2. Peringatan Tsunami Aceh

1673 Kata
Lebih tepatnya sekitar 3 tahun yang lalu, tepat saat hari peringatan Tsuami Aceh. Saat itu laman berita dipenuhi dengan ucapan Peringatan Tsunami Aceh. Sudah menjadi sebuah rutinitas tahunan bagi warga Aceh untuk melakukan peringatan tersebut. Sebuah kejadian dengan pukulan besar yang terjadi pada dunia. Menewaskan 280.000 jiwa di 14 negara dan menenggelamkan sejumlah permukiman pesisir. Gempa dan tsunami yang merupakan salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah dan tanah Aceh merupakan salah satu wilayah memiliki dampak paling parah. Peristiwa tersebut masih menjadi kenangan bagi Kinry Damian Fidell meski bukan salah satu korban yang hanyut oleh tsunami. Tapi, kejadian itu masih tetap membekas dalam ingatannya. Saat itu adalah hari Minggu yang cerah bagi Kinry, hari biasa layaknya anak sekolah yang menikmati libur mereka. Tepat, saat tanggal 26 Desember di tahun 2004. Tempat tinggal Kinry yang hanya berjarak sekitar 3 KM dari bibir pantai di Lingke, Banda Aceh. Juga menjadi korban dalam keganasan air yang disebut dengan tsunami. Hari itu cerah, seperti biasanya langit yang menampakkan awan putih bagaikan kapas. Angin yang bertiup lembut menembus ventilasi dan jendela serta tawa, canda Kinry beserta keluarganya di pagi yang cerah. Seharusnya benar hari minggu pagi yang biasa bagi Kinry dan lainnya. Namun, ada hal yang berbeda di pagi itu. Guncangan besar tiba-tiba Kinry rasakan. "Apa aku pusing karena kurang tidur?" benak Kinry yang belum menyadari apa yang sedang terjadi. Hingga sang ibu tiba-tiba berteriak. "Gempa!!" Kepanikan mulai dirasakan begitu pula dengan guncangan yang semakin kuat dirasakan oleh Kinry dan seluruh keluarganya. "Cepat keluar!" Ibu dengan wajah cemasnya menarik tubuh Kinry yang masih bingung akan apa yang sedang terjadi. "Awas!" Sebuah vas bunga yang terletak di lemari hias jatuh dan nyaris menimpa Kinry dan sang ibu. Untung saja sang ayah sempat menarik keduanya hingga tidak terjadi hal yang mengerikan. "Hati-hati dan pegangan ke tembok. Jangan sampai jatuh." "Cepat, cepat!" Ayah begitu panik dan terus memandu seluruh keluarga untuk bisa keluar rumah. Takut jika rumah akan roboh. Sebab semua mulai berguncang hebat. Mulai dari kipas angin yang mulanya berdiri tegak sudah jatuh tergeletak di lantai. Begitu pula vas bunga dan segala yang ada perlahan jauh dan mulai roboh. Kekacauan di dalam rumah mulai semakin tidak terkendali. Gempa itu membuat Kinry dan lainnya harus merangkak. Kekuatan dari gempa itu membuat siapa saja ketakutan. Sehingga mereka kehilangan tenaga untuk bisa tetap berdiri dan hanya bisa merangkak menarik kaki mereka dengan paksa. Menyusuri tembok dengan kaki mereka yang gemetar dan sedikit lemas, akhirnya Kinry dan keluarganya berhasil keluar rumah. Terduduk di jalan aspal depan rumah. Begitu pula dengan tetangga lainnya. Semua merangkak keluar dan saling berkumpul. Membuat kelompok keluarganya masing-masing. Berdoa agar gempa segera berakhir dan rumah mereka tidak rubuh. Saat itu pukul 08:58 tepat di hari Minggu sebuah gempa mengguncang Samudera Hindia dengan guncangan gempa berskala 9,1 - 9,3 Skala Richter. Guncangan yang dahsyat itu berlangsung cukup lama. Lebih dari 10 menit hingga gempa tersebut benar-benar berhenti. Saat itu kondisi rumah benar-benar porak-poranda. Air dari bak sampai meluber ke lantai, pecahan kaca dan memenuhi lantai. Di saat semua orang sibuk membereskan kekacauan dari gempa tersebut. Tiba-tiba saja, orang-orang mulai berteriak panik. "Lari!! Lari!!" "Air laut naik!" "Cepat lari." Kepanikan yang sudah jelas membuat orang ikut panik dan berlari tanpa sebab yang pasti. Begitu pula dengan Kinry dan keluarganya. "Ada apa, Yah? Apa ada kebakaran? Kenapa orang-orang berteriak air laut naik?" tanya Kinry bingung. Sang ayah pun memutuskan untuk mencoba mengecek keadaan. Namun, semua orang terus berlarian. Hingga mereka pun ikut memutuskan berlari. "Tidak tahu, tapi mereka semua meminta kita untuk lari. Jadi, mari kita jalan pelan-pelan saja!" titah ayah yang mengingat jika saat itu ibu sedang mengandung adikku. Aku dan kakak berjalan cepat sambil bergandengan. Namun, tiba-tiba pegangan ayah terlepas. "Tidak apa-apa terus saja berjalan! Jaga ibu kalian," pesan sang ayah dengan senyumannya yang ketir. Seakan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya bukanlah hal yang baik. Itulah kata terakhir yang Kinry dengar dari sang ayah sampai ia melewati sebuah gang dan mulai menyadari apa yang membuat orang-orang kini panik dan berlari dengan wajah mereka yang pucat. Lumpur hitam legam dengan beragam hal yang diseretnya terlihat jelas oleh Kinry. Air itu setinggi rumah dua lantai. Bergemuruh dengan puing-puing bangunan yang ikut bersamanya. "Lari!!" Dari situlah, Kinry dan keluarganya mulai berlari kencang sekuat tenaga mereka sambil terus berpegangan tangan. Setidaknya apapun kondisinya mereka berusaha untuk tetap bersama. Kaki mereka terus berlari meski terasa perih dan mulai berdarah-darah. Sendal yang digunakan sudah entah ada dimana. Semua terinjak, berdesakan dan saling mencari selamat. "Aduh, Ibu sudah tidak kuat lagi." Ibu yang saat itu tengah hamil muda mengaku sudah kelelahan. Sementara air terus mendekat melahap seluruh apa yang ada di depannya. Langkah mereka mulai melambat. Kaki mereka sudah nyaris tak bisa lagi melarikan diri. Satu per satu suara teriakan berubah menjadi suara gemuruh. Hingga tak ada lagi suara teriakan yang terdengar dari belakang Kinry. Kinry pun menoleh ke belakang. Ia penasaran apa yang membuat suara itu tiba-tiba lenyap. Ternyata tembok air itu kini sudah ada di hadapan mereka. Bersiap untuk melahap mereka menunggu giliran setelah semua orang di belakang mereka lenyap di telan lumpur legam tersebut. Memaksa mereka untuk segera berlari jika tidak ingin ikut di lahap hidup-hidup oleh air tersebut. "Cepat naik ke sini!" Di tengah nafas yang terengah-engah tersebut seorang ibu paruh baya menawarkan bantuannya. Ia mempersilahkan Kinry beserta keluarganya untuk masuk ke rumahnya. Rumah yang memiliki 3 lantai tentunya. Secepat kilat, Kinry dan keluarganya menaiki anak tangga tersebut. Tepat saat anak tangga terakhir yang mereka injak air menerjang rumah tersebut, memenuhi seisi rumah dengan lumpur hitam yang pekat. "Hah.. hah.. hah.." Napas mereka semua terengah-engah begitu berhasil menaiki anak tangga tersebut. Seketika itu mereka menyadari kondisi mereka. Kaki yang berlumuran darah dan sudah mulai terciprat air tsunami. Serta pakaian mereka yang juga sudah compang-camping akibat tarik menarik dengan orang banyak sebelumnya. "Kalian tidak apa-apa? Duduk dan tenangkan diri kalian dulu." Sang pemilik rumah menawarkan istirahat pada mereka. Tak heran kondisi Kinry dan keluarganya cukup mengenaskan. Mengingat merekalah orang terakhir yang bisa diselamatkan sebelum air benar-benar melahap mereka. Baru saja mereka lolos dari ganasnya air tersebut. Tapi, air masih terus meninggi bersama dengan puing dan para korban yang hanyut bersama ganasnya air tersebut. Bencana tidak berhenti sampai disitu. Begitu air tersebut mulai turun, yang tersisa adalah endapan lumpur, puing-puing, hingga potongan tubuh manusia dan mayat yang bergelimpangan. "Tolong!!!" "Tolong!!!" "Arrght ...." Menyisakan suara erangan dan minta tolong yang terus bersahutan tanpa jeda di setiap sudut yang memenuhi gendang telinga. Semua orang saling menolong. Menyelamatkan siapa saja yang bisa diselamatkan tanpa adanya rasa egois yang ingin selamat sendiri. Uluran tangan terus terjulur. Tanpa pamrih, tanpa jeda. Mereka memiliki harapan yang sama. Jika, keluarga atau orang yang mereka kenal menjadi korban keganasan air tersebut. Mereka berharap akan ada orang lain pula yang ikut mengulurkan tangan mereka. Harapan indah di tengah suasana yang mencekam penuh duka. Semua orang saling menolong dari seluruh dunia membantu para korban dan memberikan bantuan yang mereka bisa. Semua itu menjadi kenangan yang berarti bagi Kinry. Kenangan yang sulit ia lupakan dan terus tertanam dengan misteri yang tersimpan di balik bencana tersebut. Siapa sangka jika kenangan itu kini sudah mencapai puluhan tahun dan menjadi peringatan tsunami yang kesekian kalinya. Untuk terus mengingat duka dan juga uluran tangan yang begitu dalam pada tanah Aceh. Kinry merupakan salah satu yang selalu mengikuti acara peringatan tersebut. Ia pergi bersama dengan teman lainnya. Ikut memanjatkan doa agar bencana mengerikan tersebut tidak terulang kembali. Mengingat jika masih ada banyak manusia yang sangat menghargai sesama. Menghargai setiap nyawa yang bernafas di muka bumi ini. Akan tetapi, siapa sangka jika gempa kini tiba-tiba saja terjadi lagi. Saat semua orang baru saja memulai untuk menyiapkan aktivitas mereka. Pagi hari di tanggal dan bulan yang sama, 26 Desember kini gempa itu kembali terjadi. Bagaikan mengusik luka yang sudah lama sembuh. Semua orang kembali ketakutan. Lembaran media yang memperingati tsunami seolah menjadi sebuah ramalan. Ucapan belasungkawa yang selalu tersemat di kolom koran lokal kini terinjak begitu saja. Semua orang kembali pada luka yang sama. Ketakutan yang sama serta kekhawatiran yang sama. Namun, kini dalam diam mereka sudah mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Sejak tsunami besar itu melanda. Gempa sesekali mengguncang tanah Aceh tersebut. Setiap orang yang memiliki kenangan yang sama sudah siap akan kemungkinan terburuk. Jika air laut akan kembali naik, jika mereka harus menghadapi mimpi buruk tersebut lagi. Dalam diam, semua orang meraih hal yang perlu mereka selamatkan dan keluar dari gedung bangunan. Wajah pucat terlihat dari setiap wajah. Mata sayu dan penuh harapan. Begitu pula dengan Kinry yang pagi itu sudah berada di sebuah bus untuk berangkat ke kantornya. "Kyaaaa ....." Mobil-mobil saling bertabrakan. Semua mengerem mendadak. Orang-orang mulai berlarian. Mereka yang berada di jalan mencari tempat tinggi untuk berjaga. Berjaga jika air kembali datang menerjang. Akan tetapi, gempa kali ini terasa lebih mengerikan. Seluruh bangunan roboh serempak banyak manusia yang tertimpa akan reruntuhan. Erangan dan teriakan minta tolong kembali terjadi. Kinry hanya bisa terdiam berdiri di tengah aspal yang semula ikut berlarian dengan yang lainnya. Kini pikirannya tertuju pada satu hal. "Ibu, tidak, ibu!" Kinry memikirkan keluarganya. Ia berlari, menantang jalanan yang padat. Melawan arus mengingat rumahnya berada di dekat pantai. Ia tidak takut untuk mendekat ke pesisir pantai yang ada di dalam pikiran Kinry hanya ingin segera menemukan keluarganya. Kinry terjatuh beberapa kali, terperosok dan terdorong. Namun, ia tetap berlari. Berlari dan menahan sesak dadanya yang mulai kehabisan napas. "A-apa itu?" Akan tetapi, berbeda dengan kisah yang dulu terjadi di tanah Aceh. Dengan mata kepala sendiri, Kinry menyaksikan saat air laut surut dan tanah terbelah. Dari lubang besar tersebut sebuah gelombang energi terlihat menggumpal. Seolah akan meluap dan meledak. "Tidak, itu ..." Kekhawatiran Kinry semakin merebak. Ia menduga jika kali ini akan membuat bencana yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Benar saja, dari lubang tersebut tiba-tiba sebuah menara besar menjulang tinggi. Tumbuh dari sela sisi hingga ke langit dan tak bisa lagi terlihat ujung dari menara tersebut. "Ya, Tuhan, apa lagi ini?" Tidak hanya Kinry, semua orang merasakan hal yang sama. Menghentikan langkah kaki mereka yang semula berlari kencang. Fokus pada menara yang tak terlihat dimana puncaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN