“Baiklah, akan saya jawab. Dengarkan baik-baik karena setelah ini jangan lagi menanyakannya. Pertama, kamu tidak berpotensi menguras harta saya. Kedua, kamu berasal dari kalangan yang berbeda dengan saya. Itu artinya, kehidupan saya kedepannya tidak akan monoton. Ketiga, kamu dan saya mempunyai pengalaman buruk dalam asmara. Jadi tidak mungkin ‘kan kamu dan saya terjebak dalam asmara sungguhan nantinya? Saya tidak mau repot-repot mengurus masalah perasaan. Pernikahan yang saya tawarkan padamu akan berakhir satu tahun kemudian. Bagaimana? Apa alasan saya sudah masuk akal?”
Mira melongo sesaat. Tidak menyangka bila Edgar benar-benar seserius ini. Bahkan pria itu membeberkan tiga alasan yang jelas dan tegas. Apakah ia senekat itu menjalani pernikahan dalam jangka waktu satu tahun? Apa susahnya mengklarifikasi batalnya pernikahan akibat mempelai wanitanya kabur?
Pria dengan harga diri tinggi seperti Edgar ini memang sulit memaklumi keadaan.
“Bukan masuk akal lagi, Pak. Tapi masuk telinga kanan keluar telinga kiri! Jawaban saya tetap. TIDAK," jawab Mira dengan tegas setelah mengatur pernapasannya. Hatinya mendidih karena tiga alasan yang Edgar beberkan barusan.
Lagi-lagi penolakan yang Edgar dapat. Hal itu lantas membuat Edgar tersulut emosi dan menyerang balik Mira. “Kamu terlalu sombong. Padahal kamu bisa menikmati kehidupan yang lebih baik, walau sesaat. Kamu bisa merasakan enaknya menjadi Nyonya Besar, Mira. Kenapa kamu tetap tidak mau?” Seraya memamerkan senyum meremehkan jawaban penolakan Mira yang kesekian kali.
“Walau sesaat?” lirih Mira dengan nada bertanya. Serangan Edgar yang terdiri dari beberapa kalimat itu, hanya dua kata saja yang membekas di benak Mira. “Itu yang menjadi pertimbangan saya, Pak Edgar. Maaf," lanjut Mira enggan menanti jawaban Edgar.
Edgar terkekeh, kembali meremehkan Mira. “Lalu, kamu ingin bersama saya selamanya? Mana mungkin, Mira? Memangnya kamu siapa?”
Bak tersambar petir di siang bolong, sekuat pengendalian diri, Mira menahan emosi. Di bawah sana, kedua tangannya telah terkepal. Ia marah. Tidak terima dengan tingkah Edgar yang terang-terangan meremehkannya. Sebegitu rendahnya Mira di mata Edgar. Salah Mira juga yang sempat percaya diri karena hanya ia yang ditawari tawaran gila ini.
Raut wajah Edgar sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Sedikit pun itu. Di mata Mira, Edgar justru semakin berada di atas awan. Bahagia sekali pria berengsek ini setelah meremehkannya, merendahkannya.
Enggan meladeni pria gila ini lebih lanjut, Mira memilih mengalah. “Maka dari itu, seharusnya Bapak sadar dengan apa yang Bapak tawarkan pada saya? Siapa saya? Bapak akan menyesal bila menjalani pernikahan dengan gadis miskin seperti saya. Walau sesaat. Permisi, Pak.” Mira hendak pergi meninggalkan Edgar begitu saja. Namun langkahnya terhenti kala mendengar erangan Edgar. "Ssshh..M–mira..k–kepala saya..kepala saya p–pusing sekali." Pria yang sebelumnya tampak sehat itu tiba-tiba mengerang sambil memegangi kepalanya.
Apa karma datang secepat ini? Sehingga membuatnya sekarat?
Mira tersenyum puas. Belum juga ia menyumpah serapah Edgar, sosoknya sudah mendapat balasan. Memang orang sabar itu disayang Tuhan.
'Terima kasih, Tuhan. Memang hamba-Mu yang satu ini perlu diberi pelajaran supaya tidak seenaknya dalam memperlakukan orang lain!'
Di sisi lain, Edgar merasa lega ketika Mira mengurungkan niatnya untuk pergi. Tangan Mira bahkan sudah cekatan membantunya berdiri.
'Saya tahu, saat ini kamu pasti tengah bersyukur karena tiba-tiba kepala saya pusing. Tapi sayangnya, ini hanya trik. Kepala saya jauh lebih baik, apalagi saat melihatmu tertipu seperti ini. Mira-Mira..'
