Lebih baik menunggu orang yang tepat,
daripada menghabiskan waktu dengan orang yang salah.
Mario Teguh
.
.
“Kamu mau ke mana?” Panji bertanya pada Nidya yang berpamitan padanya saat mereka sedang ada di lobi restoran.
Nidya berbalik menghadap Panji lagi dengan raut wajah bingung. Dia sudah berpamitan pulang kenapa Panji bertanya dia akan ke mana?
"Saya akan pulang, Pak." Jawab Nidya.
"Kita pulang sama-sama, kamu saya antar pulang."
Nidya segera menggelengkan kepalanya dan tanganya juga heboh menolak tawaran Panji. "Tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri."
"Tidak papa, saya melakukan ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu saya sejak kemarin. Lagi pula sandal itu harus kamu kembalikan."
Nidya segera menunduk menatap kakinya dengan wajah melongo. Jadi karena sandal ini Panji mau mengantarnya pulang? Wah...
///
Nidya duduk dengan tenang di dalam mobil Panji. Beberapa kali dia melirik atasannya itu tapi sepertinya Panji ini benar-benar pendiam dan punya aura dingin seperti yang dikatakan oleh Galuh. Selain itu soal sandal yang tadi dipinjamkan Panji masih membuat Nidya tercengang. Dia bahkan sekarang melepaskan sandal itu karena takut ada kerusakan atau noda darah dari lukanya kan menetes. Sebab sandal ini cukup berharga bagi Panji karena sampai meminta untuk dikembalikan segera, padahal tanpa dibegitukan oleh Panji, Nidya akan langsung mengembalikannya hari senin saat hari kerja dimulai lagi.
Nidya jadi merasa sedikit dongkol juga karena hal itu. Tapi dia harus bisa menekan perasaan itu karena dia sudah di antar pulang oleh Panji dan menghemat ongkos transportasi untuk sampai ke kostnya yang cukup jauh dari restoran tempat mereka bertemu klien tadi ditambah lagi kalau Panji masih tinggal bersama kedua orang tuanya, pemimpin perusahannya, maka bisa disimpulkan kalau arah pulang mereka berlawanan.
“Nanti tolong saya diturunkan di depan belokan itu saja, Pak.”
Nidya memberi arah di mana dia kan turun. Dia memilih untuk tidak membuat Panji mengantarnya sampai masuk ke jalan kecil menuju kost tempat dia tinggal yang muat untuk 1 mobil saja.
Panji menoleh sekilas pada Nidya, “Kenapa turun di situ?” tanyanya.
“Biar bapak bisa langsung cepat pulang, Pak. Karena kost saya masih harus masuk lagi lewat jalan yang cuma muat 1 mobil.” Ujar Nidya menjelaskan.
“Nggak papa. Saya sudah bilang akan mengantar kamu, itu artinya benar-benar sampai tujuan. Lagi pula ini sudah malam berbahaya kalau kamu berhenti di pinggir jalan begitu.” Kata Panji dengan panjang.
“Oo… baik, Pak.”
Nidya tidak punya pilihan selain menuruti apa mau Panji. Setidaknya dia sudah bebas dari rasa ‘tidak enak’ karena sudah merepotkan Panji yang harus menempuh jarak jauh untuk pulang ke rumah.
“Itu, Pak. Yang temboknya berwarna orange.” Nidya menunjuk sebuah bangunan di sisi kiri dengan halaman yang luas.
Panji kemudian membelokkan mobilnya ke kiri untuk masuk ke halaman kost Nidya karena jalanan yang dilalui benar-benar hanya cukup untuk dilewati oleh satu mobil dan mungkin satu motor kalau melaju bersisian. Panji menghentikan mesin mobilnya lalu membuka pintu di sisi kemudi. Sedangkan Naya bertanya-tanya sejak tadi karena Panji bisa saja langsung pergi tanpa berbelok untuk masuk ke halaman kostnya dan mematikan mesin mobil, bahkan atasannya itu malah sekarang keluar dari mobil.
Si bapak nggak akan mampir, kan?
Nidya segera menggelengkan kepalanya. Mana mungkin Panji mau mampir, sedangkan sandal saja langsung dimintai Kembali.
Nidya ikut keluar dari mobil Panji kemudian berdiri berhadapan dengan pria itu. Tapi belum saja dia berdiri dengan benar, panji sudah maju dan melihat dirinya dengan tajam.
“Kenapa kamu pakai high heels lagi?”
Panji segera membuka pintu mobil dan menemukan sandal milik Jasmine yang dibelikannya itu tergeletak rapi di lantai mobilnya. Panji langsung menghela nafas lalu Kembali menutup pintu mobilnya, dia Kembali menghadap Nidya yang masih tidak mengerti dengan Panji yang mendadak marah.
“Saya bilang sama kamu untuk mengembalikan sandal itu bukan berarti kamu tidak boleh memakainya sampai ke kost kamu. Luka kamu masih baru dan sekarang pasti tergesek lagi karena kamu pakai high heels, itu kenapa kamu keliatan kesakitan waktu berdiri.” Ujar Panji dengan panjang lebar.
Nidya langsung berdiri dengan gugup Ketika Panji malah memarahinya karena tidak menggunakan sandal yang kelihatan lebih mahal ketimbang sepatunya ini. Tapi maksud dirinya langsung memakai high heelsnya karena tidak mau repot harus bolak-balik ke kost untuk ganti sandal dan mengembalikan lagi sandal itu pada Panji, dia juga tidak mau membuat Panji harus menunggu lama. Mana tahu kalau Panji akan mepermasalahkan tentang hal remeh begini.
“Maaf, Pak. Saya cuma tidak mau membuat bapak menunggu.” Nidya berusaha mencari pembelaan.
“Kalau saya tidak mau menunggu, saya tidak akan memarkirkan mobil dan keluar seperti ini.” Timpal Panji, wajahnya yang biasanya datar menjadi semakin datar saja.
Nidya menundukkan kepalanya dia menyembunyikan raut wajahnya yang sedang cemberut karena kena omel dari atasannya gara-gara sandal.
“Ada apa ini?”
Nidya menoleh ke arah kiri dan menemukan sosok pria yang sangat dikenalnya sedang berjalan menghampirinya. Dan begitu pria itu sudah ada di dekatnya, senyum Nidya sudah tidak bisa ditahan lagi.
“Kamu baru sampai?”
Nidya mengangguk menjawab pertanyaan dari pria yang sepertinya baru mampir ke kosannya dan pulang lebih dulu darinya.
“Iya, Mas Ray.” Senyum Nidya masih terpatri di wajahnya pada pria yang berdiri di sebelahnya ini.
“Terus dia siapa?” mata pria bernama Ray ini melirik pada Panji.
Nidya segera menyadari kalau di sini masih ada bosnya, dia pun segera menjelaskan pria yang mengantarnya pulang ini.
“Dia manajer di divisi aku, Mas. Namanya Pak Panji Harsa.” Ujar Nidya.
Tapi tatapan tidak menyenangkan justru dilayangkan Ray pada Panji saat ini palagi dia menduga kalau pria ini yang mengantar Nidya pulang.
“Saya Ray.” Ucap Ray dengan singkat untuk memperkenalkan dirinya.
Panji dan Ray saling menjabat tangan dalam waktu yang singkat. Lalu Ray Kembali menoleh pada Nidya dengan tatapan ‘kenapa bos kamu masih ada di sini?’, yang untungnya bisa dipahami oleh Nodya dengan cepat.
“Em… terima kasih sekali karena sudah mengantar saya, Pak.” Ucap Nidya berterima kasih pada Panji.
Panji yang kemudian memahami keadaan cuma mengangguk saja tapi dia tiba-tiba berbalik dan menatap pada Nidya, “kamu harus membersihkan luka kamu secepatnya supaya tidak infeksi.” Lalu setelah mengatakan hal itu, dengan cepat Panji memasuki mobilnya lagi dan pergi dari kost Nidya tanpa pamit seperti membunyikan klakson karena hanya akan menimbulkan kebisingan di sekitar tempat tinggal Nidya ini.
“Kenapa dia bisa antar kamu pulang? Dan ada apa soal luka sampai bos kamu seperhatian itu?” Ray langsung bertanya pada Nidya yang meringis karena tahu Ray pasti sedang marah saat ini.
“Dia cuma anta raku pulang karena kita ketemu relasi sampe malem kok…. Terus soal luka, di bagian tumit aku ada luka karena pakai high heels terus sambal jalan kemana-mana ngikutin dia.” Nidya berkata jujur demi meminimalisir kesalah pahaman antara dia dan Ray.
Ray menghela napas, dia tidak habis piker kenapa manajer Nidya sampai mengantarkan karyawan sampai tempat tinggal dan memarkirkan mobil pula.
“Tapi kamu bisa hubungin aku kalau kamu ternyata lagi sakit begini, Dya…,” Ray menghela nafas kembali.
Nidya memajukan bibirnya karena Ray sepertinya lupa kalau tadi siang dia juga sudah minta jemput tapi jawaban dari pria itu membuat Nidya cuma bisa menelan kecewa karena sudah lama mereka tidak pulang bersama.
“Kan mas Ray bilang mau lembur tadi siang waktu aku chat.” Kata Nidya lalu menunjukkan ponselnya yang sedang menampilkan chat mereka di aplikasi w******p.
Ray meraih ponsel NIdya dan melihat kalau dia sendiri yang sudah menulis kalau akan lembur dan tidak bisa menjemput Nidya. “Benar… maaf, aku tadi lagi sibuk banget sampe nggak tahu kamu nanya gini.”
“Bener-bener sibuk?”
“Iya.. aku bahkan belum makan siang dan sengaja beli mie goreng dua porsi biar bisa makan malem bareng, tapi kayaknya kamu udah makan.”
Nidya langsung merasa bersalah, rasa kesalnya tadi pada Ray yang lupa pada ucapannya sendiri hilang sudah. Dia tidak tahu Ray yang pasti menuggunya sudah sejak jam pulang kantor tadi dengan perut lapar.
“Maaf.. maafin aku, Mas… aku nggak tahu kamu akan dateng…,” Nidya mengusap pipi Ray dengan mimik wajah yang menampilkan rasa sangat-sangat bersalah.
“Iya, sayang… aku maafin. Ini juga karena kesalahan aku yang nggak ngecek chat kita dan langsung aja ke kost kamu.” Gentian Ray yang mengusap rambut panjang Nidya dengan lembut.
Nidya mengangguk. Dia sudah memaafkan Ray, melihat wajah Lelah Ray semakin membuat Nidya tidak bisa merasakan kesal sama sekali.
“Kita masuk, yuk. Kamu pasti udah laper, kan?” ajak Nidya.
Ray mengangguk menyetujui ajakan Nidya. Wanita yang sempat hampir menjadi sasaran kekesalannya karena diantar pulang oleh pria lain tanpa mengambarinya dulu. Apalagi saat melihat kalau si pria sepertinya dari kalangan atas. Dia takut Nidya berselingkuh darinya padahal dia sudah akan mengajak kekasihnya ini untuk bertunangan.
Sedangkan Nidya kemudian mempersilakan Ray untuk duduk di depan kostnya lalu dia masuk ke kamar kostnya untuk mengambil piring untuk mereka berdua tidak peduli dia sudah makan malam tadi. Dia tidak mungkin membiarkan seorang Raynara Surendra makan sendirian padahal pria itu tadi berniat untuk mengajaknya makan malam bersama.
///
Instagram: Gorjesso
Purwokerto, 9 Agustus 2020
Tertanda,
.
Orang yang tahu kalau cerita ini memang rumit wkwkwkwk
.
.