Bab 3

1087 Kata
Pandu melihat sosok Sirin keluar dari kelas. Rambut hitam ikalnya dikuncir berantakan membentuk ekor kuda. Beberapa helai rambutnya mencuat dan jatuh di sekitar wajahnya. Pandu curiga jika gadis itu tidak mempunyai barang keramat milik cewek-cewek kebanyakan, cermin dan sisir. Rambut Sirin tampak mengenaskan. “Sirin,” panggil Pandu yang membuat gadis itu menoleh ke belakang. Setelah mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Pandu, gadis itu sontak menatapnya curiga. “Lo nyari gue?” tanya Sirin. Pandu menganggukkan kepala. “Iya.” “Ngapain lo nyari gue?” tanya Sirin lagi masih memberikan Pandu tatapan curiga. “Ikut gue.” Pandu memberi isyarat dengan jari telunjuknya agar mengikutinya. Cowok itu berbalik dan berjalan meninggalkan Sirin yang masih kebingungan. “Ikut ke mana?” tanya Sirin tanpa beranjak dari tempatnya. Pandu berhenti dan kembali menoleh ke belakang. Ia menatap Sirin dengan tatapan malas. “Perpustakaan. Bahas rencana Zidan.” Dan dengan begitu Pandu melanjutkan perjalanannya. Tak begitu peduli Sirin mengikutinya apa tidak. Sebenarnya Pandu malas mendapatkan tugas untuk menjemput Sirin di kelasnya. Ia tak begitu dekat dengan gadis berpipi tembam itu. Mereka berdua tidak pernah cocok. Sirin selalu memandangnya sinis. Membuat Pandu menyerah untuk sekadar menjalin hubungan pertemanan dengannya. “Zidan dan yang lain mana?” tanya Sirin dari arah belakangnya. “Pada sibuk.” “Lah kok sibuk. Katanya mau bahas soal rencana Zidan.” Pandu menghela napas dalam seraya melirik ke arah Sirin yang saat ini sudah berada di sampingnya. “Zidan nugasin gue buat ngasih tahu rencana dia ke lo,” balasnya. “Hah? Kenapa juga lo yang ditugasin.” “Lo pikir gue mau?” Balasan Pandu itu membuat Sirin memutar bola mata bosan. Setelahnya, mereka tak lagi mengobrol sekadar untuk berbasa-basi. Tak lama kemudian mereka berdua sudah memasuki ruang perpustakaan. Pandu mengambil duduk di bangku kosong di bagian belakang yang sedikit sepi. Sirin ikut duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Pandu mengamati sekitar. Ada beberapa siswa tengah menggerombol di meja yang berada di tengah ruangan. Mereka terlihat sibuk berdiskusi. Kemungkinan membicarakan tugas kelompok yang sedang mereka kerjakan. Kemudian pandangannya kembali ke arah Sirin. Gadis itu kini tengah berkutat dengan ponselnya. Matanya tak berkedip menatap layar ponsel. Tangan kirinya menyelipkan helaian rambut yang jatuh ke depan wajahnya ke belakang telinga. Entah kenapa tatanan rambut Sirin yang agak acak-acakan begitu mengganggu di mata Pandu. “Semahal apa sih, harga sisir?” tanya Pandu yang membuat Sirin mengangkat kepala. “Mana gue tahu, lo pikir gue mbak-mbak penjual sisir apa,” jawab Sirin kebingungan. “Lo mau beli sisir?” tambahnya mengangkat sebelah alisnya, masih menatap Pandu dengan raut wajah bingung. Iya, beliin lo, gerutu Pandu dalam hati. Pandu menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Sirin yang melihat tingkah aneh Pandu ini hanya bisa menatapnya dengan kernyitan di dahi. “Ngomong-ngomong kenapa Zidan nggak w******p gue sendiri buat ngasih tahu rencana dia?” tanya Sirin tak lagi peduli dengan obrolan Pandu soal sisir. “Karena Zidan bilang lo nggak bakal ngerti kalau nggak dikasih tahu secara langsung,” jawab Pandu. “Yang artinya, Zidan menganggap lo itu lemot.” Senyum lebar terpasang di wajah Pandu. Sirin tampak tersinggung dengan ledekan Pandu. Wajahnya langsung berbuah masam. “Ditambah lo yang jelasin, nggak bakal