"Mau kembali ke ruang rawat inap sekarang, Pak?" tanya Mira dibuat-buat selembut mungkin.
Edgar mengangguk lemah. "Iyaa..kamu pergi saja tidak apa-apa. Saya bisa–"
"Saya antar,” potong Mira bersikeras mengantar Edgar kembali ke ruang rawat inapnya.
Edgar tersenyum tipis. "Hm. Terima kasih." Padahal dalam hatinya, iblis tengah berpesta. Pria itu menang dengan trik. Sedangkan Mira yang polos tertipu habis-habisan olehnya.
Keduanya berjalan bersama tanpa jarak. Tangan Mira melingkari lengan Edgar. Menuntun pria sakit yang tubuhnya tampak lemas itu.
Bakat akting yang luar biasa baru Edgar sadari ada dalam dirinya. Ia benar-benar puas mampu menipu Mira.
Mira mengungkapkan, "Sejahat-jahatnya saya, memang lebih jahat cara Bapak dalam memperlakukan saya barusan. Tapi bukan berarti saya tega membiarkan Bapak yang sedang sakit ini berjalan sendirian kembali ke ruang rawat inap. Maaf, Pak. Sisi kemanusiaan saya tidak ternilai harganya." Diiringi senyum bangga.
Kekehan Edgar terdengar. "Kamu pandai memuji dirimu sendiri,” celetuk Edgar kemudian.
"Ya harus, dong! Karena tugas mencela itu sudah dijalankan oleh orang lain,” balas Mira bermaksud menyindir pria di sampingnya ini.
"Menyindir saya, huh?"
Rupanya pria yang disindir Mira merasa. Mira senang. "Syukurlah jika Bapak tersindir."
"Kamu memang mempunyai daya tarik tersendiri, Mira. Saya masih menunggu kamu berubah pikiran."
Mira terdiam sesaat. Namun kakinya tetap melangkah, mengimbangi langkah pelan Edgar. Namun pikirannya berkelana. Apa kata Edgar barusan? Ia mempunyai daya tarik tersendiri? Maksudnya apa? Mira bingung dengan sikap Edgar yang berubah-ubah. Tadi kejam, kini tampak mengaguminya. Maunya apa, sih!?
Mengenyahkan pikirannya yang tidak mengerti akan maksud Edgar. Mira memberikan balasan yang menohok. "Bapak tidak mempunyai daya tarik apapun di mata saya. Jadi, buang harapan Bapak mengenai saya yang akan berubah pikiran. Sesimpel itu balasan saya atas perkataan Bapak barusan."
Edgar tidak terpengaruh sedikit pun dengan balasan menohok Mira. Ia memberikan tanggapan yang santai. "Kita lihat saja." Seolah yakin kemenangan ada di tangannya.
"Oke!" Mira juga tak kalah santainya.
Kedua orang yang usai berbalas kata itu tidak menyadari bahwa kedekatan mereka disaksikan oleh dua pasang mata lain. Yang satu menatap penuh penasaran dan sendu. Sedangkan satunya, sama penasaran tapi dengan binar kebahagiaan di matanya.
"Mira?" Tak tahan lagi, akhirnya salah satu dari mereka memanggil Mira.
Mira berbalik dan betapa terkejutnya ia saat bertemu dengan sosok yang tidak ingin ditemuinya. "M–mas Dhafi?" Mira gugup membalas panggilan pria itu.
"Hai, Mira? Wahh..aku enggak nyangka kita ketemu di sini." Sapaan lain terdengar keluar dari bibir wanita yang menempel dengan Dhafi. Dia istri Dhafi, Devita.
Mira mengulas senyum tipisnya, memprotes Tuhan dalam batinnya, 'Kejutan apalagi ini, Tuhan? Apa iblis di sampingku ini tidak cukup? Mengapa Engkau datangkan pasukan yang lainnya? Hamba tidak mempunyai persiapan apapun, Tuhan..'
Hingga akhirnya Mira membalas sapaan Devita, "Hai juga, Devita. I–iya nih, aku juga enggak nyangka kita ketemu di rumah sakit."
"Itu siapa, Mira?"
Deg!
Mira menoleh pada pria di sampingnya. Ah, ia hampir lupa dengan sosok Edgar yang lengannya masih stay ia apit. Tersadar akan hal itu, Mira bermaksud menarik tangannya dari lengan Edgar. Namun ditahan oleh tangan Edgar yang sempat melepas pegangannya pada tiang infus hanya demi menahan tangan Mira tetap di tempatnya.
Begitulah gerakan kecil yang dapat tertangkap oleh Dhafi dan Devita. Dhafi tersenyum kecut. Sedangkan Devita tersenyum bahagia.
Akhirnya Mira pasrah dan tetap bertahan mengapit lengan Edgar. Ia telah mengatur pernapasannya guna menjawab pertanyaan Devita. Namun tetap saja kegugupan yang luar biasa menyerangnya. "I–ini..ini–"
Membuat Edgar mengakhiri kebisuannya. Dengan lantang pria itu mengenalkan dirinya. "Saya Edgar. Calon Suami Mira." Menggantikan Mira yang gugup setengah mati saat harus menjawab pertanyaan dari teman wanitanya itu. Ya, Edgar mengira Devita teman Mira. Padahal..bukan.
Mira terdiam seusai mendengar suara tegas Edgar. Ia tidak bisa berkata-kata karena ia sendiri bingung harus mengenalkan Edgar ini sebagai siapa.
Sebagai orang asing? Tidak mungkin orang asing berinteraksi sedekat ini.
Sebagai teman? Dhafi akan menyanggahnya, karena selama ini Mira tidak mempunyai teman pria lain selain dirinya.
Sebagai pacar? Mimpi saja!
Ehh..Edgar malah seenaknya mengenalkan dirinya sebagai Calon Suami Mira. Menurut Mira, pria ini benar-benar gila! Ia nekat sekali!
Dhafi memandang Edgar dengan pandangan yang sulit Mira artikan. Entahlah, pandangan Dhafi itu seperti tidak percaya sekaligus kecewa.
‘Astaga, Mira! Jangan suka menyimpulkan sendiri. Mana mungkin Dhafi kecewa setelah Pak Edgar mengenalkan dirinya sebagai calon suamimu. Dhafi sudah menikah dengan Devita. Dhafi mencintai Devita. Mana mungkin..’ Mira mencoba menyadarkan dirinya yang terlalu jauh dalam berpikir. Menyimpulkan Dhafi sedemikian rupa. Padahal jelas itu tidak mungkin ‘kan?
Terdengar suara riuh Devita. "Hah? Yang benar!? J–jadi ini calon suami kamu!? Selamat, Mira! Akhirnya kamu akan menyusul kami." Senyum lebar nan tulus Devita menyadarkan Mira untuk benar-benar tidak berharap lagi pada Dhafi. Devita istri Dhafi. Nilai plusnya, Devita sosok yang benar-benar baik dan tulus. Pantas saja ia mudah dicintai oleh Dhafi.
Devita menyenggol suaminya yang sejak tadi hanya diam. "Mas, kok kamu diam aja sih!? Ucapin selamat buat Mira, dong!" tegur Devita.
Dhafi mengangguk dan memaksakan senyumnya. "Selamat..semoga kamu bahagia, Mira."
Ucapan Dhafi barusan diiringi dengan segenap ketidakrelaan dalam hatinya. Dhafi sadar ini salah. Tidak seharusnya ia mempunyai perasaan itu pada Mira yang hendak menjemput bahagianya. Sedangkan di samping Dhafi telah berdiri sosok wanita yang telah dipilihnya–Devita. Bahkan Dhafi sendirilah yang kala itu melepaskan Mira karena merasa keduanya berbeda misi.
Ngomong-ngomong perihal itu, apakah hutang almarhum Bapak Mira telah lunas? Apakah Calon Suami Mira yang telah melunasinya?
Beberapa pernyataan memenuhi kepala Dhafi. Dan semuanya mengenai Mira–Sang Mantan Kekasih.
Andai Devita mengerti isi kepala Dhafi. Betapa sakit hatinya ia..
Dhafi berusaha mengenyahkan Mira dari pikiran dan hatinya. Ia harus menjaga perasaan Devita. Walau Devita tidak bisa membaca pikiran dan hatinya. Tapi Dhafi yakin, di pikiran dan hati Devita hanya tertambat namanya.
"Pasti. Mira pasti akan bahagia bersama saya. Iya 'kan, Mira?" Seenak jidatnya, Edgar mengatakan demikian.
Ngomong-ngomong, kemana Edgar yang tadi hampir sekarat? Mengapa Edgar yang dilihat oleh Mira saat ini tampak sehat? Apa Edgar hanya berpura-pura sakit kepala?
Mira mulai curiga. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti permainan Edgar. "Hm. I–iya." Karena kehadiran Edgar di sisinya saat di hadapannya terdapat Dhafi dan Devita, membuat Mira percaya diri bahwa dirinya telah move on dari Dhafi. Ia cepat move on. Sama seperti Dhafi.
Sayang sekali bila Mira terus bersedih. Sedangkan pasutri itu bahagia sentosa.
"Kami mau makan siang di kantin rumah sakit. Kalian mau gabung enggak?" ajak Devita dengan ketulusan hatinya.
Sayangnya, ajakan Devita langsung ditolak halus oleh Mira. "Maaf, Devita. Aku harus antar dia kembali ke ruang rawat inapnya. Dia bilang, kepalanya masih pusing."
Devita mengerti. "Ohh..begitu. Ya sudah. Enggak apa-apa. Next, kita makan berempat, ya!" Di akhir kalimatnya Devita masih berharap bahwa di lain waktu mereka dapat makan semeja berempat. Itu akan menjadi hal yang menyenangkan dan melegakan bagi Devita.
Namun, apakah itu mungkin?
Mira menganggap hal itu mustahil.
Dhafi menatap istrinya dengan tatapan tidak mengerti. Apakah setidakpeka itu istrinya terharap situasi diantara mereka? Mereka memang tidak bermusuhan. Akan tetapi untuk semeja makan berempat..terlalu mustahil. Ada sisa rasa yang enggan terhapus dari hati yang pernah bersatu. Entah kapan sisa rasa itu akan terhapus?
"Mas Calon Suaminya Mira, lekas sembuh. Saya dan suami menanti undangan pernikahan kalian," pungkas Devita sebelum berpamitan.
Edgar mengangguk. Masih saja mau menanggapi ucapan Devita. "Ya, secepatnya akan kami kirim." Mira sendiri sudah tak tahan berlama-lama di sini.
"Baiklah. Semoga lancar hingga hari H. Kami permisi."
"Ayo, Mas Dhafi! Kamu diam aja dari tadi. Lapar banget, ya. Hmm kasihan Suamiku.." Manis sekali sikap yang Devita tunjukkan pada suaminya. Mereka berlalu diiringi tatapan sendu Mira yang hanya diperhatikan oleh Edgar.
Akhirnya..pasutri itu pergi juga. Mira menghela napas lega. Edgar tentu dapat mendengarnya. Posisi mereka belum berubah, tetap tak berjarak. Edgar mengulas senyum gelinya. Mungkin Mira lupa sejenak akan hal itu.
"Lega, ya?"
Pertanyaan singkat Edgar itu tak diindahkan oleh Mira. Gadis itu memaksa Edgar melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Hingga keduanya tiba di ruang rawat inap VIP Edgar. Kini Mira tahu tempat menginap Edgar semalam.
Ruangan ini tampak bersih. Tidak ada buah-buahan atau makanan-minuman lain yang dibawakan oleh pembesuk. Apa tidak ada seorang pun yang membesuk Edgar? Tadi..wanita yang bersama Edgar tidak membawa apa-apa? Aneh sekali.
Edgar yang sadar bahwa Mira mengamati pemandangan sekitar. Lantas menegur, "Kenapa kamu memandangi ruang inap saya? Apa yang kamu cari?"
"Bukan apa-apa."
"Sepi, ya?" Edgar tersenyum getir. Menyadari bahwa setelah ini ia akan kesepian.
"Setelah ini Bapak sendirian?" tanya Mira memastikan. Sedangkan Edgar menganggap pertanyaan Mira itu hanya berupa basa-basi.
"Iya. Kamu lihat sendiri 'kan tadi, sekretaris pribadi saya kembali ke kantor?" Edgar tidak sadar bahwa ia telah membeberkan identitas Yuva yang sebenarnya pada Mira.
"Ohh..Mbak yang tadi itu sekretaris pribadi Bapak?"
Edgar tertegun. Ia baru menyadari setelah semuanya mengalir begitu saja. Ya sudah, mau bagaimana lagi? Biar saja Mira mengetahui status Yuva yang sebenarnya. Biar bibirnya tidak banyak berbicara. "Kamu pikir siapa? Calon istri pengganti saya?" sinis Edgar.
"Y–ya saya pikir begitu, Pak." Mira gugup saat ia salah mengira. Percuma dong, berbicara panjang kali lebar tadi. Guna menutupi rasa malunya yang salah mengira. Mira memuji Sekretaris Pribadi Edgar, "Mbak Sekretaris Pribadi Bapak cantik dan cocok bersanding dengan Bapak." Lagi-lagi bibirnya nyerocos tidak jelas. Membuat Edgar sempat menatapnya dengan tatapan setajam samurai.
'Mati aku mati!'
"Kamu juga."
Sepanjang Mira berinteraksi dengan Edgar, reaksi pria itu memang kerap tidak terduga. Tapi reaksinya kali ini sukses membuat jantung Mira berdebar-debar.
'Barusan Pak Edgar bilang kalau aku juga cantik, begitu?'
Bodohnya Mira bertanya, "M–maksud Bapak, saya juga cantik?" Sambil menunjuk dirinya sendiri.
Edgar tercengang. Tidak habis pikir Mira bisa menyimpulkan seperti itu. Padahal bukan seperti itu maksud Edgar. Segera Edgar memperjelasnya, "Cocok bersanding dengan saya. Walau hanya satu tahun kedepan. Perihal cantik, bukankah cantik itu relatif? Kamu hanya perlu dipoles sedikit, Mira. Tapi nanti saja jika kamu telah berubah pikiran."
Malu.
Mira malu sekali seusai mendengar penjelasan Edgar yang terlampaui jujur barusan. Apa tidak bisa pria itu sedikit saja menyenangkan hatinya?
Berusaha bersikap biasa saja. Mira menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memaksa bibirnya untuk tersenyum. "Bapak ada-ada saja. Itu tidak akan terjadi, Pak."
"Siapa yang tahu?" Edgar lagi-lagi menanggapinya dengan enteng.
Setelah memastikan Edgar duduk nyaman di atas brankarnya. Barulah Mira lega untuk pergi sekarang juga. "Terserah Bapak sajalah. Saya harus kembali bekerja, Pak. Saya 'kan tidak sekaya Bapak." Namun Mira malah menciptakan masalah baru dengan menyentil apa yang Edgar miliki–kekayaan.
Mulutnya memang mencari gara-gara terus! Efek sarapan lontong balap. Ya begini ini, nyerocos tak tahu aturan.
Edgar merasa tersentil. Tapi memang benar adanya, ia kaya bukan? Maka dengan kesombongannya Edgar kembali membahas tawaran menariknya. "Maka dari itu, terima tawaran saya dan rasakan satu tahun saja menjadi orang kaya. Kamu akan bahagia, Mira."
"Tidak ada yang bisa menjamin kebahagiaan saya, Pak Edgar. Sekalipun itu harta yang berlimpah."
"Munafik."
"Apa?"
"Pemikiran kamu itu tidak realistis sama sekali."
"Tahu apa Bapak soal pemikiran saya? Saya memang orang tidak punya. Tapi saya masih mempunyai sisa harga diri yang harus saya jaga baik-baik." Mira menarik-mengembuskan napasnya sebelum melanjutkan perkataannya. Ia memang emosi. Tapi tak ingin membuat gaduh. Apalagi sosok yang ia hadapi saat ini sedang sakit. Rasa ibanya masih bertakhta mengingatkan. "Saya heran dengan sikap Bapak. Sebentar Bapak baik, sebentar Bapak jahat. Bapak kalau mau baik atau jahat, jangan nanggung Pak!" Endingnya tetap tidak terkendali. Mira membentak Edgar. Membuat Edgar sempat terkejut. Tapi segera menetralkan keterkejutannya itu.
"Sikap saya tergantung sikapmu. Jika kamu masih saja sombong, saya bisa lebih sombong daripada kamu. Jadi tidak usah mengomentari sikap saya. Pikirkan saja soal tawaran menarik saya," balas Edgar tak kalah sadisnya. Nada bicaranya rendah. Tapi full penekanan di tiap kalimatnya. "Hidupmu terlalu rumit, Mira. Mengapa tidak kamu sederhanakan saja? Terima tawaran saya dan lupakan soal harga dirimu. Orang tidak punya sepertimu, apakah masih peduli soal harga diri?"
Mira mengangkat tangannya hendak menampar pipi Edgar. Namun pergerakannya itu terhenti di udara. Bukan karena tangkisan tangan Edgar. Melainkan karena pertahanan kuat dalam dirinya kembali. Mengingatkannya untuk tidak mengotori tangannya.
Gadis itu sangat marah. Akan tetapi tidak sanggup menampar seseorang. Sebelumnya ia tidak pernah semarah ini sampai hendak menampar orang.
Itu artinya, Edgar memang sudah sangat keterlaluan bukan?
"Kenapa kamu berhenti? Lanjutkan. Pipi saya telah bersiap menerima tamparanmu yang tidak seberapa itu." Bukannya meminta maaf, Edgar justru memancing Mira supaya meluapkan emosinya dengan kekerasan.
Yang lebih berengseknya lagi. Saat Mira masih terdiam dan tengah berperang dengan dirinya sendiri. Edgar mengancam Mira, "Tapi saya pastikan setelah ini kamu akan mendekam di penjara atas tindak kekerasan."
"Bagaimana? Masih berniat, melanjutkan aksi kekerasanmu itu pada saya?"
***