Tawa Ara terdengar mengejek, ia menatap adiknya dari bawah sampai ke atas.
"So, seharian ini wajahmu pucat pasi karena ketakutan?"
Aris mengangguk pasrah, di tertawakan oleh kakaknya.
"Aku tidak percaya hantu." Ujar Ara santai.
"Saat ini tertawa lah sepuasmu, jangan merengek jika mengalaminya sendiri." Ujar Aris kesal, sepertinya Aris salah karena memilih bercerita pada kakaknya yang jutek itu.
Setelah pulang dari sungai tadi Ara memutuskan untuk mandi karena tubuhnya yang berbau amis, setelah itu ia mendapati adiknya yang menungguinya di rumah.
"Mungkin kamu hanya berhalusinasi, aku tidak mendengarnya karena tertidur lebih dulu."
Aris bercerita tentang kejadian yang dialaminya tadi malam, remaja itu mendengar alunan suara tembang yang di iringi tabuh gamelan. Ara jadi tahu bahwa lingkaran hitam di bawah mata adiknya berasal dari tidak tidur semalaman karena ketakutan pada hantu, terdengar lucu.
"Aku tidak berhalusinasi, kak. Aku benar-benar mendengarnya karena suara itu terdengar jelas. A- aku aku-takut." Suara Aris bergetar, selain congkak Aris juga penakut ternyata.
"Sekali lagi, aku-tidak-percaya-hantu." Tandas Ara dengan tekanan di setiap katanya.
Aris memperbaiki duduknya, lalu menatap Ara lekat.
"Baiklah terserah dirimu, tapi mungkin kamu akan percaya jika melihat benda yang aku bawa. Aku masuk ke dalam gudang mencari galah untuk memetik mangga, tapi tidak sengaja menemukan sesuatu yang bisa menjawab rasa ketakutan dan ketidak percayaanmu."
"Apa yang kamu dapatkan?" Ara sepertinya mulai tertarik dengan perbincangan keduanya, tapi Ara tidak suka melihat raut wajah Aris yang terkesan sok misterius itu.
Aris mengetuk meja makan dengan jari-jarinya, menimbulkan bunyi gemelatuk yang membuat Ara semakin penasaran.
Jangan lupakan wajah Aris yang nampak kaku dan pucat pasi.
"Kisah kelam tentang desa ini." Bisik Aris, nampaknya ia harus berhati-hati dalam ucapannya.
Ia tak mau kakeknya tahu bahwa Aris sudah mengambil buku itu, karena kakeknya juga masuk dalam kasus kisah kelam Pendem Asih.
"Apa yang terjadi? Oh ya, aku ingin sekali menggampar wajah sok misteriusmu itu."
Aris menggerutu sebal, tadinya ia berniat untuk membuat takut kakaknya yang tidak percaya hantu, tapi sekarang tidak jadi karena wajah tampannya menjadi taruhan.
Pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari balik kaosnya, membuat Ara semakin memincingkan mata.
"Buku apa itu?" Tanya Ara spontan.
"Sttt.. pelan-pelan sialan, kakek akan marah jika aku mengambil buku ini."
Baru kali ini Aris berani mengumpati Ara dengan tenangnya, biasanya ia akan di lempar sapu sebelum kata 'mutiara' nya terucap.
Aris meletakkan buku itu di meja, Ara membaca deretan huruf yang tersusun.
KISAH DESA PENDEM ASIH.
"Kamu sudah membacanya?" Tanya Ara.
Aris mengangguk mengiyakan. "Hanya sedikit."
Jari jemarinya bergerak meneliti buku usang tersebut, kertasnya pun sangat tipis dan tulisannya menggunakan tulisan tangan.
"Apa isinya?"
Aris kembali ke raut wajah sok misteriusnya.
"Bunyi-bunyian yang aku dengar semalam, serta sejarah kelam desa— "
Suara Utomo menginterupsi kegiatan mereka, dengan cepat Aris menyembunyikan lagi buku itu ke dalam kaosnya.
"Aris, mangganya sudah di kupas?" Utomo keluar dari kamarnya, Ara dan Aris menormalkan ekspresinya.
"Sudah, kek."
Aris menyerahkan piring berisi potongan buah mangga yang di iris kecil-kecil, memudahkan Utomo untuk memakannya.
Diliriknya Ara yang juga tengah menatapnya. Aris mengangguk pelan, tanda bahwa perbincangan tadi harus di jaga rapat-rapat.
"Terimakasih, kalau kamu mau ambil saja semua buahnya. Kakek tidak bisa memanjat atau memetiknya dengan galah, leher kakek sakit jika mengadah ke atas."
"Baik kek." Jawab Aris.
Setelahnya Utomo kembali ke kamarnya, membuat dua kakak beradik itu bernapas legah.
Ara mendongak menatap Aris, di lihatnya adiknya kebingungan. "Apa?"
"Mana mangga untukku, jangan bilang tidak menyisakannya." Geram Ara, anggukan adiknya menjawab tuduhannya.
Aris meringis menampakkan deretan gigi rapinya, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Keluarkan lagi buku itu." Pinta Ara.
Aris menggeleng pelan. "Jangan disini, nanti saja ketika kakek sedang beristirahat."
Benar juga apa yang di katakana Aris, akhirnya Ara mengiyakan.
---
Malam ini pukul sepuluh lewat lima belas menit, Ara meminta adiknya agar membawa buku kuno itu ke kamarnya. Ketukan pelan terdengar dari pintu, Ara segera membuka pintu itu yang di baliknya sudah berdiri Aris dengan wajah kuyu.
Setelah memastikan bahwa Utomo sudah tidur di kamarnya, barulah mereka berani membaca buku itu. Keduanya duduk di sofa yang ada di kamar Ara, di letakkannya buku itu pada meja kecil disana.
Aris mulai membuka halaman pertama pada buku itu, sebuah gambar suasana pasar desa yang sangat asri. Kakak beradik itu masih meneliti gambar yang tidak memiliki hal aneh, pasar tradisional warga Pendem Asih yang pada masanya sangat di gadang-gadang oleh warga desa.
Jemari Aris bergerak membuka halaman selanjutnya dengan cepat, ia ingin menunjukkan apa yang sudah di baca pada kakaknya.
"Baca halaman ini." Ujar Aris pada kakaknya.
Ara menuruti ucapan adiknya, deretan huruf berjajar yang membentuk kalimat per kalimat membuat dahinya sesekali berkerut. Tapi gadis itu masih membacanya dengan seksama, tulisan tangan itu tidak begitu rapi sehingga membuatnya harus ekstra fokus.
Sedangkan Aris, pemuda itu menunggu reaksi kakaknya setelah selesai membaca halaman pertama. Dilihatnya Ara yang mulai mengerjapkan mata seolah tidak percaya, gadis itu lalu menatap adiknya yang juga tengah melihat kearahnya.
"Jadi, suara tembang yang kamu dengar kemarin adalah asli. Maksud ku, itu benar-benar berasal dari warga yang sengaja membunyikannya di malam-malam tertentu?"
Ara tak mampu berkata-kata, bulu kuduknya terasa meremang. Oh ayolah, di jaman seperti ini masih ada saja kepercayaan seperti ini?
"Kamu yakin jika buku ini menceritakan sejarah asli desa ini?" Tanya Ara, masih menyangkal kebenaran yang ada.
Aris mendelik kesal, kakaknya benar-benar kolot. Pemuda itu membuka lembaran terakhir buku, menunjukkan deret kalimat yang tertera disana.
Pendem Asih, 1950. - Suryoto Diningrat.
"Buku ini sudah di tulis sejak berpuluh tahun yang lalu." Gumam Ara.
"Tentu saja, lihat saja bahannya tidak seperti kertas pada zaman sekarang." Tunjuk Aris pada buku itu, memang bahannya jauh berbeda dengan kertas saat ini.
Ara mengangguk mengiyakan. Otaknya berpikir keras mencerna setiap kalimat yang tertera, ia mengetuk pelan dagunya.
"Suryoto Diningrat, bukan kah itu nama Buyut kita?" Celetuk Aris, itulah yang sempat terlintas di otak Ara.
"Ya. Coba kembali ke halaman awal, siapa tahu kita bisa menemukan hal lain."
Aris membuka halaman yang tadi di lompati, keduanya kini membaca halaman-halaman yang ada disana. Semakin banyak membacanya, maka semakin pula mereka kebingungan. Buku itu terlalu tebal jika di baca oleh orang-orang yang malas membaca, tapi Aris dan Ara sudah kepalang tanggung penasaran.
Mereka baru membaca sebagian saja, belum semuanya. Ada hal yang selama ini di sembunyikan dari banyak orang, tentang kisah misteri warga desa Pendem Asih.