkan piring beserta makanan untuk kusantap. Mas Reno benar-benar memperlakukanku dengan sangat baik. Membuatku semakin mencintainya. Tak peduli dengan dua pasang mata yang menatap sinis ke arahku. Aku tetap bersikap manja pada suamiku. “Terimakasih, mas.” Kataku sambil tersenyum lembut ke arahnya. Mas Reno hanya menepuk lembut pundakku dan mengusap punggungku sekilas sebelum ia fokus pada sarapannya pagi itu. “Oh iya, Mas. Aku lupa mau bilang ke Mas, kalau hari ini aku ada kejutan untuk Mas.” Tiba-tiba Siska memulai pembicaraan. “Apa...?” bukan hanya Mas Reno yang penasaran. Aku pun juga penasaran. “Hari ini Karin akan datang. Katanya dia kangen sama Mas.” Aku tersentak mendengarnya sehingga sendok yang kupegang jatuh ke lantai dan berdenting. Mas Reno pun langsung mengambil sendok itu dan memberikan sendok yang lain kepadaku. Siska tersenyum penuh kemenangan, begitu pula dengan ibu mertuaku. Mereka saling melemparkan tatapan penuh arti melihat respon terkejutku. “Rumah ini masih menerima tambahan anggota ‘kan, Ren? Lagipula kau tidak mungkin menyuruh Karin pulang ‘kan?” Sambung Ibu ketika melihat Mas Reno hanya membisu, begitu pula dengan diriku yang mendadak kehilangan kata-kata. “Kapan Karin datang?” Akhirnya Mas Reno mulai bertanya. “Sepertinya siang ini. Karena pesawatnya lepas landas pagi ini. Oh, ya...? Apa mas mau ikut untuk menjemputnya?” “Pergilah Reno, jemput Karin! Lagipula dia kan anakmu! Masa kau mengabaikan darah dagingmu sendiri!” gumam ibu sambil memamerkan senyum penuh kemenangannya. Sekuat tenaga aku tersenyum walau terasa getir, “iya, Mas. Jemput dia siang ini ya?” Dengan berat hati aku merelakan kepergian Mas Reno untuk menjemput putrinya bersama Siska. Walau sejujurnya hatiku remuk redam oleh api kecemburuan serta pikiran buruk bagaimana Mas Reno dan Siska nanti, ketika mereka menjemput putri mereka. Ya Allah, tolong kuatkan kesabaranku ini. “Kau nggak pa-pa Mas tinggal sebentar?” “Nggak pa-pa kok, kan aku juga biasa tinggal di rumah sendirian. Ibu ikut juga ‘kan?” Awalnya Ibu melirik tajam ke arahku, tapi sedetik kemudian ia tersenyum lebar. “Tidak menantuku. Ibu akan menjagamu di rumah kali ini. Jadi Reno kau bisa pergi berdua dengan Siska untuk menjemput Karin.” Aku ingin sekali menarik ucapanku, tapi urung. Biarlah aku percayakan Mas Reno pergi berdua dengan Siska. Aku harus percaya pada Mas Reno, ia tidak akan berpaling. Siska hanyalah masa lalu, dan selamanya akan menjadi masa lalu. Karena di masa depan, hanya ada aku, Mas Reno dan anak kami nanti. Selesai mereka menyantap sarapan mereka. Aku mengurung diriku di kamar. Tak kulepaskan kepergian Mas Reno dan Siska karena rasanya sungguh sangat berat melihatnya. Hanya terdengar suara deru mesin mobil Mas Reno yang meraung kencang, lalu perlahan suara deru mesin mobil tersebut menghilang menandakan kalau Mas Reno sudah pergi. Tok... tok... tok... Ibu mengetuk pintu kamarku dengan tak sabar. Aku beranjak malas dari ranjangku untuk membukanya. Ibu berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu kamarku. “Iya, Bu. Ada apa?” “Cepat pergi belanja. Jadi istri tuh jangan malas. Siang ini cucu kesayangan Ibu mau datang. Ibu akan masakkan sup ikan kesukaannya. Kamu jangan lupa beli semua bahan masakan ini.” Ibu menyelipkan selembar kertas berisi catatan bahan makanan. Kemudian wanita itu meninggalkanku tanpa banyak kata. Aku hanya terpaku menatap selembar kertas catatan yang telah lusuh itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN