#Masa SMA#
Masa SD mereka berlalu begitu saja. Ketika Chiko sudah SMP, Gigih juga SMP. Meski sama-sama ada di tingkatan itu, namun taraf mereka berbeda. Gigih berada dalam sebuah pendidikan yang berbeda dengan Chiko. Anak berkebutuhan khusus tidak dipaksa menjalani masa SMA seperti sekolah normal lainnya. Mereka dididik untuk memiliki kemampuan lain di balik kekurangan mereka. Gigih masih bersekolah di SMA-LB, sekolah menengah atas luar biasa di lingkup yang sama. Chiko pun masih ada di lingkungan sekolah yang sama.
"Hai, Chiko!" Mas Bejo, tetangga sebelah selalu menyapa tiap kali Chiko berangkat sekolah. Mas-mas badan kekar yang macho itu selalu mencuci motornya tiap pagi. Mas Bejo duduk di bangku kuliah sekarang ini.
"Hai, Mas."
"Berangkat?"
"Iya, Mas."
"Kok tumben nggak bareng Gigih?" Mas Bejo bertanya lagi. Sebenarnya Gigih dan Mas Bejo seumuran. Karena itulah Chiko dan Mas Bejo selalu bicara soal banyak hal. Chiko sering berdiskusi tentang hal-hal sekolah dengan Mas Bejo. Mas Bejo juga aktif dalam organisasi.
"Mas Gigih masih sarapan, Mas. Lagian dia kan masuknya siang."
"Iya, tapi tiap pagi dia selalu ngintilin kamu."
Chiko mengangguk. Dia juga bingung kenapa Gigih selalu memaksa berangkat bersama, padahal Chiko sudah mengatakan pada Gigih kalau jam masuk mereka berbeda. Gigih masuk pukul delapan. Chiko masuk pukul tujuh kurang seperempat. Sejam lebih Gigih harus menunggu di sekolah.
"Aku berangkat dulu, Mas." Chiko melambai cepat.
"Ah, iya! Hati-hati, Ko. Nggak mau dianterin, nih?"
Chiko menggeleng dan tersenyum miris. Jalan kaki ke sekolah sudah jadi cita-citanya sejak dulu. Sebenarnya dia bisa minta motor pada papa dan mama, namun dia menolak. Kalau dia punya motor, Gigih pasti akan makin bersemangat mengajaknya jalan-jalan. Ketika Chiko sudah sampai di ujung perumahan, Gigih menjerit, memanggil namanya.
"Chiko! Tunggu!" Anak lelaki yang kini sudah bertransformasi jadi cowok remaja yang sangat tampan itu berlari kencang menghampiri Chiko. Tubuh besarnya bergerak. Kaki panjangnya berlari kencang.
Chiko iri, namun juga sedikit bersyukur. Tuhan itu Maha Adil. Lihat saja Gigih! Dia sangat tampan, badannya tinggi besar, auranya juga sangat menarik. Hanya saja... dia adalah salah satu dari remaja berkebutuhan khusus. Tunagrahita. Begitu sebutannya. Chiko pernah membaca kalau yang seperti itu tidak bisa disembuhkan.
Ah, bisa! Chiko pernah nonton film India. Ada pengidap tunagrahita yang akhirnya bisa jadi normal kembali, bahkan jadi jenius karena alien. Hanya saja itu film. Tidak nyata. Andaikata ada alien sungguhan pun, Gigih belum tentu bertemu dengannya. Kalau bisa, Gigih pasti sudah jadi normal. Chiko pasti iri.
Gigih pasti tidak akan pernah menempelinya seperti ini. Gigih pasti akan bermain dengan para wanita. Gigih pasti akan dipuja banyak orang. Lalu Chiko? Chiko pasti akan dibully. Ah, Tuhan itu adil sekali, bukan?
"Chiko kenapa pergi dulu?" Gigih merengut. Sejauh yang Chiko tahu, kosakata Gigih sudah mulai berkembang dalam berbahasa. Meski kadang dia tidak bisa bicara cepat dan masih berpikir ingin bicara apa.
Kemampuan akademiknya lumayan bagus kalau dilihat dari segi murid berkebutuhan khusus. Tunagrahita ringan sebenarnya tidak terlalu terlihat, namun mereka akan terlihat ketika berkomunikasi dengan orang lain. Dulu Gigih masih berputar-putar ketika bicara, namun sekarang dia sudah bisa bicara dengan normal meski kadang membingungkan.
"Mas kan masih sarapan."
"Chiko kenapa pergi?"
"Aku nggak mau nunggu lama. Mas juga masuknya masih lama. Kalau aku jadi Mas, aku milih tidur dulu."
Gigih menggeleng kencang. "Gih mau berangkat bareng Chiko."
Sejauh apa pun perkembangan Gigih, dia masih menyebut dirinya dengan sebutan itu. Gigih lebih senang memanggil dirinya sendiri dengan nama 'Gih'. Chiko melangkah, sementara Gigih di sebelahnya juga ikut melangkah riang. Ketika SMP, Gigih masih sering menggenggam erat jemarinya ketika berangkat sekolah. Chiko digoda teman-temannya, namun Chiko tidak pernah peduli. Chiko sudah belajar menutup telinga jauh sebelum mereka mengetahui kondisi Gigih.
Ketika mereka sudah berada di bangku SMA, Chiko memberi pengertian pada Gigih kalau dia harus melepaskan jemarinya. Gigih sudah besar. Chiko merinding ketika membayangkan Gigih yang lebih besar itu bertingkah manja padanya.
"Mas nanti balik jam berapa?" Chiko bertanya cepat. Nanti mamanya ada di butik, jadi rumah pasti sepi. Hanya ada Mbak Yur, pembantu mereka.
"Jam satu, Chiko."
Chiko mengangguk cepat. Dia hanya melangkah, sementara Gigih di belakangnya juga mengekorinya. Langkah kaki Gigih jauh lebih lebar dibanding Chiko, jadi sepupunya itu bisa mengimbangi langkah Chiko.
"Mas..."
"Iya?"
"Ntar aku balik agak sore. Kalau Mas lapar, Mas makan aja dulu nggak perlu nunggu aku!" Chiko menjelaskan. Kaki Gigih terhenti seketika. Langkahnya tak berlanjut.
"Kenapa, Chiko?"
"Aku ikut organisasi, Mas. Sebentar lagi ada diklat penerimaan anggota baru. Aku anggota baru, jadi harus siap-siap buat disahkan sebagai anggota."
"Chiko organisasi apa?"
"PMR, Mas." Chiko tersenyum lembut. Dia sudah memutuskan jauh-jauh hari. Dia ingin jadi psikolog. Chiko ingin mempelajari banyak hal soal psikologi, namun di sekolah tidak ada ekskul untuk itu. Kalau memang tidak ada yang seperti itu, minimal Chiko tahu soal kesehatan manusia dan itu sudah cukup.
Chiko ingin jadi dokter juga.
"Lama?" tanya Gigih sekali lagi. Chiko mengangguk. Gigih mengerucutkan bibirnya. Chiko tahu gestur itu. Sebentar lagi Gigih pasti akan protes. Dan... akhirnya terbukti. Gigih menatap Chiko dengan raut tak terima.
"Chiko jahat!" katanya.
"Kenapa aku jahat?"
"Chiko terlambat pulang! Lama di sekolah!"
"Lalu aku harus apa, Mas?" tanya Chiko sekali lagi. Gigih mendekati Chiko, menggenggam ujung lengan seragamnya. Dengan raut kesal Gigih kembali menatap wajah Chiko tajam.
Seandainya...
Seandainya Gigih bukan penyandang tunagrahita, mungkin Chiko akan takut kalau ditatap seperti itu. Gigih menakutkan terkadang. Rasa ingin tahunya terlalu tinggi, mirip dengan anak kecil. Ah, memang usia mental Gigih seperti anak kecil, Chiko! Karena itulah dia disebut tunagrahita.
"Chiko pulang. Makan di rumah."
"Hari ini Mas makan sendiri, ya! Chiko balik telat."
"Kemarin Gih makan sendiri!" Gigih protes. Chiko mengembuskan napas, lalu menepuk bahu Gigih. Gigih menggeleng kencang, tak terima.
"Minta temenin Mbak Yur, ya! Kan Mas biasanya juga makan sama Mbak Yur."
Gigih menggerutu.
"Mau makan sama Chiko!" keluhnya lagi. Chiko menunduk, menatap jam tangannya. Masih lama jam masuk sekolah Chiko. Chiko menarik lengan Gigih dan mengajaknya pergi ke warung makan. Chiko memesan makanan dengan lauk terpisah.
"Ini, Mas bawa ini ke sekolah." Chiko mengulurkan satu bungkusan ke arah Gigih. Chiko juga membeli makanan serupa.
"Chiko juga beli?" tanya Gigih semangat. Chiko mengangguk.
"Kalau Mas mau nunggu Chiko buat makan bareng, Mas harus makan ini pas istirahat. Jadi kalau ntar siang nunggu, Mas nggak bakalan kelaparan." Chiko sangat perhatian akhir-akhir ini. Organisasi mengajarinya banyak hal. Mengajarinya empati pada orang lain, mengajarinya peduli, mengajarinya mengerti.
Gigih mengangguk lagi. Dia senang karena Chiko sudah membelikannya makanan. Gigih melangkah semangat ke sekolahnya, melambai riang ketika sampai di pintu gerbang sekolah. Sekolah Chiko masih ada beberapa blok dari sekolah Gigih. Gigih melambai semangat, namun dia berbalik dan kembali berlari ke arah Chiko.
Chiko yang belum sempat pergi hanya bingung. Kakinya masih berdiri di depan gerbang SLB. Gigih berlari ke arahnya, melompat ke hadapannya, lalu kepala Gigih menunduk dan bibir sepupu tunagrahita-nya itu mengecup pipi Chiko. Chiko melongo.
"Gih akan makan ini! Chiko cepat pulang, ya!"
Chiko mengerjap beberapa kali. Sudah sejak beberapa tahun lalu Gigih tidak pernah memperlakukannya seperti ini. Sejak SMP Chiko sudah melarang Gigih melakukan perbuatan serupa. Namun Gigih melakukannya lagi setelah bertahun-tahun. Chiko bengong, bahkan ketika Gigih sudah menghilang dari hadapannya sambil melambai.
Kesadarannya kembali ketika dia menatap jam tangannya. Lima menit lagi gerbang sekolah ditutup. Chiko berlari kencang ke arah sekolahnya. Ini gara-gara Gigih!
#Gigih dan Tikus#
Setelah pelantikan PMR selesai, Chiko kembali sibuk dengan rutinitasnya. Gigih yang paling menderita ketika itu. Matanya mengerjap dengan raut tak terima. Chiko bukannya bebas, namun malah makin sibuk. Bahkan ketika hari libur, Chiko sibuk membuat laporan dan proposal kegiatan untuk lomba katanya.
"Kapan Chiko bisa main?" tanya Gigih protes.
"Aku nggak bisa main, Mas. Sebentar lagi ada lomba PMR tingkat sekolah se-kabupaten. Aku ditunjuk jadi salah satu perwakilan. Jadi aku harus menyusun laporan ini." Chiko sibuk mengetik di depan komputernya.
"Gih benci Chiko yang sibuk!" Ah, sejak dulu Gigih selalu mengatakan kalimat itu pada Chiko! Gigih selalu menggerutu tiap kali Chiko sibuk dengan tugas maupun organisasi barunya. Ketika SMP dulu Chiko hanya ikut Pramuka, namun sekarang PMR lebih menyita waktunya.
Chiko lebih tidak bisa diganggu!
"Chiko..."
"Hm?"
"Chiko binatang sayang?" Pertanyaan tiba-tiba Gigih itu selalu membuat Chiko bingung. Kemarin Gigih bertanya soal matahari. Chiko tidak bisa menjawab pertanyaan Gigih dengan cara ilmiah, jadi dia sengaja mencari jawaban ala anak kecil. Padahal Gigih sudah berada di kelas tinggi sekarang ini. Meski usianya masih seperti anak kelas enam SD atau mungkin kelas satu SMP, atau mungkin kurang.
"Ada apa lagi, Mas?" Chiko tahu kalau Gigih menyembunyikan sesuatu.
"Gih binatang sayang, Chiko."
"Mas ingin jadi apa kalau udah lulus sekolah nanti?" Chiko bertanya pelan. Kalau tidak salah Chiko pernah dengar kalau anak berkebutuhan khusus juga bisa kuliah.
"Gih ikut Papa, Chiko."
Papa adalah dokter hewan. Meski begitu, papa tidak pernah memelihara satu ekor pun hewan. Papa takut kalau hewan itu tidak dirawat dengan baik. Papa takut kalau Gigih merasa diabaikan karenanya.
"Mas ingin jadi dokter hewan?"
Gigih menggeleng. "Gih nggak bisa jadi Papa, Chiko."
Chiko mengerti maksud Gigih. Maksudnya adalah Gigih tidak akan pernah bisa berpendidikan seperti papa. Gigih tidak akan bisa kuliah dan jadi dokter hewan yang hebat seperti papa.
"Lalu Mas mau apa?"
"Gih ikut Papa, Chiko. Main dengan binatang."
Ah, Chiko mengerti! Gigih ingin bekerja di klinik papa dan menjadi salah satu karyawannya. Chiko jauh lebih peka sekarang ini. Dulu Chiko masih senang mengabaikan maksud Gigih, namun sekarang Chiko tahu apa yang Gigih mau.
"Lalu kenapa Mas tiba-tiba nanya itu?" Chiko menghentikan jemarinya dari atas keyboard dan menatap Gigih ragu. Gigih tersenyum lembut dan mengerjap.
"Chiko, tikus juga baik?"
Chiko jadi makin curiga.
"Kenapa Mas nanya tikus?"
"Tikus jahat, nggak, Chiko?"
"Ada apa, Mas?"
"Chiko, tikus bisa baik?"
Chiko makin curiga sekarang ini. Apalagi ketika Gigih tampak serius seperti itu. Chiko benar-benar curiga.
"Chiko, Gih sayang tikus."
"Trus?"
"Gih sayang Chiko lebih."
"Trus?"
"Chiko..."
"Ngaku, Mas nyembunyiin apa sekarang ini?"
"Chiko..."
"Mas harus ngaku ada apa!"
Gigih menggeleng kencang. Matanya mengerjap dengan wajah enggan. Gigih sedang ingin bicara banyak sekarang ini, namun kalimatnya tertelan kembali ketika melihat wajah menginterogasi Chiko. Gigih sedang ingin bicara banyak.
"Chiko, jangan benci Gih!"
"Aku makin yakin kalau Mas lagi nyembunyiin sesuatu."
"Chiko, kalau tikus mati... apa dia harus dikubur?"
Chiko mengerjap beberapa kali. Dia mencoba mencerna apa yang Gigih sampaikan. Gigih mencoba menjelaskan dengan cara yang lebih sederhana, namun kosakatanya terbatas. Usia mental Gigih lebih muda sekian tahun daripada usia fisiknya.
"Chiko..."
"Ada apa?"
"Gih pulang. Ada motor jahat, Chiko. Motornya nabrak tikus. Tikus berdarah."
Chiko menegang. Matanya menatap tas Gigih yang separuh tertutup. Kakinya melangkah cepat, mencoba membuka tas itu dengan wajah begidik geli. Ketika tas itu terbuka, sebuah bangkai terbujur manja di dalam tas Gigih. Bangkai tikus yang penuh darah, terbungkus dengan kertas-kertas.
"Apa ini, Mas?" Chiko murka.
"Tikus, Chiko."
"Aku tahu, tapi kenapa Mas bawa ini pulang?"
"Kasihan, Chiko!"
"Tahu, kenapa dibawa, Mas? Mas nggak jijik?"
Gigih menggeleng kencang. Dia tidak merasa jijik sama sekali dengan keberadaan tikus itu. Matanya mengerjap beberapa kali. Dia tersenyum sedih. Chiko tahu kalau Gigih sudah seperti itu sejak kecil. Gigih pernah kehilangan, jadi dia selalu merasa sedih ketika ada kejadian serupa di depan matanya. Dulu ketika ada kecoa mati, Gigih sangat terpukul dan menangis.
Chiko merinding membayangkan kelakuan Gigih dulu. Sekarang tidak berubah, namun masih tetap seperti itu. Chiko tidak tahu kalau Gigih akan jadi menyebalkan lagi. Gigih sudah remaja sekarang, jadi paling tidak ada sedikit kedewasaan dalam umurnya.
"Chiko, kasihan, Chiko!" Gigih mencoba merebut bangkai tikus itu. Chiko mengeluarkan benda itu dan menjauhkannya dari jangkauan tangan Gigih.
Hanya saja Chiko lupa kalau Gigih lebih besar daripada dirinya. Gigih berhasil memeluknya erat dan tangannya menggapai bangkai itu. Chiko emosi. Bangkai penuh darah itu benar-benar jadi masalah mereka sekarang. Chiko menggenggam bagian perut tikus, Gigih memegang bagian ekor.
"Chiko, lepas, Chiko! Kasihan, Chiko!"
"Mas yang lepasin! Aku mau buang tikus ini."
"Jangan Chiko! Jahat, Chiko!"
"Mas mau simpan bangkai ini? Bisa bau, Mas. Lihat, tas Mas juga kotor gitu! Kalau kotor ntar yang nyuci siapa? Kasihan Mbak Yur, ntar ada kerjaan baru lagi."
"Gih kasihan Mbak Yur, Chiko. Tapi jangan buang, Chiko!"
"Buang, Mas!"
"Nggak, Chiko!"
"Kalau Mas nggak mau buang, Mas nggak boleh tidur di sini. Mas tidur sama mama aja!"
Gigih menggeleng kencang. Dia tidak terima ketika dipaksa tidur dengan orang lain. Gigih hanya bisa tidur ketika bersama Chiko. Gigih sayang Chiko. Chiko adalah dunia bagi Gigih.
Hanya saja...
"Chiko..."
"Apa?"
"Gih nggak mau tidur dengan Mama, Chiko. Gih tidur Chiko."
"Aku nggak mau tidur sama bangkai tikus!" Chiko menarik paksa bangkai itu hingga ekor tikus itu putus. Gigih melongo. Ekor di tangannya terputus. Dulu Gigih pasti akan menangis kalau kejadian serupa menimpa mereka, namun sekarang Gigih sudah lebih dewasa daripada sebelumnya.
Gigih tidak menangis, namun Chiko sudah lebih dulu bergerak.
Chiko membuang tikus mati itu ke tempat sampah. Gigih melongo, mencoba menghentikan Chiko, namun terlambat. Chiko sudah lebih dulu melempar bangkai itu ke tempat sampah, berkumpul dengan tumpukan sampah lainnya di depan rumah. Besok petugas kebersihan kompleks pasti akan mengangkut bangkai itu turut serta.
"Chiko jahat!" Gigih mengomel. Gigih tidak menangis lagi sekarang. Tidak seperti dulu. Gigih sekarang hanya akan mengomel dan terus marah pada Chiko.
"Aku emang jahat! Sekarang Mas taruh tasnya di bak cucian, biar besok bisa dicuci Mbak Yur. Mas pake tas lain aja kalau sekolah."
"Chiko jahat!"
Chiko tidak peduli. Bangkai tikus itu tergeletak mengenaskan di tong sampah. Gigih menunduk, lalu memungut benda bau itu. Gigih melangkah ke halaman belakang rumahnya dan mengubur bangkai itu. Chiko menatapnya geli.
"Tikus, baik-baik, ya! Nanti bilang ke Ayah dan Bunda di sana, ya! Gih kangen. Gih sayang mereka. Tapi di sini Gih bahagia. Mama dan Papa baik. Chiko juga baik... tapi Chiko jahat! Chiko nggak baik ke tikus."
Chiko trenyuh.
Gigih melakukannya bukan tanpa sebab. Gigih hanya sedang rindu dengan kedua orang tuanya. Terlebih lagi, Gigih sudah besar ketika melihat ayahnya dimakamkan. Jelas kejadian itu pasti terekam dalam ingatannya. Chiko menghela napas.
Gigih masih ada di sana, menatap gundukan yang dia buat itu. Chiko menatapnya tanpa kata. Mungkin Gigih masih ingat, jadi dia selalu memperlakukan benda yang sama seperti apa yang dia lihat. Chiko menelan ludah.
"Tikus, Gih jahat! Gih bilang Chiko jahat! Chiko nggak jahat, Tikus! Gih sayang Chiko. Sayang!" Gigih menangis setelah itu. "Tikus, Gih jahat!"
Chiko tidak tahu lagi harus menanggapi seperti apa sekarang ini! Baginya, Gigih itu bukan hanya sepupu tunagrahita, namun juga cowok yang membingungkan!
TBC