Perasaan Yang Rumit

1103 Kata
Rumah Satya dan Jane kini sepi setelah sarapan yang ramai tadi karena satu persatu anggota keluarga pergi keluar rumah untuk melakukan aktifitas sehari-hari mereka. Aska dengan kesibukannya sebagai bagian dari organisasi kampus. Satya dengan urusan kantornya. Dan Jane yang berangkat bersama suaminya untuk di antar menuju toko roti yang tadinya menjadi milik ibu mertuanya tapi kini sudah diatasnamakan sebagai milik Jane. Ibu Satya sudah pergi berpulang 10 tahun lalu karena beberapa komplikasi penyakit. Di tahun itu menjadi sangat berat karena kehilangan memang tidak akan pernah mudah. Kini ibu Satya tinggal di Bali bersama kedua orang tua Jane karena kemauan ibu Satya sendiri. Katanya ingin tinggal di tempat yang lebih tenang, mesksi Bali sebenarnya ramai tapi tidak seperti Jakarta yang sudah penuh sesak sehingga ada wacana perpindahan Ibu Kota negara Indonesia. Jasmine si sulung sendiri meski berada di rumah tapi sedang asyik dengan ponselnya. Melihat apa saja yang ada di dalam media sosial i********:. Dia berbaring di sofa ruang tengah. Ruangan favorit selain kamarnya sendiri karena nyaman sekali di sini. “Gue keluar, kak.” Jasmine bangkit dari posisi berbaringnya dan melihat adiknya, Panji yang menggunakan setelan rapi sudah menenteng tas juga berikut kunci motor. “Eh bentar... gue mau ngomong sama elo.” Panji pun menghentikan langkahnya dan berdiri menghadap kakaknya. “Ada apa, kak?” “Ini soal elo yang tadi bilang pas sarapan.” Jasmine masih saja resah dengan Panji yang tiba-tiba mengatakan perasaannya di depan kedua orang tua mereka. Meski Satya dan Jane memang belum tahu, tapi seiring waktu kalau kode-kode terus diberikan, siapa yang bisa menjamin tidak akan terbongkar, kan? “Apa sih?” Jasmine mendengus. Sifat dingin adiknya yang selalu hemat kata ini membuatnya sangat kesal. “Ini soal elo yang dengan santainya bilang masih suka cewek yang sama.” “Terus?” “Terus kenapa elo bilang begitu, Panjiii...,” Jasmine mengeram kesal. “Harusnya elo nggak bilang gitu! Gimana kalu mama sama papa tahu?! Mereka pasti bakal kecewa banget!” Setelah mengatakan unek-uneknya pada Panji, Jasmine malah cuma mendapat tatapan datar dari adiknya itu. “Jawan, Nji! Apa maksud elo bilang begitu? Gue sama Aska udah mati-matian rahasiain ini, tapi elo dengan gampangnya lempar umpan, kasih kode...,” saking kesalnya, Jasmine sampai terengah-engah sekarang. “Nggak ada maksud apa pun.” “Yang bener deh... oke, gue bersyukur kalo elo udah nggak nyimpen perasaan ke gue lagi karena kita memang kakak beradik satu ayah dan mama Jane sayang gue kayak anak kandungnya sendiri. Gue nggak mau mereka kecewa cuma karena hal kaya gini. Elo ngerti maksud gue kan, Bang?” Mata Panji menatap pada kakaknya yang selalu cantik dengan perawakan tubuh yang sama seperti semua mantan pacar Panji. “Biar ini jadi urusan gue, Kak.” Jasmine terperangah. “Gue kesel deh lama-lama. Kenapa elo sekeras kepala ini? Apa sih yang bikin elo suka gue?” namun Panji tetap diam, tidak menjawab satu pun pertanyaan Jasmine.  “Mulai sekarang gue minta elo hapus perasaan itu. Terserah dengan cara apa, gue nggak mau tahu. Gue juga udah punya cowok yang gue suka, dan perasaan elo itu bukan cuma jadi urusan elo kalau sampe ngeganggu hubungan gue sama Nolan. Ini udah nggak lucu lagi, Nji...,” Jasmine masih terus memberi pengertian pada adiknya. Panji tersenyum miring ketika mendengar nama Nolan, pacar kakaknya dari jaman kuliah dan sampai sekarang masih bersama. Nolan bahkan sudah seperti salah satu anggota keluarga ini saking lamanya hubungan antara kakaknya dan pria yang berprofesi sebagai dokter bedah umum itu. “Kita liat aja nanti, kak.” “Panji!” Jasmine menghentakan kakinya dengan perasaan kesal yang membuncah karena adiknya itu malah pergi ketika di ajak bicara. Dia tidak habis pikir dengan Panji yang masih saja menyimpan perasaan bahkan ketika waktu berlalu bertahun-tahun. Juga sampai Panji memiliki bacak pacar tapi tidak juga memupuskan perasaan itu untuk kakaknya sendiri. Jasmine tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak mau hubungannya dengan Nolan tergangu, mereka sudah sampai ke tahap serius dalam behubungan saat ini dan jelas muaranya adalah pernikahan. Dan yang terpenting tentang orang tuanya, dia tidak mau sampai membuat keluarga mereka kecewa oleh perasaan Panji yang sebenarnya pasti bisa dirubah. Hasnya Aska tempat dia bisa mencurahkan perasaan resah ini.   ///   “Bisa nggak si lebih cepet?” Fania protes pada Aska yang melajukan motornya dengan kecepatan yang menurutnya pelan sekali. Apdahal dia diburu waktu karena harus menyiapkan materi rapat untuk OSPEK fakultas. Tahu begitu dia naik ojek online saja dari pada begini, mamanya memang aneh sekali sampai harus menghubungi Aska. “Nggak bisa, Fan.. kan bahaya nanti.” Kata Aska, dia masih mengemudi dengan kecepatan 50 km per jam. Fania mendengus kesal. “Nggak usah sok, cepet gue bakal telat rapat kalo motor ini lajunya kek siput!” Aska tertawa mendengar motor vespa putihnya dikira siput. “Oke, gue bakal ngebut. Pegangan, ya!” Mulanya Fania tidak percaya kalau Aska akan mempercepat laju motor yang sedang dikendarainya itu. Tapi ternyata Aska sungguhan, karena kaget Fania pun spontan berpegangan apda pinggang Aska. “Jangan tiba-tiba juga dong!” “Kan gue udah bilang sebelumnya.” “Enggak gitu cara ngomongnya, b**o!” Aska mendapatkan toyoran di kepalanya dari Fania. Tapi dia malah tertawa-tawa. Lagi pula bukan toyoran Fania yang jadi fokusnya, tapi rangkulan tangan  Fania di pinggangnya itu mencuri sebagian kosentrasinya. Dia jadi semakin mempercepat laju motornya tapi tiba-tiba ada seorang Polisi yang menghentikan laju motonya. Aska pun mengikuti arahan Polisi itu agar segera melipir ke pinggir jalan dan menghentikan laju kendarannya. Aska dan Fania sudah ketar-ketir saja karena mereka diberhentikan di tengah jalan begini. Apa salah mereka? Namun kemudian pekikan nyaring suara Aska menjawab semua pertanyaan itu dengan jelas. “Kok elo nggak pake helm, Fan?!” Fania pun segera mengecek kepalanya dan baru sadar kalo dia tidak pakai helm. Pantas saja tadi banyak orang yang melihat mereka berdua ketika berhenti di lampu merah... jadi karena benda wajib untuk keselamatan berkendara itu tidak dipakainya. Astaga! Elo b**o banget, Fan! Fania mengumpat pada dirinya sendiri. “Nah saya juga mau tanya kenapa mbaknya bisa nggak pake helm?” si bapak Polisi pun ikut-ikutan bertanya seperti Aska. “Eh itu... saya juga baru sadar, Pak.” Jawab Fania dengan kikuk. “Baru sadar? Lah mas nya kenapa nggak ngasih tahu mbaknya nggak pake helm?” kini bapak Polisi berganti bertanya pada Aska. “Ampun, Pak. Saya juga baru sadar. Saya nggak merhatiin dari tadi.” “Ya ampun pacar sendiri nggak diperhatiin, mas.... Cowoknya nggak peka banget ya, mbak.” Kata Pak Polisi kemudian. Aska melongo mendengar kalimat bapak Polisi yang mengatainya cowok tidak peka dan mengira dia pacar Fania juga. Ampun dah si bapak... ngapa nyerempetnya ke situ. “Saya bukan pacarnya kok, Pak.” Fania kemudian mengoreksi. “Oh, bukan? Masih gebetan berarti,ya? Bagus itu.” Pak Polisi masih terus mengatakan petuahnya soal pacar yang baik sambil menulis surat tilang. Sedangkan Aska hanya bisa mengelus d**a mendengar dia disamakan seperti cowok fakboi yang viral sekarang-sekarang ini. Fania sendiri berdiri kikuk karena sejak 15 menit lalu pak Polisi belum juga selesai menulis surat tilang. “Nanti cari pacarnya yang peka dan perhatian aja. Jangan cari yang cuma pinter bikin baper aja ya, mbak.” Yailah si bapak tahu baper? Aska menggelengkan kepalanya terheran-heran karena polisi berusia seumuran papanya ini mungkin tahu soal kosa kata yang trend di kalangan anak muda. . /// Instagram: gorjesso Purwokerto, 3 Agustus 2020 Tertanda, . Orang yang akan lembur lagi . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN