Wanita yang Diarak Keliling Kampung itu, Istriku
Part 2 : Melihat dari Kejauhan
Cukup lama aku berdiri memperhatikan Wenny dari kejauhan, hingga akhirnya ia diajak masuk ke dalam rumah oleh mantan mertua perempuanku--Bu Wati.
Ada rasa sesak di d**a juga penyesalan, kenapa malam itu aku langsung menjatuhkan talak padanya dan ia pun tak pernah lagi muncul di hadapanku. Benarkah Wenny berzinah malam itu? Pertanyaan ini masih berputar-putar di kepalaku, antara percaya dan tidak. Akan tetapi, jelas-jelas ia dan selingkuhannya itu diarak dengan tanpa busana, rasanya tak mungkin kalau warga desa yang menelanjangi mereka.
Tiba-tiba, terlihat mantan mertua laki-lakiku yang terlihat melangkah ke arahku dari depan sana. Sepertinya baru pulang dari sholat ashar di masjid kalau dilihat dari pakaiannya yang mengenakan sarung, baju koko dan peci.
Dia terlihat menatap ke arahku sebab jarak kami sangat dekat sekarang. Akan tetapi, belum sempat aku menyapanya, ia sudah menyeberangi jalanan dan menuju rumahnya. Raut wajahnya terlihat muram, padahal dulu ayah mertuaku ini akan selalu tersenyum senang jika bertemu denganku.
Dadaku semakin terasa sesak saja. Aku kembali naik ke atas motorku dan memutuskan untuk pulang, walau ada keinginan mampir ke rumah Wenny sebenarnya tapi sepertinya akan kutunda dulu hingga aku siap.
***
"Sat, tadi aku ketemu Wenny," ujarku saat duduk di teras rumah.
Satrio--temanku yang memang masih jomlo alias bujang tua itu terlihat mengerutkan dahinya. Dia datang ke rumahku malam ini dan mengajak bersantai walau hanya duduk di depan teras. Dia semakin sering menemuiku, katanya biar aku tak sedih terus sebab sudah menduda pasca diselingkuhi istri. Tak hanya Satrio yang mengasiani aku, tapi semua warga. Semua terlihat prihatin dengan nasibku, walau sebenarnya aku tak suka akan bisik-bisik mereka yang terus menggunjingkan Wenny.
"Oh, ya? Di mana?" Satrio meletakkan bungkus rokoknya di meja setelah mengambilnya sebatang.
"Nggak bertemu sih sebenarnya, tapi aku yang sengaja lewat di depan rumah orangtuanya tadi sore. Aku kangen dia, Sat, terlepas dari semua perbuatannya malam itu." Dadaku kembali terasa sesak, hidupku benar-benar berantakan pasca perceraian kami. Aku sangat mencintai Wenny dan tak pernah menyangka kalau rumah kami akan berakhir secepat ini dan semua karena ulahnya.
Aku juga tak pernah ke mushola lagi dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah jika sepulang dari bekerja. Sholat juga kalau ingat saja, aku merasa hidup ini tak adil dan mempermainkanku.
"Gimana kabarnya dia?" tanya Satrio sambil menghembuskan asap rokoknya ke atas.
"Wenny hamil, Sat, entah hamil akibat perbuatannya malam itu ataukah hamil anakku," jawabku lirih.
Satrio langsung mematikan api rokoknya dan menatap serius ke arahku.
"Ayo, kita ke rumah Wenny dan menanyakan semuanya!" ujar Satrio.
"Ah, jangan sekarang deh, aku masih belum berani ke sana. Aku masih bingung akan semua yang telah terjadi. Waktu malam itu ... kamu ada di mana saat penggerebekan terjadi?" tanyaku.
"Aku tak ada di sana, Sat. Pas aku lewat depan rumahmu ... aku sudah melihat warga menarik Wenny keluar dari rumah bersama pria itu. Dan mereka ... sudah tanpa busana." Satrio mengusap wajahnya.
"Jadi ... pastinya ... semua kejadian ini benar adanya 'kan, Sat? Wenny memang berzinah 'kan malam itu?" Aku masih berusaha memastikan kalau tindakanku benar malam itu.
Satrio terlihat berpikir keras, dahinya terlihat berkerut. Aku hanya butuh pembenaran, kalau kejadian yang menimpa Wenny bukanlah fitnah, melainkan azab istri tukang selingkuh walau jauh di dalam lubuk hati, aku ingin semuanya hanya mimpi buruk semata.
"Tindakanku langsung menjatuhkan talak pada Wenny malam itu benar 'kan, Sat? Aku tak gegabah, bukan?" Aku kembali bertanya pada teman sejak dari bangku SD Itu, kami sudah berteman puluhan tahun.
"Sudahlah, Man, semuanya sudah kamu lakukan. Andai dirimu masih menginginkan rujuk dengan Wenny dan memaafkannya, kamu bisa mencoba datang ke rumahnya. Aku tahu, dia itu cinta pertamamu, walau dia sudah menyakiti, tentunya cinta itu takkan luntur dengan mudah. Manusia tempatnya khilaf dan salah, aku dukung jika kamu mau rujuk sama Wenny." Satrio menepuk pundakku.
Aku terdiam, keinginan itu jelas ada tapi saat mengingat perbuatan hinanya bersama pria itu, aku mendadak jijik. Rasanya tak sudi menerima kembali istri tukang selingkuh seperti Wenny, walau hingga detik ini aku masih belum bisa mempercayai tragedi perzinahan itu.
Melihatku yang semakin kacau, Satrio mengalihkan topik obrolan menjadi curhatannya yang mengatakan sedang PDKT dengan seorang wanita di sosmed. Aku sedikit terhibur dan melupakan sejenak permasalahanku.
***
Seminggu pasca pertemuanku dengan Wenny, eh bukan pertemuan sebab di tak melihatku. Hanya aku saja yang melihatnya. Hari ini kuputuskan untuk datang bersilahturahmi ke rumahnya. Aku tak dapat menahan diri untuk menanyakan usia kandungannya.
"Assalammualaikum." Aku mengetuk pintu rumah orangtua Wenny.
Rumahku dan rumah orangtua Wenny beda kampung, perlu waktu 20 menit untuk menempuh ke sini.
"Kok sepi, ya, Man, kira-kira ada orangnya tidak, ya?" Satrio yang sengaja kupinta untuk menemaniku ke sini bertanya pelan.
"Entahlah, Sat, tapi pintu rumahnya terbuka. Sepertinya orang rumah pada lagi di dapur." Aku kembali mengetuk pintu.
Hari ini minggu, aku sengaja memilih hari libur untuk ke sini, setelah berpikir keras juga tentunya.
"Waalaikumsalam." Mantan Ibu mertuaku terlihat keluar dan menuju ke arah pintu--di mana aku dan Satrio berdiri sekarang.
"Bu!" Aku hendak meraih tangan mantan ibu mertuaku itu, ingin bersalaman.
"Mau apa kamu ke sini?!" katanya ketus sambil menepis tanganku, tatapannya terlihat nyalang.
"Saya ... hanya ingin bersilahturahmi saja, Bu," jawabku dengan berusaha tersenyum.
"Kita sudah tak mempunyai hubungan lagi, jadi tak perlu bersilahturahmi lagi," ujarnya lagi, ia terlihat emosi menatapku.
Agghh ... kenapa malah seperti aku yang bersalah di sini? Jelas-jelas putrinya yang bersalah, sedangkan aku sudah berbesar hati, walau sudah diselingkuhi dan dipermalukan tapi tetap ingin bersilahturahmi.
"Maaf, Bu, saya ... mau bertemu dengan Wenny," ujarku lirih, memberanikan diri menyampaikan hajatku datang ke sini.
"Untuk apalagi kamu mau bertemu, Wenny, Arman? Bukankah kamu sudah menceraikannya secara sepihak? Lalu apa lagi maumu sekarang? Saya mohon ... pergilah dari sini!" Bu Wati--mantan mertuaku itu terlihat sedang menahan tangis.
"Izinkan saya bertemu, Wenny, Bu? Saya lihat kemarin, dia sedang hamil besar. Apa Fatur--selingkuhannya itu tak mau menikahi dan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka malam itu?" tanyaku lagi.
"Semua bukan urusanmu lagi, Man, mau seperti apa juga keadaan Wenny, kamu tak perlu peduli. Dia bukan istrimu lagi!" ujar Bu Wati.
"Saya ... ingin Wenny bisa hidup bahagia, Bu, walau kami sudah berpisah. Saya ... akan memaksa Fatur menikahinya kalau pria tak tahu diri masih tak mau bertanggung jawab. Saya sudah melepaskan Wenny, dan semua itu juga ... karena kelakuan Wenny, Bu. Seharusnya dia menikahi Wenny, sebab sudah lewat juga masa iddahnya." Aku berusaha menjelaskan, karena mungkin Bu Wati mendengar versi yang berbeda dari putrinya.
Bersambung ....