"Bersih, Non. aman kok, nggak ada lantai basah, licin, atau apapun"
Pernyataan Mbok Nar itu membuat tanya besar dalam benak Ayana. Bagaimama ini semua bisa terjadi dalam waktu yang sangat cepat.
Kekhawatiran nya pada kondisi sahabatnya itu bercampur dengan kecemasan menunggu dokter yang tidak juga kunjung datang.
Ayana dan Mbok Nar tidaklah diam seraya menunggu dokter atau Bryan. Mereka berdua melakukan berbagai usaha untuk membuat Jenar sadar dari pingsan nya. dan untuk darah itu, sudah berhasil dihentikan oleh air dingin yang Mbok Nar ambil setelah membuang air hangat sebelumnya.
"Mbok, Ara kenapa belum sadar juga?" tanya Ayana masih dengan air mata yang mengalir.
Mbok Nar sedang duduk di sofa seraya memijat kaki putri majikan nya itu pun hanya dapat terdiam dengan air mata yang sama mengalir nya.
Beberapa menit selanjutnya, terdengar deguman suara pintu yang dibuka dengan keras. serta suara langkah berlari dari seorang pria yang segera memeluk Jenar yang berada diatas sofa.
"Dek.. bangun, kamu kenapa?!" tanya Bryan dengan nada keras nya.
Benar sekali, pria yang berlari itu Bryan yang masih mengenakkan Jas kerjanya. Ketika Mbok Nar menelpon dirinya, pada saat itu Bryan sedang menikmati bekal makan siang yang Jenar bawakan untuknya. Dan Bryan terkejut bukan main, ketika Mbok Nar mengatakan bahwa adiknya itu jatuh pingsan dengan darah yang keluar dari kepala nya.
Dan tanpa berpikir lagi, pria itu segera meninggalkan makan siang nya, kemudian bergegas kembali kerumah. Bahkan Bryan pun sampai meminta kepada asisten nya untuk membatalkan semua meeting pada hari ini.
"Mbok ndak tau, Den" jawab Mbok Nar menahan isakan nya.
"Na! adik gue kenapa?!"
Ayana pun menggelengkan kepala nya dengan cepat, "Aku juga nggak tau, Mas. Aku tadi liat dia lagi menuruni anak tangga, terus ada pesan masuk ke ponsel ku. Begitu aku lihat ke ponsel, Ara teriak dan begitu aku lihat ke Ara lagi, dia sudah tergeletak dibawah, dengan kepala yang berdarah" Ayana menceritakan hal tersebut dengan singkat.
"Ta-tapi, Mas.. tadi aku suruh Mbok Nar untuk memeriksa anak-anak tangga. Mbok Nar bilang aman, Mas. Nggak ada basah, licin atau apapun disana" lanjutnya seraya menyeka air mata nya.
Bryan terkejut mendengar hal yang Ayana ceritakan. Dan bingung tentunya, Bagaimana adiknya itu bisa terjatuh masih menjadi tanya besar dalam benak nya, Ayana dan Mbok Nar.
Tak sampai lima menit, terdengar suara seseorang yang sangat familiar bagi Mbok Nar dan Bryan.
"Mbok, Dokternya datang" ujar Bryan, meminta Mbok Nar untuk menemui dan membawa nya langsung.
"Baik, Den" Mbok Nar mengangguk seraya berlalu menemui dokter tersebut.
**
Karena kejadian itu, kening Aqeela harus diperban agar tidak terjadi infeksi. Dan Aqeela baru sadar dari pingsan nya setelah hampir satu jam lamanya.
Dokter Arya yang merupakan dokter keluarga mereka pun bilang kalau Jenar hanya mengalami sedikit benturan yang membuatnya tidak sadarkan diri. Dan tentang luka dikeningnya itu, tidak begitu lebar dan dalam, serta tidak begitu mempengaruhi semua nya. Maka dari itu, Dokter Arya hanya memberikan sedikit obat untuk pereda nyeri, dan beberapa vitamin.
"Dek.. kenapa bisa kayak gini?" tanya Bryan seraya mengelus lembut surai pendek adiknya itu.
Saat ini Jenar sedang duduk di sofa dengan kaki yang diluruskan, dan punggung yang di sangga oleh bantal yang Mbok Nar ambil dari kamar tamu.
"Iya, Non. kenapa bisa kayak gini?" tanya Mbok Nar menatap nanar pada Jenar.
Jenar tersenyum menatap Bryan, Mbok Nar dan juga Ayana satu persatu. Rasa syukur terucap pada hatinya, bersyukur karena dia selalu dikelilingi oleh orang-orang baik yang menyayangi nya.
"Ditanya malah senyum. Nggak tau apa kalau kita dari tadi cemas banget" dumel Ayana yang kesal karena Jenar tidak juga menjawab pertanyaan dalam benaknya itu.
"Gue nggak tau, Na" ujar Jenar dengan suara lemahnya.
Kening Ayana mengerut dengan dalam, tidak mengerti dengan jawaban yang Jenar berikan. "Gimana-gimana?? Elu sendiri nggak tau kenapa bisa jatuh?"
Jenar mengangguk pelan, dengan mata yang menerawang. Namun tidak ada hal aneh yang dia temukan sebagai penyebab dirinya terjatuh itu.
"Sudah deh, enggak peduli apa sebabnya, yang penting sekarang kamu sudah sadar" ujar Bryan tidak ingin membuat adiknya itu berpikir terlalu dalam.
Ayana terdiam dengan mengatup bibirnya rapat. Rasa penasaran nya itu tidak terjawabkan, dan itu sedikit membuatnya kesal.
"Dek, besok kamu nggak usah ikut KKN yaa" ujar Bryan sebagai sebuah pernyataan yang sukses membuat Jenar dan Ayana menganga karena terkejut.
"enggak bisa dong, Mas" protes Jenar menghadap penuh kepada kakak satu-satunya itu.
"Tapi kamu lagi sakit loh" jawab Bryan dengan cepat. Bryan jelas sangat khawatir akan kondisi Jenar, belum lagi tempat KKN adiknya itu sangatlah jauh.
Jenar menggelengkan kepalanya, menatap Bryan dengan senyumnya. "Mas, dengerin aku. Aku enggak apa-apa kok. Aku sehat" ujarnya.
Jenar juga menunjuk keningnya itu menggunakan jari nya, "Ini.. hanya kecelakaan kecil. Jenar janji bakal lebih hati-hati" lanjut gadis itu dengan penuh keyakinan.
Bryan menatap Jenar dengan helaan napas nya, "Fine, tapi Mas bakal hubungi Mamih dan Papih dulu"
Pria itu kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celana nya, kemudian segera melakukan panggilan vidio ke nomor Papih Tio
Semua yang berada di ruang tamu itu terdiam, menunggu panggilan itu terjawab. dan di dering ketiga tepatnya, panggilan itu terjawab dengan terlihatnya wajah pria yang sudah tidaklah muda.
Pria yang memiliki hidung mancung, dengan brewok yang memenuhi sebagian wajahnya itu terlihat tampan walaupun sudah terlihat beberapa rambut putih pada kepalanya.
"Assalamu'alaikum, Mas" salam pria itu dengan senyumnya.
"Wa'alaikumsalam, Pih" jawab Bryan.
"Pih.. lagi sama Mamih?" tanya nya kepada Papih Tio.
Tio mengangguk seraya memanggil istri nya untuk ikut bergabung. "Ada apa, Mas?"
Bryan menggaruk keningnya yang tidak gatal itu seraya menatap Jenar yang juga sedang menatapnya.
"Gini Pih, Mih.. Bryan mau kasih kabar kalau Jenar, hmm.."
"Kenapa Mas?? Adek mu kenapa?!" terdengar suara Mamih Ratna cemas.
"Jenar barusan jatuh, Mih. dari tangga" ujar Bryan dengan cepat dan dengan mata yang terpejam tidak berani melihat ekspresi dari Mamih dan Papih nya itu.
"Apa?!! kamu gimana toh, Mas. bukan nya jagain adikmu itu loh!!"
"Mih.. diam dulu, biar Papih yang bicara"
"Mas.. Mas Bryan buka matanya"
Bryan dengan perlahan membuka mata nya sesuai dengan apa yang Papih perintahkan, kemudian menatap Papih nya itu dengan takut. Walaupun hal ini terjadi melalui panggilan vidio. Akan tetapi, Bryan tetap takut tentang tanggung jawabnya menjaga adiknya itu. Dalam hati pun Bryan mengakui kelalaian nya dalam menjaga Jenar, namun semua nya sudah terjadi.
Jenar menatap Bryan dengan tidak tega. Kemudian gadis itu merebut ponsel kakaknya, "Mas, biar Jenar yang bicara"