nyantol di otak gue,” balasnya ketus. Mengabaikan pertengkaran kecil mereka, Pandu mulai menjelaskan rencana yang telah disusun Zidan kepada Sirin. “Jadi Sabtu besok lo ke rumah gue buat nonto film bareng. Nanti setelah selesai nonton film, lo pamit pulang duluan bareng Vega pakai alasan pengen boker atau apa terserah. Yang penting lo pamit pulang. Sedangkan kami masih di sana buat main permainan Bloody Mary itu. Tapi lo sama Vega nggak bener-bener balik rumah, melainkan lo muter lewat pintu samping rumah gue dan langsung ke kamar kosong yang berada di dekat dapur. Di sana Vega dandanin lo jadi hantu. Setelah selesai dandan, nanti lo tunggu instruksi gue buat beraksi,” jelas Pandu. “Paham?” Tanpa sadar Sirin mengangkat tangan kanannya, ingin bertanya. “Gue sama Vega balik naik apa?” tanyanya. “Lo nggak benar-benar balik.” “Iya ngerti. Tapi apa Alita nggak panik kalau gue sama Vega balik nggak jelas naik apa?” “Pulang diantar sopir gue,” jawab Pandu sekananya. “Beres.” “Gue sama Vega mana tahu pintu samping rumah lo itu mana? Terus letak kamar kosong yang lo sebutin tadi juga gue nggak tahu. Kalau gue sama dia nyasar ke tempat kalian main Bloody Mary gimana?” Pandu menarik napas dalam, mencoba bersabar dengan pertanyaan-pertanyaan Sirin ini. Pantas saja Zidan bilang suruh ngasih tahu langsung ke orangnya, bikin pusing gini, batin Pandu capek sendiri. “Besok malam lo sama anak-anak, kecuali Alita, main ke rumah gue buat lihat denah tempat,” kata Pandu segera. Sirin hanya mengangguk-anggukkan kepala, wajahnya tampak berpikir. Pandu tebak dia masih mencoba mencerna informasi yang baru saja Pandu berikan. “Kalau misal—" “Lo bisa tanyain sendiri ke Zidan,” potong Pandu tanpa berminat mendengar pertanyaan Sirin lagi. Pandu sudah cukup tersiksa dengan mengikuti rencana Zidan ini. Ia sebenarnya tak ingin ikut-ikutan. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak bisa menolak permintaan sahabatnya itu. Bahkan Fazan pun ikut-ikutan memohon agar Pandu ikut serta. “Belum juga lo denger apa yang mau gue ucapin,” keluh Sirin menatap Pandu kesal. “Apa pun itu ucapin di depan Zidan.” Pandu menyunggingkan senyum simpul yang ia tahu akan membuat Sirin tambah sebal. “Sekian dan terima kasih.” Dengan begitu Pandu bangkit dari duduk, melambai singkat ke arah Sirin lalu melangkah pergi meninggalkan gadis itu yang sudah menekuk wajah. “Sumpah ya, lo nyebelin banget, Pandu!” seru Sirin yang sontak dihadiahi berpasang-pasang mata tatapan tajam. Pandu sendiri yang mendengar seruan Sirin itu pun berbalik untuk kembali menatap ke arah Sirin. Pandu meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, memberi isyarat kepada Sirin untuk jangan berisik. “Ssstt!” bisik Pandu masih dengan jari telunjuk di depan bibirnya. “Dasar nyebelin,” gerutu Sirin pelan seraya melotot ke arah Pandu. Pandu sendiri sudah tersenyum lebar ke arah Sirin ketika mengetahui bahwa Sirin tengah sebal setengah mati. Wajah sebal Sirin memang tidak ada duanya! “Bye!” Pandu melambaikan tangan ke arah Sirin seraya kembali berjalan meninggalkan perpustakaan. Tugas yang diberikan oleh Zidan sudah Pandu selesaikan dengan cukup baik. Mau Sirin paham atau tidak, bukan lagi urusan Pandu. Yang penting kan, Pandu sudah berusaha semaksimal mungkin. “Saatnya pergi ke kantin. Makan!” gumam Pandu dengan semangat. “Gara-gara harus ketemu Sirin, jam istirahat gue terpotong deh.” Pandu menghela napas dalam seraya geleng-geleng kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN