tengah malam sekitar pukul satu dini hari, Jenar terbangun karena mendengar suara gamelan dan tembang jawa yang mengalun begitu indah.
Dan ada rasa dalam diri nya untuk menari, mengikuti alunan itu. Jenar beranjak dari tidurnya dengan tidak pelan, kemudian langsung membuka lemari kayu dengan keras, selanjutnya ia mengambil selendang hitam yang sengaja diri nya dan Ayana simpan di sana.
Karena suara gaduh yang di sebabkan oleh Jenar itu, Ayana merasa terganggu dalam tidur nya. perlahan mata gadis itu terbuka, dan betapa terkejutnya dia melihat Jenar keluar dari kamar dengan melilitkan selendang merah pada pinggang nya.
"Je.. elu mau kemana?" tanya Ayana berusaha untuk bangun dari posisi nya.
Jenar mendengar ucapan dari sahabatnya itu, dan ia menghentikan langkah nya yang sudah berada di ambang pintu kamar. Menolehkan wajah nya pada Ayana yang hendak berjalan menghampiri diri nya. kemudian tersenyum dengan lebar dan seram, dengan kedua bola mata yang terlihat memerah.
Setelah itu, Jenar berjalan kembali meninggalkan Ayana yang berteriak histeris ketika mengetahui bahwa sahabatnya itu sedang berada dalam kendali arwah penari itu.
Dengan cepat Ayana mengontrol ketakutan di dalam dirinya, dirinya bahkan sampai meneguk tandas minuman yang tersedia. Setelah itu, Ayana langsung berlari menuju kamar Athar, membangunkan pria itu tanpa membuat anak anak yang lain ikut terbangun. Karena Ayana tidak ingin kalau anak anak sampai tau apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
Athar terbangun dan mengikuti Ayana dengan mata yang masih terpejam.
****
Jenar termenung di tepian ranjang seorang diri, pikiran nya melayang pada apa yang barusan menghampiri diri nya.
Keringat pun terus keluar baik pada wajah, maupun pada tangan nya. Jenar berusaha untuk tidak menjerit histeris, ia mencoba untuk bersikap biasa saja. Dan mendengarkan apa yang arwah penari itu inginkan.
Jika kalian bertanya dimana Ayana dan teman yang lain? mereka semua sedang berkumpul diruang tengah. Dan hanya Jenar lah yang berada di kamar, yang tadinya ia hanya ingin mengambil ponsel nya saja. Akan tetapi, ternyata arwah itu kembali mendatangi dirinya untuk yang ke tiga kali nya.
Dan yang membuat Jenar termenung ialah, arwah itu datang ketika manusia mulai beraktifitas, dan untuk kesekian kali nya penari itu hanya berkata "Tolong saya"
Jenar sudah mulai jengah mendapat teror dari arwah penari itu, ia capek kalau harus selalu terkejut dan merasa takut, jika arwah itu datang menghampiri nya.
Sejujurnya Jenar merasa aneh dan bingung, sebenarnha apa yang membuat arwah penari itu yakin kalau dirinya lah yang bisa membantu menyelesaikan masalahnya yang belum terselesaikan itu?
Maksudnya, Jenar hanyalah gadis biasa yang tidak memiliki bakat apapun dalam bidang ke-ghaiban. Dirinya hanya tidak sengaja terbuka mata bathin nya, dan Jenar berharap mata bathin nya itu akan tertutup kembali dalam waktu yang cepat.
Ia tidak ingin hidupnya selalu di bayangi oleh arwah arwah penasaran yang meminta bantuan kepada nya. Ia tidak ingin menjadi seperti anak anak indigo diluar sana, yang dirinya ketahui selalu mendapat cemo'ohan dan di pandang aneh oleh publik. Ia hanya ingin hidup dengan normal.
*****
Suara dering panggilan masuk, yang sudah ketiga kalinya itu membuat Alena Andhara menghempaskan pintu kamar mandinya dengan sedikit keras. Wajah bete terlihat begitu jelas, serta dumelan yang terlontar menggambarkan betapa kesalnya ia saat ini.
"Enggak bisa sabaran banget, bikin pagi gue jadi ancur aja!" dumelnya seraya berjalan menghampiri ponselnya yang terletak diatas ranjang kecilnya.
Akan tetapi, gadis yang memiliki paras cantik itu menghela napasnya dan mencoba menghilangkan kekesalannya ketika membaca nama yang tertera pada layar ponselnya.
"Ida.." gumamnya dengan pelan, kemudian ia menerima panggilan itu seraya menjatuhkan tubuhnya pada ranjang.
"Hallo, Da. Ada apa?" ujarnya berusaha tenang.
Sejujurnya setiap kali Ida menelpon dirinya, dengan seketika hatinya merasa cemas dan khawatir dengan kabar apa yang akan dia dapatkan tentang keluarganya di Desa sana.
