Bab 19

1000 Kata
Butuh waktu lebih dari dua jam untuk sampai ke rumah Pandu. Tadi mereka mampir ke minimarket untuk membeli beberapa barang yang katanya Pandu adalah titipan pembantunya. Lalu mereka juga mampir ke penjual es kelapa muda di pinggir jalan karena Pandu bilang ia ingin beli es itu. Sirin sendiri awalnya menolak es kelapa muda yang dibelikan Pandu dengan alasan sungkan, tapi karena cuaca sangat panas, akhirnya ia meminum es itu juga. “Rumah lo sepi,” kata Sirin kepada Pandu. “Nggak sepi,” balas Pandu. “Ada Mbak sama bibi kok di dalam,” tambahnya ketika mereka sudah memasuki ruang tamu. Sirin menganggukkan kepala mengerti. Meskipun Pandu bilang rumah ini tidak sepi, tapi Sirin merasa rumah ini terlalu sunyi untuk ukuran rumah yang Pandu bilang tidak sepi. Karena sejak tadi, Sirin tidak mendengar suara apa-apa dari arah dalam rumah. Selain itu, rumah ini juga terlalu besar. Jadi, rasanya agak sedikit menakutkan. “Tadi kan juga ada satpam di depan,” kata Pandu lagi. “Iya,” jawabnya. “Lo mau sesuatu?” tanya Pandu. Sirin mengangguk. “Gue mau jaket gue,” jawabnya. “Lo nggak mau minuman atau makanan?” “Nggak usah, makasih.” “Oke,” balas Pandu. “Jaket lo, kemarin lo taruh mana? Kamar yang semalam lo pakai itu, ya?” Sirin menganggukkan kepala. “Iya. Seingat gue, jaketnya gue taruh di kamar itu, sih.” Pandu memimpin jalan menuju kamar yang semalam Sirin pakai untuk berdandan. Memasuki ruangan demi ruangan mengingatkan Sirin akan kejadian tak mengenakkan yang ia alami semalam. Ada rasa was-was terselip di setiap degup jantungnya. Mengkhawatirkan sesuatu yang ia harap tidak akan pernah muncul lagi. “Lo masuk aja ke dalam buat ambil jaket lo. Pintunya nggak dikunci. Gue mau naruh blanjaan ini di dapur,” kata Pandu meninggalkankan Sirin di depan pintu kamar dan berjalan ke arah meja dapur. Tanpa memedulikan Pandu lagi, Sirin membuka pintu itu dan langsung masuk ke dalam kamar. Hal pertama yang dilihatnya adalah sesosok wanita bergaun putih dan berambut panjang yang duduk membelakanginya. Pada detik itu juga jantung Sirin seakan meledak. Badannya mendadak kaku tak bisa digerakkan. Lalu wanita itu menolehkan wajahnya dengan perlahan. Kedua mata itu menatap Sirin tajam. Seakan mengancam. Perlahan Sirin mundur. Ia memaksakan kakinya bergerak. Badannya terasa lemas. Hingga ia tak kuat lagi melangkah yang membuatnya langsung terduduk di lantai. “Pan…, Pandu…,” katanya begitu lirih, gemetaran. “Pandu! Pandu!” teriaknya sekuat yang ia bisa dengan mata terpejam. Pandu yang mendengar teriakan Sirin segera menghampiri. “YaTuhan! Lo kenapa?” tanya Pandu kaget melihat Sirin yang sudah terduduk di lantai dengan wajah pucat ketakutan. Kemudian ia berjongkok dan memegangi kedua lengan Sirin. Sirin menghambur ke pelukan Pandu. Membenamkan kepalanya di d**a cowok itu. “Gue lihat dia lagi,” katanya terbata-bata. Ia masih kaget, tak percaya bahwa dirinya melihat sosok itu lagi. “Lihat siapa? Nggak ada siapa-siapa, Rin.” Pandu menepuk-nepuk punggung Sirin, mencoba menenangkannya. “Hantu yang semalam gue lihat,” kata Sirin seraya melepaskan diri dari pelukan Pandu. Pandu dapat melihat sorot ketakutan di kedua mata Sirin. Cewek itu bahkan masih sedikit gemetaran. “Hantu? Di kamar itu?” tanya Pandu dengan bingung. Sirin mengangguk. “Dia duduk di kursi meja rias,” katanya pelan. Mau tidak mau Sirin kembali membayangkan pertemuannya dengan sosok hantu itu beberapa saat yang lalu. Dan hingga saat ini, Sirin masih belum bisa menormalkan degupan jantungnya yang menggila. Pandu memanjangkan leher untuk mengintip kamar yang pintunya masih terbuka. Mengamati ruangan itu. “Nggak ada siapa-siapa di dalam sana,” kata Pandu kembali menatap Sirin. “Gue beneran lihat tadi,” balas Sirin dengan putus asa. “Oke. Gue cek ke dalam kalau gitu,” ucap Pandu seraya bangkit berdiri. Sirin segera menggeleng. Ia menarik lengan Pandu, menahannya agar tidak bangkit. “Jangan-jangan. Nggak usah.” “Nggak apa-apa, Rin.” Pandu mengangguk ke arah Sirin, mencoba meyakinkan cewek itu. Pandu berjalan memasuki kamar itu. Sirin masih terduduk di tempatnya tadi dengan kedua tangan memegangi telinga. Ia takut jika mendengar suara aneh yang akan membuatnya semakin ketakutan. “Nggak ada apa-apa di sini, Rin,” kata Pandu dari dalam kamar. Dengan perasaan takut dan tidak yakin, Sirin mencoba memanjangkan leher untuk mengintip ke arah dalam ruangan. Di dalam sana, Sirin pun sudah tak melihat sosok itu di kursi yang tadi diduduki. Bisa jadi sosok itu memang benar-benar sudah hilang dari dalam kamar. Pandu keluar dari kamar dan membantu Sirin untuk berdiri. “Nggak ada apa-apa di dalam.” Ia mengulangi perkataannya lagi. Sirin hanya mengangguk, sedikit lega. Tapi kegelisahan yang ia rasakan masih menumpuk di dalam dirinya. “Lo bisa jalan?” tanyanya tampak khawatir. “Bisa.” Sirin melangkah perlahan menuju kursi di ruang makan. Pandu setia berjalan di sampingnya, kalau-kalau Sirin kembali ambruk. Tapi tidak. Sirin berhasil duduk di kursi. “Gue ambilin minum,” ucap Pandu berderap ke arah kulkas yang berada di dekat mereka. Sirin mengusap wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia mengulanginya lagi beberapa kali hingga ia sedikit lebih tenang. Lalu ia meminum air putih yang Pandu sodorkan kepadanya. “Udah merasa baikan?” tanya Pandu yang kini duduk di kursi sebelah Sirin. “Lumayan,” jawab Sirin seraya menyelipkan helaian rambut yang kabur dari ikatannya ke belakang telinga. “Mau cerita?” Sirin menggeleng. Ia tak ingin membahas hantu itu lagi—paling tidak untuk sekarang. Ia takut jika hantu itu datang lagi apabila ia kembali membicarakannya. “Oke.” Pandu mengangguk, mengerti. “Tenangin diri lo dulu aja.” Sirin menganggukkan kepala menjawab ucapan Pandu itu. Benar. Sirin harus menenangkan diri terlebih dahulu. Sirin tidak boleh panik. Sirin tidak boleh takut. Hantu itu sudah tidak ada di sini. Jadi, semuanya baik-baik saja. Sirin mencoba memasukkan segudang pikiran positif ke dalam otaknya, berharap hal itu dalam menghalau ketakutan yang ia rasakan. Namun, tentu saja rasa takutnya tidak hilang begitu saja. Sirin masih merasa takut. Hanya saja, ia merasa agak tenang karena adanya Pandu di sini. Kehadiran Pandu membuat Sirin merasa jauh lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN