Aku
Zhezsha POV
Aku Zhezsha Arnasatya Auristela Tamara. keluarga memanggilku Sasa. Papa seorang Nahkoda Kapal. Mama Menjabat sebagai Kepala Sekolah di Sekolah Dasar. Tahun ini usiaku 25 Tahun. Aku memiliki satu Kakak Laki-laki berbeda dua tahun denganku. dia Fero Arnasatya Bryson Perwira, aku memanggilnya Abang. Abang mengikuti jejak Papa menjadi Nahkoda. selain Abang, Papa dan Mama, di rumah ada Bik Nana Asisten Rumah Tangga. Aku jarang berada di Rumah karena pekerjaan yang menyita waktu. Aku Bekerja di salah satu Rumah Sakit Swasta di Ibu kota, sebagai dokter Ahli Bedah. kesibukan itu yang membuatku tidak memiliki kekasih.
Kini aku tengah berada di ruanganku membolak balikan beberapa lembaran kertas yang isinya harus aku fahami.
Tok!! Tok!!
"Ya, masuk"
"Pagi dokter Sasa" sapa Nia, seorang Koas di Rumah Sakit ini.
"Ya pagi, ada berapa jadwal operasi hari ini?" aku bertanya tanpa menatap ke arahnya, karena mataku sibuk menjelajah catatan medis pasien.
"Tiga dokter, ketiga tiganya pengangkatan tumor" jawab Nia, aku melirik ke arahnya sekilas, ia tersenyum simpul.
"Oke. siapkan semuanya dengan baik ya, saya ganti baju dulu" perintahku.
"Siap dokter" jawabnya sambil memberikan hormat bak upacara bendera, lah kenapa pula Koas satu ini.
"Kamu kenapa?" tanyaku keheranan.
"sekalian ngasih undangan dok. saya mau nikah minggu ini, datang ya dok. tinggal Resepsinya aja, akadnya sudah" jelasnya menampilkan raut wajah bahagia tak terhingga. aku terima lembaran kertas undangan bewarna merah muda itu dari Nia.
"Ya Insyaallah ya" jawabku sekenanya, tidak yakin bisa datang, jadwal lagi padat sekali walaupun hari minggu.
pandanganku menyoroti Nia yang masih setia berdiri di tempatnya. apalagi yang ingin dia sampaikan?. kenapa Nia bukannya balik kanan menuju pintu tetapi malah memperhatikanku sembari tersenyum menautkan jemari.
"Kenapa masih berdiri di situ? Segera siapkan!..Operasi akan saya pimpin Lima belas menit lagi dari sekarang" tegasku, aku tidak bermaksud membentaknya namun ia sampai kaget mendengar ucapanku. tak berapa lama Nia terkekeh dan segera ia menormalkan ekspresinya karena tahu aku tengah menatapnya datar.
"maaf dok. habisnya dokter tambah cantik saja, kalau begitu saya permisi dok" pungkasnya, kemudian berlalu dari hadapan ku.
apa katanya?. Tambah cantik?. apa dia dengan tulus memujiku? atau hanya ingin mengharapkan sesuatu dariku?. aku buka lembaran undangan milik Nia. terdapat foto Nia dan pasangannya yang berprofesi sebagai Tentara, identik dari seragamnya. Nama yang tertera di lembar undangannya, Lettu Aldo Revandya Reigan prasetya dan Ravenia Maharani. foto mereka disini tampak unik sama-sama memakai seragam sesuai profesi masing-masing tapi tidak saling bersentuhan.
"Pagi dok" sapa salah seorang koas, saat aku baru saja menutup pintu ruangan dan akan melangkah menuju ruang operasi.
"Ya pagi" jawabku cepat karena aku tidak memiliki banyak waktu untuk beramah tamah dengan mereka.
"Sasa" tegur temanku, dia Jessika Annastasya dokter penanggung jawab Laboratorium.
"udah disiapin kantong darahnya?" tanyaku tanpa basa basi. dia menatap wajahku seolah sedang menilai.
"Udah dong Sa, Kok wajahmu pucet gitu?" tanyanya. aku lantas bercermin dibalik lensa kamera. memang benar pucat, mungkin faktor kurang tidur.
"aku pergi dulu, ada operasi Cito" jawabku cepat, kemudian berlari meninggalkannya. mendengar kata Cito seharusnya dia mengerti, Operasi seperti ini harus segera dilakukan tanpa menunda waktu.
••••••
"Semua siap?" tanyaku menatap mata mereka satu persatu di ruang operasi.
"Siap dok" balas mereka serentak tanpa ragu.
"Ayo kita mulai" sebelum memulai, aku memimpin doa untuk keberhasilan operasi ini.
"Scalpel (pisau bedah)" ucapku menginstruksi Nia yang berada disebelahku.
Dengan tanggap Nia memberikan scalpel. aku pun membuka lapisan demi lapisan perut menggunakan scalpel yang tentu saja sudah steril. dengan hati-hati aku membuka lapisan terluar hingga lapisan terakhir. sebelum aku bertindak, tentunya pasien sudah diberikan anastesi terlebih dahulu.
"Berapa tanda vitalnya?" disela-sela pengangkatan tumor, aku bertanya kondisi Vital pasien.
"Tekanan darah 120/80mmHg, nadi 88x/menit, respirasi 24x/menit, suhu 36°C, Spo2 98%. Semua dalam batas normal dok" jawab dokter Ana yang merupakan rekan tim Bedah.
"pantau terus vitalnya" ucapku memerintah Ana.
"Gunting" aku kembali menginstruksi Nia.
perlahan aku mengangkat tumor yang berada dekat dengan Hepar. setelah tumor terangkat, aku mendapati perdarahan di dalam.
"dok, tekanan darah pasien menurun drastis, suhu tubuhnya juga" Ucap Rangga panik memberi informasi. tanpa bisa di cegah, darah menyembur ke luar mengenai wajahku.
"Lakukan tranfusi dua kolf." perintahku langsung ditanggapi mereka.
sembari tanganku bekerja mengatasi Perdarahan, rekan tim ku melakukan Tranfusi darah guna mengantisipasi keadaan pasien yang menurun. perdarahan teratasi dan hanya berlangsung selama dua menit. namun jika tidak segera ditangani, pasien ini jelas akan kehilangan nyawanya.
"Bagaimana tanda vitalnya?" tanyaku memastikan apakah keadaan sudah kembali normal.
"Sudah kembali normal dok " jawab dokter Ana mantap. aku menarik nafas lega, perdarahan dapat teratasi dengan cepat.
"Berikan pinset dan mulai menjahit" Nia pun memberikan apa yang aku perlukan untuk melakukan penjahitan dan operasi kali ini pun berjalan lancar.
"sekarang kalian bisa melanjutkan tanpa saya" ucapku sambil melepas satu persatu atribut yang sudah terkontaminasi dengan darah. selanjutnya pemantauan akan dilanjutkan oleh koas yang bertugas.
"Ya dok" Nia mengangguk semangat, membuka maskernya sambil tersenyum merekah. calon pengantin satu ini tidak pernah melupakan senyumannya. sayang sekali aku tidak begitu menyukainya, Koas yang selalu menebar pesona.
•••••
Lama Berkutat di ruang Operasi, seratus persen power yang keluar jelas saja membuat perutku keroncongan. aku bergegas menuju kantin, waktuku tidak banyak. setidaknya lima belas menit cukup untuk mengisi perut lalu aku harus kembali memimpin Operasi selanjutnya.
sembari menunggu Bibi kantin menyiapkan hidangan untukku, aku membuka ponsel. mataku membulat seketika mendapati pesan w******p dokter Ana yang memberitahu Operasi akan dilakukan sekarang juga.
aku bangkit dari tempat duduk, menyeka peluh yang mengucur dari jidatku.
"bibi, aku tidak jadi makan, berikan pesananku pada orang lain saja" teriakku setelah mengeluarkan uang selembaran warna biru dan menyerahkannya pada bibi. bibi kantin hanya mengangguk mengerti. ia sudah terbiasa melihatku terburu-buru.
aku berjalan cepat bahkan setengah berlari. suara dering ponsel membuatku segera merogoh saku jas Snelli. Aku mengangkat Telepon dari Ana, dia berteriak panik "dokter cepatlah ke sini, pasien-"
"bisakah kau bantu aku mengatasinya dulu, aku sedang menuju kesana" Sergahku kesal. bukankah dia juga dokter bedah kenapa hanya mengandalkan kemampuanku.
"Hallo" tak ada jawaban. Ana menutup telepon secara sepihak. jarak antara kantin dan Ruang Operasi begitu jauh, aku benar-benar frustasi untuk ini.
aku harap tubuhku baik-baik saja meskipun perutku terus mendesakku untuk memakan sesuatu terlebih dahulu seolah memberiku sinyal jika aku tidak makan, maka tubuh ini tidak akan kuat. oh ayolah ini benar-benar situasi-
Braakkk...
"Aduh, apa yang ku tabrak ini. mengapa begitu keras sekali" keluhku sambil mengelus bahu yang lumayan terasa nyeri.
Pyarr...
mataku melebar menatap nanar ponsel berlogo Apel tergigit itu dengan layar yang pecah. sial!, ponselku terjatuh dari saku karena kecerobohanku, tapi tidak sepenuhnya begitu, orang di hadapanku ini baru saja menabrakku. harusnya dia bisa menghindar karena aku sedang terburu-buru.
"Hei" Teriaknya.
aku berhenti dan menoleh, "Ya Ampun, aku sedang terburu-buru. perhatikan langkahmu. jangan sampai menabrak orang lagi" balasku setengah berteriak.
masuk ke dalam Lift, menekan tombol angka lima, aku masih bisa melihatnya tengah menatap datar ke arahku sebelum akhirnya pintu Lift tertutup rapat.
menggigit bibir, aku mengabaikan ponselku bersama Pria itu. begitu pintu Lift terbuka, Aku berlari mengandalkan kekuatan otot kaki menuju Ruang Operasi. Hari ini benar-benar buruk, bagaimana kalau aku tidak bisa menemukan orang itu untuk menagih ponselku, mirisnya semua data yang aku perlukan ada di dalam ponsel itu.
••••••
Aku melepas sarung tangan dan mencuci tangan di wastafel. menghembuskan nafas lega, Operasinya berhasil. aku tidak menyangka kondisi pasien itu sempat memburuk karena mendengar kabar anaknya kecelakaan dan meninggal di tempat.
memandangi wajahku dari pantulan cermin, aku mendapati satu jerawat di dekat pelipis kiri, jemariku menyentuh benjolan kecil yang memerah itu. begitu sibuk, sampai merawat diri pun aku tidak mampu?. Lupakan jerawat dan pikirkan perut ini, sekarang aku harus bisa makan dengan tenang tanpa ada yang menghalangi.
Baru saja hendak melangkahkan kaki menuju kantin, seorang pria berseragam Tentara menghalangi jalanku.
"ponsel ini milikmu?" aku memandangi ponsel itu, memang benar milikku. aku mengangguk cepat lalu mengambil ponselku dari genggaman tangannya.
"kamu yang menabrakku tadi?"
"Saya selalu fokus ketika berjalan. sebaliknya, kamu yang menabrak saya dan menjatuhkan ponsel saya" Tuduhnya, menunjukkan layar ponselnya yang retak, kondisinya tidak berbeda jauh dengan ponselku.
pria ini benar-benar membuatku kesal, dia yang salah tapi dia menuduhku.
"bisakah kamu lebih logis?. melihat pakaianku, kamu jelas tahu siapa aku. Tadi aku terburu-buru hendak menangani operasi. jadi aku tidak sengaja."
"jadi kamu mengakui kalau itu salahmu." balasnya tersenyum remeh.
"saya bisa mengerti kamu terlalu terburu-buru namun tidak perlu sampai menabrak orang lain." imbuhnya menasehatiku.
"itu karena aku di desak lewat telepon. tidak ada ada dokter lain selain diriku yang mampu mengatasi pas-,"
"saya tidak ingin tahu alasanmu, karena sebagian orang di sini juga terburu-buru" Tandasnya.
"berjalan cepat sambil memperhatikan ponsel bukankah itu dapat membahayakan orang lain. bagaimana kalau anak kecil yang Anda tabrak, atau lebih parahnya orang sakit yang sedang berjalan disekitar" lanjutnya berusaha menyudutkanku.
"baiklah aku minta maaf. aku tidak punya waktu untuk meladeni celotehanmu."
"kamu tidak perlu meminta maaf jika kamu merasa tidak bersalah"
apa maunya pria ini sih?
aku membuang nafas pelan sekaligus mengontrol emosiku, "kamu sama sekali tidak faham maksudku"
"saya rasa kamulah yang tidak faham dengan ucapan orang" sungutnya.
Ya Tuhan bantu aku menghadapinya. berikan aku stok sabar yang banyak.
"saya memberimu waktu satu minggu, kembalikan ponsel saya seperti semula di tempat dan waktu yang sama saat kamu menabrak saya" sambungnya seraya menyerahkan ponsel rusak itu padaku.
"apa?" decitku tak terima.
"Selamat berpikir nona, berpikir tentang cara mengembalikan ponsel itu seperti semula" pungkasnya dan dia pergi meninggalkan aku yang masih tercengang.
^^^^^^
TBC