"Hallo, mbak. Ini si ibu mau bicara"
Mendengar jawaban adiknya itu, seketika gadis itu menelan salivanya.
Dara, begitulah panggilan akrabnya, menunggu sang Ibu menyapa di sebrang telpon sana.
"Hallo, Ra. Gimana kabar mu, sehat?"
Suara dari wanita yang melahirkan nya itu terdengar begitu lembut di telinga nya. Rasa rindu yang selalu dirinya pendam untuk keluarganya terutama Ibu nya itu, seketika menguap begitu saja setelah mendengar kalimat yang sama yang selalu menyapanya setiap kali Ida menelpon.
Walaupun Ibu dan Ida tidak dapat melihat Dara, namun senyum manis tetap terlukis pada wajahnya. "alhamdulillah, Bu. Dara baik kok"
"Kalau Ibu dan keluarga yang lain bagaimana? Sehat 'kan?" lanjutnya dengan semangat.
Perasaan kesal dan bete nya hilang begitu saja. Akan tetapi, cemas pada hatinya tetaplah ada, karena Dara belum mengetahui alasan apa yang membuat Ibu sampai menelpon dirinya di pagi hari ini.
"kami disini baik. Ibu cuma mau bilang sama kamu, kalau tadi kami sudah mengirimkan uang kuliah mu. Tapi maaf, kami masih belum bisa ngasih lebih ke kamu. Kamu paham 'kan, nak?"
Senyum pada wajahnya tidak serta merta luntur begitu saja, saat mendengar ucapan sang Ibu. Dara sangat paham akan kondisi yang sedang keluarga nya hadapi, dan ia akan menerimanya. Tidak mungkin dia protes dengan pemberian kedua orangtua nya itu. ia justru mengucapkan syukur dan berterimakasih kepada keluarganya karena telah mengirimkan nya uang kuliah.
"Iya, bu.. Yasudah, Dara tutup dulu. Assalamu'alaikum" pamitnya sesaat setelah ia menerima wejangan yang selalu di ingatnya.
Helaan napasnya terdengar begitu berat. Alena Andhara, gadis cantik dengan warna kulit eksotis itu adalah salah satu mahasiswi jurusan hukum pada Universitas Angkasa Raya di kota Jakarta. Terhitung dua bulan ini, hidupnya sedang terasa berat karena ujian yang sedang ia hadapi. Bukan ujian kuliah, ujian ini adalah ujian hidup.
Keluarganya di Desa, sedang mengalami kesulitan ekonomi yang berimbas pada uang bulanan dirinya. Dara hanya menerima uang pokok untuk kuliah saja, tidak untuk kebutuhan sehari-hari nya. Ditambah lagi, jika ia mendapatkan tugas kuliah yang mengharuskan nya mengeluarkan banyak uang untuk lembaran kertas print. Rasa nya, Dara ingin sekali menyerah dan kembali ke desa.
Namun tentu saja itu tidak mungkin. Dara sudah berjuang sejauh ini untuk pendidikan dan cita-cita nya. Begitu juga keluarganya yang sudah bersusah payah membantu mewujudkan semua nya itu. Ia harus membuat semua orang bangga dengan pencapaian dirinya. Terlebih di balik pendidikan dan cita-cita nya itu, Dara tentu memiliki maksud dan tujuan yang sudah lama ada dalam benak nya.
Tidak ingin berlama-lama merasakan pusing karena masalah ekonomi, Dara pun dengan segera bersiap-siap untuk berangkat ke kampus yang jarak nya lumayan memakan waktu dari kostan dirinya itu.
Seperti biasanya, gadis berusia 23 tahun itu hanya mengenakan hiasan wajah yang sewajarnya saja, seperti bedak, blush on, maskara, dan lipstik berwarna nude. Sedangkan untuk pakaian nya, hanya atasan blouse dan celana panjang jeans. Itu adalah style andalan dari seorang Alena Andhara.
Jarak dari kostan menuju kampus nya itu memakan waktu selama 30 menit lama nya menggunakan sepeda motor yang sengaja keluarganya itu belikan untuk Dara ketika pertama kali masuk kuliah.
"Buset! Udah jam 7 aja!" pekik Dara merasa terkejut dengan jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi.
Gadis yang sedang merapihkan rambut nya dengan sisir itu, segera menyambar tas yang berada tak jauh dari jangkauan nya. Meletakkan sisir miliknya begitu saja, dan segera meninggalkan kamar kost nya tanpa sarapan terlebih dahulu.
Dara menghidupkan motor matic nya dengan hati yang berharap bahwa jalanan hari ini tidak macet. Karena tepat jam 8 pagi, di kelasnya di adakan quiz. Dan tentunya, Dara tidak ingin melewati hal yang penting itu.
"Bismillah.."