Tawaran Lagi.

1029 Kata
Mami Lira yang menaungi beberapa kupu-kupu malam itu kembali menghubungi Via. "Cantiknya mami, apa kabar, Sayang?" sapa sang mami dengan suaranya yang ceria. "Baik, mami apa kabarnya?" Via bertanya balik. "Mami selalu baik, Sayang. Selalu baik, terlebih lagi kalau ada pelanggan yang mau booking kamu dengan harga fantastis seperti kemarin," jawabnya. Deg! Perasaan Via mulai tidak enak. Pasti mami Lira menawarinya lagi, pikir Via. "Tuan Ryan menghubungi mami lagi barusan, dia minta kamu menemaninya malam ini." Mata Via mendelik, pria itu lagi? "Sepertinya dia kecanduan sama tubuh kamu, Sayang," goda Lira seraya menghisap rokok elektriknya. Via menghela napas kasar. "Maaf, Mi. Aku tidak bisa karena bunda sedang drop pasca cuci darah kemarin," tolak Via. "Ck! Nanti mami cari orang untuk menjaga bunda kamu, Sayang. Kamu gak perlu khawatir. Okay?" Lira memaksa kehendaknya. Bagaimanapun juga dia tidak mau kehilangan pelanggannya yang royal seperti Ryan. "Mi, aku —" "Pikirkan dulu sekali lagi ya, Cantik, Sayangku," sela Lira kembali membujuk anak asuhnya. "Bunda kamu masih butuh biaya untuk pengobatan, aku tahu yang tuan Ryan kasih kemarin itu cukup untuk kamu saat ini, tapi besok-besoknya kalian bagaimana?" sambungnya. "Beri aku waktu untuk berpikir boleh?" "Okay, besok kabari aku, ya." "Yes, Mami." "Bye, Sayang." Tutup Lira. Panggilan pun berakhir. *** Selesai mengajar di salah satu universitas swasta, Ryan kembali ke kantornya. Statusnya menjadi CEO tapi hobinya mengajar jadilah Ryan memiliki dua profesi sekaligus. Tidak konsentrasi dalam mengajar begitu juga dalam bekerja karena Lira baru saja memberinya kabar kalau nona V yang dia dambakan dapat menemaninya malam ini, menolaknya. Ralat, tidak menolak tapi minta waktu. Besok kupu-kupu malam dambaan Ryan itu akan memberi jawaban. Ryan terobsesi dengan wanita yang dia kenal sebagai nona V. Dia si kupu-kupu malam yang begitu indah di mata duda keren satu itu. Sekali bermain dengan Via malam itu, Ryan kecanduan. Rasanya dia ingin kembali memasuki Via. Mengusap kasar wajahnya, Ryan mengerang kesal karena hasratnya harus tertunda dan kepalanya sakit. Dia tidak ingin bermain dengan sembarang wanita. Kesal dengan mantan istrinya dia lampiaskan pada wanita panggilan. Awalnya untuk pelampiasan sesekali tapi kenapa baru saja sekali tapi dia butuh pelampiasan berikutnya. Candu. Sungguh-sungguh candu. Hanya dengan membayangkan lekuk tubuh dan mengingat desahan nona V saja, adik kecil Ryan bereaksi dengan cepat, sesak. "Apa yang kamu pikirkan, Nona V? Apa kamu memilih melayani pria lain dulu baru menjawab tawaran saya?" monolog Ryan. Status Ryan sebagai duda tanpa anak kini bebas, dia mau pulang atau tidak terserah pada dirinya sendiri. Seperti malam ini, dia pergi ke sebuah klub malam bersama teman-teman sosialitanya. "Akhirnya ya, sekarang lo bisa sebebas merpati," ledek salah satu temannya. Ryan mencebik, "Dulu juga bisa!" Tangan Tama mengibas, "Omong kosong! Mana ada waktu lo buat ikut kita kumpul seperti?! Ada aja alasannya!" "Nyatanya dia takut sama Flora," sindir seorang lagi. "Stop bahas wanita jalang satu itu, bisa?" tekan Ryan. Wajahnya menatap dingin kedua orang yang mencibir. Keduanya langsung bungkam, terdiam karena sorot mata Ryan berbeda ketika membahas soal mantan istrinya. Lima orang pria kumpul dan ngobrol membahas topik pembicaraan acak. Tapi lebih banyak membahas soal wanita dan s*x. Tidak jauh-jauh dari s**********n dan buah d**a wanita. Karena tidak membawa supir, Ryan menahan diri untuk tidak mabuk. *** Esok paginya, "Bunda, Via berangkat kuliah dulu ya," pamit Via pada sang bunda yang masih berbaring lemah di ranjang rumah sakit. "Hati-hati di jalan ya, Sayang," pesan Kiki pada putri sematawayangnya. "Iya, gak apa kan aku tinggal?" "Gak apa, Sayang. Di sini banyak dokter dan suster kok." Via mengangguk meski hatinya khawatir. Berat meninggalkan Kiki seorang diri tapi dua sudah beberapa hari tidak masuk kuliah. Absennya pasti jelek dan nanti berpengaruh pada nilainya. Sebelum benar-benar pergi, Via mengulas senyum. Dengan motor maticnya, dan penampilan layaknya anak kuliahan Via berangkat. Beruntung jalanan tidak terlalu macet hingga dirinya bisa tepat waktu sampai di kampus. Via berlari kecil mengejar lift yang hampir tertutup rapat. "Hei, tunggu! Tahan, tahan!" teriak Via dari pintu lobby kampusnya. Via menahan napasnya di depan pintu lift yang dia kira sudah tertutup tapi ternyata sebuah tas ransel menahan pintu tersebut hingga kembali terbuka. Akhirnya, Via bernapas lega. "Terima kasih," ucapnya pada siapapun itu orang yang telah menahan pintu lift untuknya. Repot urusannya kalau harus menunggu lift berikutnya. Sedangkan sekarang jam pertamanya kelas dosen yang terkenal galak itu. Bisa-bisa Via tidak diperbolehkan masuk kelasnya jika terlambat semenitpun. "Sama-sama." Suara bariton itu menjawab. Membuat Via mau tidak mau menoleh. "Tora," cicit Via. Ketua BEM itu mengulas senyum tipisnya saat Via menatapnya. Seketika lift itu terasa pengap, Via kekurangan oksigen, jantungnya berdegum kencang karena berada di dekat pria tampan, pintar, ketua BEM, idola semua mahasiswi, gantengnya kelewatan itu. Lift tersebut berhenti di lantai berikutnya. Karena penuh dan berdesakan, beberapa mahasiswa memaksa keluar dari lift dengan mendorong tubuh Via. Padahal, dia sudah berusaha memiringkan badannya memberi jalan. Tapi karena tubuh montok mahasiswa tersebut, tubuh mungil Via sedikit terpental dan dia menabrak tubuh Tora. Tepatnya dadanya. Via tersenyum kecut ketika tubuh keduanya tidak berjarak, Tora bahkan memeluk tubuh Via agar tidak tersenggol dengan mahasiwa lainnya. Posisi keduanya yang terlihat mesra membuat beberapa pasang mata melirik tajam, terutama para mahasiswi yang mengidolakan Tora. Auto Via berusaha melepas diri dari rangkulan Tora. "Kalian sudah mahasiswa tapi masuk lift aja gak teratur!" sindir Tora pada semua yang ada di dalam lift. Mereka kenal siapa Tora, seketika semuanya terdiam bahkan ada yang menunduk karena segan. Lift kembali terbuka di lantai 5. Dimana kelas yang harus Via ikuti berada. "Terima kasih," ucap Via sekali lagi. Tora mengangguk. Hanya itu responnya. Pria itu memang terkenal pelit senyum tapi kinerjanya tidak di ragukan lagi. Kreatifitasnya hingga dia terpilih menjadi ketua BEM di fakultas itu. Bersamaan dengan keluarnya sang dosen galak dari lift khusus dosen. Via langsung berlari masuk ke dalam ke kelas. "Via," panggil Betty dengan tangan melambai. Via langsung mendekati bestienya itu dan duduk di kursi sebelahnya yang kosong, memang sengaja sudah Betty siapkan untuk Via. "Kemana aja, Lo?" bisik Betty bertanya. "Bunda gue drop, gue jaga dia di rumah sakit." "Gimana sama kerjaan baru? Enak gak?" goda Betty. "Apaan sih, Loe!" Betty tertawa kecil. "EHEM!" sang dosen galak berdehem menyinggung suara bising dari dua mahasiswinya. Sontak Via dan Betty terdiam dan kembali fokus pada sang dosen yang baru saja mengabsen nama mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN