"AYAM SIALAN….!" teriak Riris sangat kencang hingga memekakan gendang telinga. Kalau orang tua pasti sudah jantungan.
Soleha yang berada di samping halaman rumahnya malah tertawa keras karena kepintaran sang ayam.
Mereka pun kembali adu mulut seperti biasa yang sudah menjadi makanan setiap hari. Kanaya yang masih tidur menutup telinganya rapat-rapat.
"Bisa gila gue denger mereka ngoceh mulu tiada habisnya." Kanaya melempar selimut dengan kasar. Kesal setengah mati iya.
Bayangkan saja, masih jam lima pagi dua emak itu berteriak satu sama lain, saling ejek dan memaki.
Kanaya sudah capek, lelah. Selama tujuh belas tahun, mereka selalu saja seperti itu, apa tidak lelah?
"Ini semua karena keluarga Baskara!" ucapnya sambil membuka jendela kamar.
Baskara pun juga melakukan hal sama, dia membuka jendela kamarnya. Tiap pagi dan setiap hari selalu saja bersamaan.
"Apa elu liat-liat!" Mata Kanaya melotot seperti menantang.
"Iler elu dimana-mana. Cuci muka yang bener…!" ejek Baskara tertawa santai.
Kanaya kalang kabut, langsung menuju ke kamar mandi. Tak ada yang salah dengan wajahnya. Iler juga tidak ada.
"Dasar kutu kupret!" geram Kanaya di mengepalkan tangan kuat.
Baskara malah bernyanyi karena senang berhasil mengerjai Kanaya. Iya itu makanan setiap harinya. Jika tidak mengejeknya, maka merasa ada yang kurang.
Emang bocah tengil yang kurang ajar. Kanaya saja sampai geram dibuatnya, apalagi orang sekitar.
"Awas aja, akan gue balas nanti." Emosi Kanya sudah sampai ubun-ubun. Kalau gunung mungkin meletus dahsyat.
"Aya…!" panggil seorang pria"Ayam sudah berkokok masih aja molor…!"
Nah begitulah keseharian Kanaya sebelum berangkat sekolah. Gadis itu pun keluar kamar menuju ke ruang tamu. Ada bapaknya yang sedang baca koran sambil minum kopi.
"Pak…, betah banget." Kanaya mengambil kopi yang ada di tangan bapaknya itu.
"Buat sendiri sana!" Sebelum di embat sang anak, pria itu segera merebutnya.
"Pelit…," olok Kanaya dengan wajah manyun kaya p****t ayam.
Kanaya menengok ke arah jendela samping rumah. Soleha dan Riris masih saja adu mulut. Seharusnya sang bapak memisahkan mereka. Lah ini malah minum kopi dengan tenang.
Riris yang melihat Kanya kucel pun tersenyum. Wah ini bakalan ada pertempuran dahsyat.
"Tu anak perawan elu…. Cih…, gayanya selangit….!" Riris menunjuk Kanaya pakai kemoceng.
Seketika itu, Soleha balik badan. "Anak gue cantik, putih, bersih, kagak kaya anak elu. Udah deh…, kalau iri bilang…!"
"Anak elu kan kagak laku. Percuma cantik kalau bakalan jadi perawan tua."
Riris malah tambah nyolot membuat Soleha geram setengah mati. Air timba yang ada di sampingnya pun di siram ke wajah Riris hingga basah kuyup.
"Leha…kelakuan elu kaya gak punya adab…!" teriakan Riris cukup menyita perhatian beberapa warga desa.
Soleha malah berkacak pinggang dengan santai, tanpa menyadari kalau suaminya sudah berada di belakang, begitu juga sebaliknya.
"MASUK….!" bentak para suami bersamaan.
"Kagak bisa!" tolak kedua wanita itu.
"Udah di rante aja biar gak berantem," ucap salah satu dari tetangga. Untung saja rumah mereka jaraknya lumayan jauh dari para tetangga. Namun sayang, rumah keduanya bertetangga, makanya tiap hari bertengkar mulu.
"Gue akan balas dendam, Leha!" ancam Riris dengan wajah marah.
Belum sempat menjawab, Soleha langsung diseret paksa oleh suaminya.
"Leha…! Ingat itu…!"
"Ma…, udah…, Papa pusing dengernya." Pria itu masuk ke dalam rumah di ikuti Riris.
"Pa…, Leha mulai duluan. Lihat…, baju mama jadi basah semua…."
Dengan wajah manja, Riris bersandar di bahu suaminya itu.
Pokoknya nanti gue minta Baskara buat balas dendam sama Kanaya. Enggak dapat emak, dapat anak tak apa bukan, batin Riris dengan wajah tersenyum menyungging.
"Udah mandi sana! Bau…"
Riris berjalan menuju ke kamar mandi sambil menghentak-hentakkan kaki. Dia tidak menyadari ada sabun di lantai. Ya sabunnya di injak hingga ambruk ke belakang. Bisa dikatakan dia kepleset. Posisinya sangat tidak epik.
"Papa…!"
Apes dua kali tuh Riris. Pagi disiram air kotor, lah sampai kamar mandi malah kepleset.
Mendengar teriakan Riris jelas saja Soleha kepo.
"Udah lah, Buk. Capek bapak dengernya. Pening kepala nih…."
Soleha melototi suaminya. "Bela aja dia. Mentang-mentang mantan pacar."
Wes bahas itu, kepala Taufik mulai kliyengan. Riris memang masa lalunya, tapi masa depannya sekarang Soleha. Apalagi mereka sudah punya anak perawan. Ada saja pikiran negatif wanita itu.
"Apa? Gak bisa jawab 'kan? Memang Bapak Taufik selalu membela mantan kekasihnya."
Kanaya yang jadi penonton menggeleng kepala perlahan. Ibunya terlalu cemburu. Ya cemburu sama Riris, selalu nyokap Baskara tengil.
Karena kedua orang tuanya sedang cekcok, Kanaya diam-diam mengambil peluit. Kaya mau lomba aja.
Jelas lah, dia akan jadi juri buat mereka. Memang edan satu bocah itu. Seharusnya dilerai, malah didukung.
Suara peluit itu pun sangat keras, sampai kedua orang tuanya menatap tajam ke arah gadis itu.
"Ada apa?" tanya Kanaya tanpa dosa. "Ibuk sama bapak kan mau adu kekuatan."
"Tuh, Buk. Anak satu-satunya kita nurun siapa?" Taufik terus menatap Kanaya.
"Nurun bapak lah," jawab Soleha tak mau kalah.
Kanaya merasa aneh dengan mereka berdua. Lantas dia memberikan peluit kepada Taufik.
"Aya mau mandi dulu." Belum melangkah, ada tangan yang sudah bertengger manis di telinganya.
"Sakit…,!" teriak Kanaya sambil pegang telinganya sendiri.
"Sakit!" Soleha menekan jewerannya lagi.
"Bapak…!"
Seperti biasa, gadis itu minta tameng alias bantuan.
"Sudah, Buk. Lepasin aya."
Memang bapaknya sangat sabar, makanya Kanaya lebih respek sama Taufik.
"Sini ikut ibu!" bentak Soleha sambil menyeret telinga Kanya. Taufik menghela nafas kasar, lekas pindah tempat menuju ke luar rumah cari udara segar.
"Ibuk…, dilepas dulu ngapa…!"
Kanaya ganti pegang tangan Soleha. Dia jelas memohon. Sampai di kamar gadis itu, wanita tersebut melepas tangannya.
"Nanti kamu sampai sekolah, buat Baskara menderita sampai dihukum"
Sumpah, ibunya kaya nenek lampir. Ekspresinya bak penjahat. Kanaya sampai melongo. Selama ini dia bertengkar dengan Baskara hanya dalam hal kepintaran. Meskipun berselisih paham, tak pernah sedikit terbesit rencana buruk.
Paling kejam itu ya saat Kanaya robek buku catatan berharga milik Baskara.
"Ngapain sih… enggak bener ibuk mah?" Kanaya tidak habis pikir. Kenapa ibunya selalu saja mikir buruk. Memangnya dia dijadikan tombak buat ajang balas dendam.
"Pokoknya kamu harus buat dia menderita. Minimal dia dihukum."
Mana ada orang tua kaya Soleha, tidak patut dicontoh.
Kasih wejangan kok buruk. Harus gue tolak, nih...
"Buk, Aya enggak mau ya….terlibat urusan jaman purba."
Soleha membuang muka ke arah lain, "Kamu mau ibukmu ini menderita? Sampai kapanpun, Riris akan selalu seperti itu. Ibuk gak rela."
Drama dimulai. Untuk memikat hati putri semata wayangnya, Soleha akan menangis. Dia beneran menangis.
Gue nggak percaya sama wajah melankolis itu, batin Aya curiga.
Namun lama-lama dia tak tega juga.
Melihat sang ibu menangis, hati Kanaya tersentuh. Akhirnya, dia mengiyakan permintaan itu. Entah nanti terpaksa atau tidak, gadis tersebut belum memikirkannya.
"Nah…, gitu dong…Ibu seneng dengernya." Soleha pun menyentuh telinga Kanaya. "Maafin ibuk, ya…. Pasti sakit."
Penyakit lebai Soleha keluar. Kanaya tau kalau ibunya akan berbuat manis sebab ada maunya.
"Aya mau mandi dulu, Buk."
Soleha mengangguk, bergegas pergi ke luar. Sampai di depan pintu kamar, dia bersorak senang.
"Yes…!" pekik nya tertahan. "Pasti Aya mau melakukannya." Soleha mengusap air mata dengan cepat sebelum diketahui oleh Taufik.
Tidak tahu apa yang ada di pikiran Soleha. Dia menanamkan pikiran buruk kepada anaknya.
Untung saja Kanaya pintar, dan tahu mana yang baik. Itu semua karena didikan dari Taufik.