Seharian menyibukkan dirinya dengan pekerjaan ternyata tak membuat Edgar dapat melupakan semuanya. Bahkan sampai larut malam pun, Edgar masih terbayang-bayang akan dua pesan yang ditinggalkan oleh dua orang terdekatnya, yang berhasil membuatnya patah hati berat.
Masalah hati, memang hanya waktu yang dapat menyembuhkan.
Edgar menutup laptopnya dan bergegas pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Edgar tidak melajukan mobilnya menuju rumah. Sengaja, pria itu memilih berputar-putar tanpa arah dan tujuan. Hingga sebuah jembatan besar di depan sana menarik perhatiannya. Membuat Edgar menepikan mobilnya tak jauh dari sana dan berjalan kaki menyusuri pinggir jembatan besar itu.
Suasana telah sepi, tetapi dahi Edgar berkerut kala mendapati seorang wanita yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri. Kedua matanya terpejam, mungkin tengah menikmati embusan angin malam. Tetapi apakah harus selarut malam ini? Apa ia tidak takut bila ada penjahat yang sedang beraksi? Melihat jalan telah sepi. Bahkan hanya ada mereka berdua di jembatan besar ini.
Pandangan Edgar tercuri pada sepeda tua yang terstandar di depan sana. Ah, milik wanita itu.
Unik.
Ternyata masih ada wanita yang mengayuh sepeda tua, selarut malam ini, apa tidak takut bila sepedanya rusak? Masa bodoh. Mengapa juga Edgar memikirkan hal yang tidak sepenting itu?
Bertepatan dengan itu, sepasang mata sendu menatapnya sedikit terkejut. Mungkin dia baru menyadari kehadirannya di sini.
Edgar sendiri mengabaikannya. Jembatan ini ‘kan tempat umum. Jadi siapapun bebas berada di sini.
Aliran sungai yang cukup deras di bawah sana membuat perhatian Edgar tercuri. Padahal gelap sekali pemandangan di bawah sana. Seperti hatinya. Tetapi entah mengapa Edgar terus saja tertarik untuk melihat ke bawah sana. Ketertarikannya, tak sadar membuatnya menaiki pinggiran jembatan ini untuk duduk di sana. Berbahaya memang. Tetapi Edgar mana peduli. Ia hanya mengikuti kata hatinya yang sedang menginginkan duduk di sana.
Menikmati sendiri dan sepinya suasana di jembatan besar ini, mengabaikan sosok wanita yang memandangnya terus-menerus.
Hingga teguran ketus wanita itu terdengar. Sampai membuat pergerakan Edgar terhenti. Edgar menyembunyikan tawa sinisnya.
Apa katanya? Edgar hendak mengakhiri hidup?
Ia tidak sepecundang itu!
Entah apa yang membuat Edgar akhirnya mencurahkan permasalahan hidupnya yang akhir-akhir ini sangat mengganggu. Ditinggal kabur calon istrinya, dikhianati sahabat baiknya. Syukurlah..sosok itu mendengar curhatannya. Walau mungkin terdengar aneh. Di awal pertemuan Edgar sudah menjadikannya tempat curhat. Padahal mereka sama sekali tidak mengenal satu sama lain.
Mungkin karena itu, Edgar menjadi lega karena bercerita pada orang tak dikenal. Itu tandanya, rahasianya akan aman.
Tidak hanya curhat pada wanita asing itu, Edgar bahkan dengan gila memberinya tawaran untuk menggantikan posisi Zola. Padahal Edgar belum mengetahui status wanita itu. Bisa saja ‘kan ia sudah mempunyai kekasih, mempunyai calon suami, atau yang paling parahnya..istri orang!
Wajar bila wanita asing itu mengatainya pasien rumah sakit jiwa yang kabur.
Sedikit hiburan malam ini. Edgar menikmati interaksinya dengan wanita asing yang ditawarinya sebuah tawaran gila. Untung saja wanita itu menunjukkan penolakannya. Bahkan repot-repot hendak mengantarnya ke rumah sakit jiwa. Lawak.
Edgar tentu tidak menggubrisnya dan berlalu memasuki mobil mewahnya. Pergi begitu saja.
***
Pagi menyambut dengan secerca harapan baru. Hari ini, seperti sebuah hari baru dalam perjalanan hidup Mira selama dua puluh empat tahun. Mulai hari ini, Mira hanya akan fokus dengan tujuannya—melunasi hutang almarhum bapaknya.
Semalam ia telah merasa puas menikmati kebebasan hanya dengan menghirup udara malam sebanyak-banyaknya. Jembatan besar nan sepi itu menjadi saksi segala rasa kecewa, sedih, dan amarah yang Mira luapkan hanya dengan berdiam diri di sana.
Walau ujungnya Mira bertemu dengan pria gila yang menawarinya untuk menggantikan calon istrinya yang kabur menjelang hari pernikahan.
“Tidak masuk akal..” gumam Mira bila mengingat pria di jembatan malam tadi, membuat Rosiana yang sedang menyapu halaman menoleh.
Rosiana mendekat pada Mira yang sejak tadi melamun di atas sepedanya. “Apanya yang tidak masuk akal, Mir? Sepedamu rusak lagi?”
“Enggak kok, Bu. Sepeda Mira sedang bersahabat akhir-akhir ini,” jawab Mira menggelengkan kepala seraya menunjukkan senyum terbaiknya.
“Syukurlah..” Rosiana lega.
“Tapi sepeda Aza yang enggak bersahabat!”
Kelegaan Rosiana tidak bertahan lama kala putri keduanya muncul dengan menuntun sepeda mininya. Raut wajah kesal dan sedih tampak menghiasi wajah Rahza atau gadis kecil yang kerap mereka semua sapa ‘Aza’.
“Lohh, ini..sepedamu kok bannya kempes?” Rosiana langsung meletakkan sapunya dan mendekat pada Aza dan sepeda malangnya.
Aza pun mulai bercerita guna menjelaskan semuanya, “Aza lupa bilang ke Ibu dan Mbak Mira kalau kemarin pulang sekolah, Aza nuntun sepeda. Sepeda Aza bannya bocor. Tapi enggak apa-apa, kok! Aza bisa jalan kaki ke sekolahnya. Sekalian olahraga. Biar badan Aza sehat dan kuat!” Gadis kecil itu hebat sekali. Walau sedang kesal dan sedih, ia berusaha menciptakan suasana bahagia karena tidak ingin membuat ibu dan kakaknya turut sedih mengkhawatirkannya.
Sayangnya, niat berolahraga Aza tidak mendapat restu dari Rosiana. “Ehh..jangan jalan kaki! Aza bareng sama Mbak Mira aja,” putus sosok ibu yang tidak tega melihat putri kecil kesayangannya harus jalan kaki dari rumah ke sekolah. Tidak masalah bila jaraknya dekat. Tapi sekolah Aza cukup jauh dari rumah.
“Tapi toko yogurt tempat Mbak Mira kerja sama sekolah Aza itu ‘kan berlawanan arah, Bu..” ucap Aza mengingatkan sang ibu. Karena memang benar adanya. Kedua tempat itu berlawanan arah. Aza tidak ingin merepotkan sang kakak yang artinya harus bolak-balik mengayuh sepeda sejauh itu.
Rosiana tetap pada keputusannya di awal. “Mir, enggak apa-apa ‘kan kalau sebelum ke toko yogurt kamu antar Aza dulu ke sekolah?” Mira yang sejak tadi terdiam, mengamati kebesaran hati adiknya, terkesiap.
“Enggak apa-apa dong, Bu! Mira juga enggak tega biarin Aza jalan kaki ke sekolah. Sekolah Aza ‘kan lumayan jauh, Bu. Nanti Aza kecapekan dan malah enggak fokus belajarnya.” Mira tidak masalah sama sekali bila harus bolak-balik. Mengantar Aza ke sekolah, baru ke toko yogurt mengambil yogurt-yogurt yang akan dijualnya keliling hari ini.
Mira justru dibuat kagum oleh pikiran anak sekecil Aza. Adiknya itu benar-benar luar biasa. Mandiri. Tidak mau merepotkan siapapun. Tetapi adakalanya orang-orang di sekitarnya yang tidak tega. Walau ia kukuh bisa sendiri, tapi Aza tetaplah anak kecil yang membutuhkan perhatian ekstra.
Walau mungkin bukan berupa materi yang limpah-ruah, Rosiana dan Mira berusaha menyenangkan Aza. Begitu cara mereka saling menyayangi satu sama lain dalam keluarga kecil tanpa sosok kepala keluarga itu.
“Aza enggak bakal capek kok, Mbak! Mbak Mira aja enggak pernah tuh ngeluh capek..” Nah, ‘kan. Dia masih kukuh.
Mira harus mencipta drama supaya Aza mengakhiri keceriwisannya itu. “Capek..” keluh Mira yang tentu saja hanya akting. “Tuh, udah ‘kan? Barusan Mbak Mira ngeluh capek. Ayo buruan naik ke boncengan sepeda Mbak! Nanti kamu keburu telat.”
Aza dan Rosiana sempat tertawa kecil. Geli menyaksikan akting dadakan Mira. Tidak lucu dan tidak cocok sama sekali! Mira memang bukan ahlinya pengeluh.
“Ya udah, deh. Alhamdulillah kalau gitu. Jadinya Aza hemat tenaga.” Aza naik ke boncengan belakang sepeda tua kakaknya. Hatinya gembira sekali. Kapan lagi menjadi tuan putri kecil, tinggal duduk manis, sampai sekolah. Hehehe..
Setelah berpamitan dan berucap salam. Sepeda Mira pun melaju, siap mengantar tuan putri kecil itu ke sekolah. Rosiana hanya bisa melambaikan tangan dengan hati yang teriris. “Kalian hati-hati ya, di jalan! Nanti sepeda kamu biar Ibu yang bawa ke bengkel sepeda, Za..” Rosiana merasa hidup kedua putrinya semakin susah semenjak kepergian Syahdi—Bapak Mira dan Aza.
Tadi pagi ketika Aza sampai sekolah, Mira berpesan pada Aza supaya pulangnya menunggu jemputannya. Di sela kesibukannya berkeliling menjual yogurt, Mira memang menyempatkan dirinya untuk menjemput sang adik. Kasihan bila siang-siang membiarkannya pulang berjalan kaki. Aza untungnya menurut, tidak seceriwis sebelumnya. Mungkin Aza peka bila kakak dan ibunya khawatir.
Kini, pukul setengah sebelas siang. Mira mengayuh sepedanya dengan cepat supaya sampai sekolah Aza. Walau Mira menyadari telah telat setengah jam. Jam pulang sekolah Aza pukul sepuluh pagi. “Semoga Aza masih bisa nunggu..” Bukan karena Mira lupa. Tapi karena rute berjualan Mira yang berlawanan arah dengan sekolah Aza dan itu cukup jauh.
Hari ini benar-benar hari olahraga Mira. Tingkat kelelahannya berkali-kali lipat. Tapi tidak apa, tetap Mira jalani seperti biasanya. Keringat yang membasahi dahinya tetap tidak bisa menghilangkan senyum manis Mira biasanya.
Senyum Mira semakin lebar saat melihat Aza duduk manis di pos satpam samping gerbang sekolah. “Azaa!” seru Mira memanggil sang adik.
Aza terlihat sedang berpamitan pada Pak Satpam. Mira senang melihat kesopanan yang Aza tunjukkan. “Akhirnya Mbak Mira datang..” ucap Aza menyambut Mira.
Mira terpaksa berbohong supaya Aza tidak merasa bersalah. “Maaf ya, Mbak Mira telat jemput Aza. Mbak Mira lupa.” Mira menepuk dahinya, sekaligus mengusap keringatnya.
“Iya enggak apa-apa kok, Mbak!” Gadis kecil itu tidak banyak bicara, langsung mengambil kotak yogurt yang sebelumnya mengisi boncengan belakang sepeda tua kakaknya. Memangku kotak tersebut. Kemudian duduk manis, mencari posisi ternyaman.
Sepeda tua Mira pun melaju. Siap mengantar Aza pulang.
Tetapi baru beberapa kayuhan Mira mendengar Aza mengatakan sesuatu di belakang sana. “Kalau mampir dulu ke toko alat tulis, kira-kira Mbak Mira keberatan enggak!? Soalnya Aza harus beli buku gambar dan pensil!” Suara cemprengnya tidak mau kalah dengan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang.
Mira tersenyum dan menjawab, “Oke!”
“Yogurt Mbak Mira masih banyak..” lirihnya yang masih terdengar Mira.
Kali ini Mira jujur. “Iya..soalnya habis antar kamu pulang, Mbak masih harus keliling jualan.”
“Capek banget ya, Mbak!?” Aza merasa iba.
Mira segera menepis perasaan iba Aza. “Enggak, biasa aja!”
“Semoga laris manis!” harap Aza.
Harapan itu..seperti air es yang mengaliri tenggorokan kering Mira. Segar sekali. Setidaknya, masih ada hal-hal yang Mira syukuri dalam hidupnya yang serba susah ini—kehadiran Aza. Mira hanya bergumam untuk meng-aamiin-kan harapan Aza itu.
Mira membelokkan stang sepedanya kala melihat sebuah minimarket dua puluh empat jam. “Lohh..kok kita berhenti di minimarket, Mbak?” tanya Aza kebingungan saat keduanya telah turun dari atas sepeda.
“Di sini juga jual alat tulis, Za. Cuman buku gambar sama pensil, pasti ada-lah! Ayo masuk!” ajak Mira.
Tetapi ajakan itu tak lantas membuat Aza mengikuti langkah kaki Mira. “Apa enggak mahal Mbak, harganya?” Mira geleng-geleng kepala dengan tingkah Aza.
Anak sekecil Aza tidak semestinya khawatir berlebihan akan tanggung jawab orang dewasa. Mira dengan sabar memberitahunya, “Beda sedikit. Tapi uang Mbak Mira masih cukup! Ayo buruan..”
“Makasih Mbak Mira!” serunya riang gembira. Mungkin ia senang, karena bisa sekalian cuci mata.
Setelah Aza mengambil sebuah buku gambar dan pensil. Mira memerintahnya, “Sekalian kamu ambil es krim, gih. Enak ‘kan makan es krim panas-panas begini?” Mira hanya bisa membalas keterlambatan jemputannya itu dengan sebuah es krim. Yang tentu disambut binar kebahagiaan di sepasang mata bening Aza. “Beneran Mbak?” Mira mengangguk-angguk sebagai jawaban.
Tibalah saat p********n. Kasir mengatakan bahwa total belanjaannya empat belas ribu rupiah. Mira segera merogoh saku celana kulotnya untuk mengambil dompet.
Namun, hal buruk terjadi. Dompet Mira tidak ada di saku celananya.
“Mbak..kenapa?” bisik Aza yang menyadari kepanikan sang kakak.
“Dompet Mbak Mira enggak ada, Za.”
“Jatuh di jalan, Mbak?” Mira sampai mengabaikan pertanyaan Aza, saking paniknya. Antrean di belakang juga mulai resah dengannya yang tak kunjung membayar.
Hingga suara berat seorang pria menyela di tengah kepanikan Mira. “Pakai ini, Mbak.” Mengulurkan sebuah kartu ATM dan meletakkan beberapa belanjaannya. Ada kopi sachet diantara belanjaan itu. Mengingatkan Mira pada almarhum bapak, beliau juga sangat menyukainya.
“Terima kasih. Selamat datang kembali,” ucap ramah sang kasir ketika p********n selesai.
Pria itu berjalan lebih dulu di depan sana, membuat Mira mengejarnya. “Pak, tunggu!”
Ketika sosok itu menoleh, sepasang mata Mira membulat sempurna. Seolah tidak percaya dengan penglihatannya saat ini. Refleks Mira berseru seraya menunjuk sosoknya, “Lohh, Bapak Jembatan!?”
“Mbak Mira kenal sama Bapak ini? Namanya Bapak Jembatan?” tanya Aza dengan polosnya.
Sementara sosok yang dipanggil dengan nama aneh itu tidak terima. “Bukan!” bentaknya.
“Bukan, Za. Kamu tunggu di samping sepeda sana..” titah Mira yang langsung dilaksanakan oleh Aza.
Seusai kepergian Aza itulah Mira mulai mengajak pria asing itu berbincang. “P—pak, maaf saya tidak tahu nama Bapak. Bapak kalau tidak salah, yang semalam itu ‘kan?”
“That’s right. Yang kamu sebut pasien yang kabur dari RSJ. Yang hendak kamu antar kembali ke RSJ. Ingat?” Lengkap sudah penjabarannya. Membuat Mira menggigit bibir karena salah mengira orang.
Pria ini tentu bukan pria gila, walau tawarannya pada Mira malam tadi bisa dikategorikan tawaran gila. Dia waras. Bahkan terlihat benar-benar bukan orang sembarangan. Ia pasti orang berada.
“Tentu saja!” Mira ingat betul. Sudahlah. Bukan saatnya mengingat-ingat kejadian malam tadi. Ada yang lebih penting dari itu. “Karena saya tidak punya kartu ATM, bisa Bapak tulis nomor yang dapat saya hubungi atau alamat rumah Bapak? Saya akan mengganti uang Bapak. Saya janji. Terima kasih banyak atas bantuan Bapak tadi. Dompet saya sepertinya jatuh di jalan,” jelas Mira panjang kali lebar seraya mengulurkan ponselnya.
“Tidak perlu diganti. Saya ikhlas.” Nada bicaranya tidak bersahabat. Lantas, bagaimana Mira bisa mengetahui keikhlasannya?
“Tapi Pak—”
“Kamu jualan yogurt?” potongnya, seusai mengedarkan pandangan. Pasti ia juga melihat Aza yang berdiri tepat di samping sepeda tuanya, yang di sana terdapat kotak yogurt.
“Iya, Pak. Bapak mau?” tawar Mira, walau ragu pria ini akan mau.
Tetapi kenyataan menampar Mira. Pria di hadapannya itu mengangguk. “Boleh. Ada varian rasanya?” Ia bahkan berjalan mendekat pada sepeda tua Mira.
“Ada dong, Pak! Bapak mau rasa apa?” Mira mulai bersemangat, seperti sedang melayani pembeli.
“Apa saja, asal bukan rasa sakit hati.” Jawaban itu meluncur dari ekspresi sang pria yang tidak berubah, tetap datar.
Mira sampai heran dibuatnya. “Pak Jembatan, move on dong, Pak. Wanita di muka bumi ini masih banyak. Saya lihat Bapak enggak jelek-jelek amat. Baik banget malah.” Kali ini Mira serius mengatakannya. Pria itu memang tampan, mapan, yaa..walau minim ekspresi.
“Nama saya bukan ‘Jembatan’,” protesnya.
“Saya Amira. Panggil saja Mira.” Mira memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangannya apalagi menatapnya. Ia sibuk membuka kotak yogurtnya seraya berpikir hendak memberikan pria ini varian rasa apa?
“Edgar.”
Mira manggut-manggut. Akhirnya, ia mengantongi nama Pak Jembatan itu.
“Baiklah, Pak Edgar. Yogurt stroberi untuk Bapak,” kata Mira seraya memberikan sebotol yogurt pada Edgar. Edgar langsung menerimanya tanpa protes.
Yogurt stroberi dengan kemasan berwarna pink itu tampak kontras dengan penampilan Edgar yang manly. Setelan jas berwarna hitam, kemeja putih, dan dasi hitam. Benar-benar gambaran pria yang selama ini tidak pernah Mira duga akan berinteraksi dengannya sedekat ini. Memangnya, siapa Mira? Hanya orang kecil yang mempunyai semangat yang besar untuk melalui segala rintangan hidup.
Edgar duduk manis di kursi depan minimarket. Meminum yogurt pemberian Mira dengan tenang. Sedangkan Mira sendiri masih setia berdiri di sekitarnya, menunggu barangkali Edgar berubah pikiran, dan mau memberikan nomor ponsel atau alamat rumahnya supaya Mira bisa mengganti uangnya. Meskipun Mira tahu uang yang dikeluarkan Edgar tidak seberapa. Tapi Mira enggan mempunyai hutang pada orang asing seperti Edgar.
Namun yang keluar dari bibir Edgar justru pembahasan dengan topik semalam. “Kamu benar-benar tidak tertarik dengan tawaran saya?”
Sialnya, Aza turut mendengar pertanyaan yang Edgar lontarkan. Gadis kecil itu menoleh pada Mira dengan menunjukkan raut wajah penasarannya. “Memangnya Mbak Mira ditawarin apa?”
***